Fraud Faskes BPJS Kesehatan Capai Rp 866 Miliar, DPR: Putus Saja Kerja Samanya, Pasti Menangis!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Desember 2023 14:58 WIB
Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo  (Foto: Dok MI)
Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo meminta kerja sama fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diputus saja. Pasalnya baru-baru ini BPJS Kesehatan menemukan kasus kecurangan (fraud) phantom billing alias klaim palsu menjadi modus yang banyak dilakukan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTP) alias rumah sakit (RS). Tak tanggung-tanggung nilainya mencapai Rp 866 miliar.

"Tegas aja, mereka pasti akan menangis, akan protes keras ketika diputus kerja sama dengan BPJS. Kan sudah diwanti-wanti bila mana terjadi suatu fraud ada peringatan ternyata masih melakukan suatu pelanggaran atau kecurangan," ujar poltiisi PDI Perjuangan itu saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jum'at (8/12).

Rahmad Handoyo mengatakan bahwa, banyak kasus rumah sakit ketika kerja samanya diputus hingga omsetnya terjun bebas. Hal ini jadi pelajaran berharga, mereka itu harus melayani masyarakat. Tidak apa-apa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, tapi harus dalam konteks yang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 "Fraud itu harus dihilangkan, uang itu dikelola BPJS Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kita, ketika ada kecurangan apapun itu tentunya tidak ada pembenaran, apapun alasananya," tandas Rahmad Handoyo.

Diberitakan, bahwa BPJS Kesehatan menemukan kasus kecurangan (fraud) phantom billing alias klaim palsu menjadi modus yang banyak dilakukan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTP). Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan bahwa klaim palsu yang ditemukan mencapai miliaran rupiah.  

“Fraud ini tidak terasa dan tidak merasa, dan terkadang tidak tahu, tetapi ada yang bentuknya klaim fiktif itu sampai miliaran. Tidak hanya itu, tetapi [diagnosis] dinaikkan agar klaimnya bisa lebih besar dan lain sebagainya,” kata Ghufron di Jakarta, Kamis (7/12). 

Selain klaim palsu dan pemalsuan diagnosis yang berujung pada peningkatan klaim, Ghufron menuturkan bahwa ditemukan juga penggunaan unnecessary utilization yang tidak perlu, namun nilainya tinggi. 

Secara keseluruhan, berdasarkan data pengendalian potensi kecurangan yang telah dilakukan BPJS Kesehatan, baik pada tahapan proses klaim atau verifikasi dan pasca verifikasi klaim melalui audit klaim pada November 2023, terdapat jumlah biaya pengendalian inefisiensi pembiayaan program JKN pada saat verifikasi sebesar Rp866,8 miliar dan pasca verifikasi sebesar Rp397,9 miliar. 

Ghufron menuturkan bahwa BPJS Kesehatan mengenakan sanksi kepada oknum yang tak bertanggung jawab atas adanya fraud ini. Salah satunya bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, rumah sakit, hingga asosiasi untuk memperbaiki sistem yang lebih efektif dan efisien. 

“Macam-macam [sanksinya], yang jelas kan ada peringatan. Kami juga membangun sistem, jadi tidak semata-mata seperti mencari korban, enggak,” terangnya. Ghufron menyatakan bahwa BPJS Kesehatan telah membentuk tim anti kecurangan. Sebanyak 1.947 personal diterjunkan dalam tim anti kecurangan. 

Perinciannya, 1.778 personil kantor cabang, kantor kedeputian wilayah sebanyak 132 personil, dan kantor pusat sebanyak 37 personil. “Diharapkan ke depan, tim anti kecurangan JKN akan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi BPJS Kesehatan di bawah naungan Badan Nasional Sertifikasi Profesi,” harapnya.

Lebih lanjut, Ghufron menambahkan bahwa beragam upaya yang telah dilakukan BPJS Kesehatan dalam mencegah, mendeteksi, dan menangani kecurangan dalam penyelenggaraan program JKN ini dilakukan agar kejadian fraud dapat dicegah. “Dan ketika terjadi fraud, kerugian finansial dapat dikembalikan,” imbuhnya. 

Respons Menkes

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menuturkan bahwa kasus kecurangan yang paling banyak ditemukan adalah inappropriate coding, kickbacks, termasuk phantom billing. Budi menuturkan meski kasus phantom billing terbilang kecil, namun secara ukuran bernilai besar. Kecurangan phantom billing ini pun dilakukan oleh institut rumah sakit, tenaga medis, dan tenaga kesehatan. 

Namun, dengan adanya kontrol pemerintah terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan, Budi menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan kini bisa mencatat oknum yang rutin melakukan phantom billing. 

“Itu kami masukkan ke database kemenkes karena kami sudah mengatur data sehingga kami bisa mencatat perilaku dari masing-masing tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terlibat melakukan phantom billing, termasuk rumah sakitnya,” ungkap Budi. 

Pasalnya, lanjut Budi, Kemenkes kini memiliki regulatory power untuk bisa mengatur perizinan dari tenaga medis, tenaga kesehatan, dan fasilitas kesehatan agar bisa memperbaiki ekosistem menjadi lebih berintegritas sehingga biaya bisa lebih murah. 

“Kita perlu menjaga symmetrical information, karena selain menekan ongkos, ini juga menjaga kualitas dan menjaga kredibilitas dari profesi kesehatan,” tandasnya. (Wan)