Libatkan 3 Ahli Hukum, Film Dirty Vote Bongkar Dugaan Kecurangan Pilpres 2024

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 11 Februari 2024 21:50 WIB
Film Dirty Vote Bongkar Dugaan Kecurangan Pilpres 2024 [Foto: YT/@DirtyVote]
Film Dirty Vote Bongkar Dugaan Kecurangan Pilpres 2024 [Foto: YT/@DirtyVote]

Jakarta, MI - Film Dirty Vote masuk dalam daftar trending di media sosial X (Twitter) pada Minggu (11/2). Dirty Vote merupakan film dokumenter eksplanatori yang disampaikan tiga Ahli Hukum Tata Negara yakni, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. 

Ketiganya secara terang benderang mengungkap kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, dalam film yang tayang perdana pada hari ini, Minggu(11/2).

Saat mengawali film dokumenter ini, Zainal Arifin Mochtar berpesan, bahwa film ini sebagai landasan untuk melakukan penghukuman. Penghukuman yang dimaksud Zainal tentu saja adalah, pencoblosan yang akan dihelat pada 14 Februari mendatang.

"Jika Anda nonton film ini saya punya pesan sederhana, satu tolong jadikan film ini sebagai landasan untuk Anda melakukan penghukuman," kata Zainal, dikutip dari YouTube Dirty Vote, Minggu (11/2). 

Selanjutnya, Zainal, bersama dua pakar hukum tata negara lain, yakni Bivitri Susanti dan Feri Amsari, secara gamblang mengungkap kecurangan Pemilu 2024 dalam film berdurasi 1 jam, 57 menit, dan 21 detik.

Bivitri Susanti mengatakan, bahwa diriya mau terlibat dalam film agar semakin banyak masyarakat tahu, bahwa Pemilu tidak baik-baik saja. Ia meminta agar kecurangan yang terjadi, tidak boleh didiamkan khususnya atas nama kelancaran Pemilu. 

"Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham, bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa. Sehingga Pemilu ini tidak bisa dianggap baik-baik saja," kata Bivitri. 

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan secara sederhana Dirty Vote merupakan sebuah rekaman sejarah, perihal rusaknya demokrasi di Indonesia.

"Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung," ujarnya.

"Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi," tegas Bivitri.

Kedua, yaitu tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis.

"Kecurangan ini jangan didiamkan atas nama kelancaran Pemilu," tegasnya. 

Pesan yang sama disampaikan oleh Feri Amsari. Menurut aktivis yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air. Membiarkan kecurangan pemilu, terang dia, sama saja dengan merusak Bangsa Indonesia.

"Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat," ujarnya.

"Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya," tegasnya.

Kemudian, Zainal pun mengatakan jika persaingan politik dan perebutan kekuasaan yang disusun bersama-sama, kini digerakkan oleh satu pihak pemegang kunci.

"Persaingan politik dan perebutan kekuasaan desain kecurangan yang sudah disusun bareng-bareng ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak yakni pihak yang sedang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran," jelas Zainal.

Selanjutnya, Bivitri mengatakan bahwa skenario kecurangan Pemilu ini telah dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya, di banyak negara. 

"Tapi sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah," jelasnya. 

"Karena itu untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma dua mental culas dan tahan malu," tutupnya.

Film dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Ini merupakan film keempat yang disutradarainya, dengan mengambil momentum Pemilu.

Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film Ketujuh. Saat itu, Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden dielu-elukan, sebagai sosok pembawa harapan baru.

Pada 2017, menjelang Pilkada DKI Jakarta, Dandhy menyutradarai Jakarta Unfair.

Dua tahun kemudian, Dandhy menyutradarai Sexy Killers, film dokumenter yang cerita tentang jaringan oligarki pada kedua capres-cawapres ketika itu, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Film itu ditonton lebih dari 20 juta pada masa tenang Pemilu 2019.

Menurut Dandhy, Dirty Vote merupakan tontonan reflektif di masa tenang pemilu. Dia berharap film tersebut akan mengedukasi publik.  

"Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tapi, hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," ujarnya.