Film Dirty Vote Bagaikan Pisau Bermata Dua: Untungkan Anies-Cak Imin, Rugikan Ganjar-Mahfud Tak Sebesar yang Diderita Prabowo-Gibran!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 11 Februari 2024 22:29 WIB
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)
Flayer Film Dirty Vote (Foto: MI-Aswan/Repro)

Jakarta, MI - Pengamat Politik Unhas, Ali Armunanto turut menyoroti film dokumenter Dirty Vote yang mengungkap sejumlah dugaan kecurangan-kecurangan dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024.

Ali menilai bahwa film Dirty Vote bagaikan pisau bermata dua bagi setiap paslon pemilihan presiden (Pilpres) 2024. 

Baik yang didukung rezim Prabowo-Gibran maupun Paslon yang menggaungkan perubahan yakni Anies-Muhaimin.

Jika dilihat dari kacamata opini publik maka, film Dirty Vote akan menguntungkan Paslon nomor urut 1, Anies-Muhaimin.

"Kalau kita melihat secara efek terhadap opini publik, tentu ini paling menguntungkan Anies-Muhaimin," kata Ali, Minggu (11/2).

Sementara Ganjar, kata Ali tidak berpengaruh signifikan karena masih terbayang-bayang rezim. Sebagaimana diketahui, Ganjar-Mahfud didukung oleh sejumlah pejabat negara.

"Karena Ganjar masih dikait-kaitkan dengan rezim, di belakangnya ada PDIP, dan PDIP sebelumnya banyak terlibat dalam kegiatan rezim, bahkan banyak orang PDIP seperti Budi Gunawan di BIN dan beberapa menterinya dan melakukan pengaturan pemilihan komisioner KPU," jelas Ali.

Menurut Ali, Ganjar juga dirugikan, tetapi tidak sebesar yang diderita Prabowo-Gibran terkait opini publik.

"Tentu ini memunculkan wacana publik bahwa pemilu dicurangi dan kemenangan diatur untuk Prabowo atau orang didukung rezim," jelasnya.

Di sisi lain, efeknya tidak hanya opini publik, tetapi psikologi pemilih. Yang terjadi bukan hanya opini publik tetapi menimbulkan pesimisme terhadap pelaksanaan pemilu.

"Psikologi politik yang dirugikan adalah pemilih Anies dan Ganjar, karena mereka merasa bahwa percuma memilih Anies dan Ganjar, bagaimana pun juga Prabowo yang akan menang," cetusnya.

"Kita lihat hasil survei dari 5 lembaga survei, ini sudah menunjukkan di atas 50 persen. Ini bisa kita asumsikan narasi kecurangan pemilu menggerus pemilih Anies dan Ganjar," timpal Ali.

Jika ini berlangsung, kata dia, bisa jadi apatisme terhadap pemilu dan itu terjadi di pemilih Anies dan Ganjar dan menjadi apatis dan tidak datang pencoblosan hari H. Itu menjadi penyebab Prabowo menang satu putaran.

Ada sejumlah rentetan kecurangan yang membuat publik jadi pesimis dan apatis.

Dimulai masuknya Gibran di bursa cawapres, kemudian pelanggaran etik di MK, beberapa isu cawe-cawe Jokowi, isu dilontarkan Aiman keterlibatan polisi memenangkan paslon 02

Lalu kemudian saat debat baik Anies dan Ganjar membuka pidato mereka dengan wacana bahwa pemilu dicurangi, dan terakhir adalah pelanggaran etik ketua KPU.

"Ini akan menimbulkan apatisme publik terhadap pemilu, yaitu pemilih Anies dan Ganjar," ungkapnya.

"Kalau angka partisipasi publik rendah, berarti wacana ini menyerang Anies dan Ganjar, kalau di atas 75 atau 80 persen berati yang dirugikan Prabowo Gibran," demikian Ali. 

Diketahui, Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.

Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. 

Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (wan)