Film Dirty Vote Ungkap Alasan Dibalik Wacana Pemilu 1 Putaran

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 12 Februari 2024 00:27 WIB
Pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar (Foto: MI/Repro)
Pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar (Foto: MI/Repro)

Jakarta, MI - Tren survei yang belakangan ini tembus di atas 50% memicu optimisme dari kubu calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka untuk melewati Pemilihan Presiden alias Pilpres 2024 satu putaran. 

Wacana ini pun terus bergulir menjelang pemilu yang akan dihelat pada tanggal 14 Februari 2024.

Seperti diketahui, bahwa paslon nomor urut 2, Prabowo-Gibran mengklaim selalu mendapatkan lebih dari 50% dalam survei, dan meyakini akan satu putaran Pemilu. 

Sementara, muncul gerakan empat jari, yang diduga paslon nomor urut 01 dan 03 akan bergabung dan berkoalisi melawan 02 di putaran kedua. 

Kendati, pakar hukum tata negara (HTN) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar di dalam film dokumenter Dirty Vote mengungkap berbagai bentuk skandal dibalik itu.

Menurut Zainal, wacana pemilu 1 putaran terus bergulir karena jika pemilu berlangsung 2 putaran, hal itu tidak akan menguntungkan kubu 02 karena berpotensi kalah.

"Kembali pertanyaannya soal mengapa satu putaran? dua putaran itu membuat risiko kekalahan bagi orang yang sedang memimpin itu menjadi besar," katanya.

Secara ilmu politik dan hukum tata negara bahwa pertarungan Pemilu itu seringkali melahirkan dikotomi atau membagi dua kelompok. 

"Dikotomi antara status quo dan perubahan, antara orang yang jualannya adalah melanjutkan yang terdahulu, dengan orang yang jualannya adalah ingin melakukan perubahan atau perbaikan secara mendasar," bebernya. 

Menurutnya, dikotomi ini bukan khas Indonesia, tetapi bisa terjadi di berbagai belahan negara di dunia. 

Bahkan, dia mengungkap bahwa dalam tingkat yang lebih lokal pernah terjadi dikotomi, dalam konteks Pilkada DKI Jakarta.

"Kalau anda lihat Pilkada DKI Jakarta, menurut data survei secara konstan sebenarnya pasangan Ahok dan Djarot yang kita ketahui didukung juga oleh Presiden Jokowi senantiasa secara konstan memenangkan posisi paling atas dari semua survei," ucapnya. 

 Jika dilihat dari hasil putaran pertama, memang Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot memenangkan paling atas, diikuti oleh Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, serta kemudian Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Silviana. 

"Tetapi yang terjadi adalah putaran kedua keadaan tersebut berbalik, mengapa berbalik? karena bersatunya kekuatan pengkritik atau bersatunya kekuatan yang melawan orang yang paling teratas itu Anies dan AHY, seakan-akan memiliki angka penjumlahan antara jumlah suara Anies dan AHY pada saat itu," ujarnya. 

Itu sebabnya kemudian pasangan yang didukung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu, yaitu Ahok dan Djarot harus kalah. 

Sementara itu, dia mengatakan bahwa ada lagi yang harus diingat bahwa munculnya gerakan yang namanya gerakan empat jari.

"Gerakan 4 jari itu seakan-akan menjadi tawaran seakan-akan menjadi simbol bahwa ke depan dalam Pilpres kali ini adalah penggabungan kekuatan 01 dan 03 melalui gerakan empat jari atau gerakan 04," ujarnya.

Diketahui, Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu (11/2) siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.

Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis.

Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI. (wan)