Gugatan Pilpres 2024 Anies dan Ganjar Ditolak, Ketua MK Awalnya Garang, Tapi Letoy Juga!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 April 2024 20:58 WIB
Ketua MK Suhartoyo (Foto: Istimewa)
Ketua MK Suhartoyo (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi mengaku pesimis ketika sengketa pemilihan presiden (Pilpres) 2024 dibawa ke Mahkamah Konsitusi (MK). Bukan tanpa alasan rasa pesimis itu, soalnya dia menilai sejak MK dipimpin oleh ketua MK Anwar Usman maupun di pimpin oleh Suhartoyo. MK tidak berubah.

Alasannya, Anwar Usman yang sudah di pecat oleh MKMK dan telah langgar kode etik yang kedua, masih tetap bercokol sebagai Hakim di MK.

Lalu, sejumlah gugatan soal diajukan oleh para penggugat, baik soal batas bawah umur calon wakil presiden (cawapres) maupun batas atas usia calon presiden (capres) di tolak oleh MK. 

"Dugaan saya sikap MK ini aneh. Terlihat MK ikutan bermain dalam usia cawapres yang sudah diputuskan dalam putusan nomor 90 MK yang kontroversial, cacat hukum, langgar norma, langgar konstitusi dan langgar UU," kata Muslim saat dikonfirmasi, Selasa (23/4/2024).

Selain itu, dia menilai bahwa MK tidak mau ambil resiko. "Resiko Ketua MK dipecat. Putusan jalan terus dan MK pada sidang sengketa pilpres bela putusannya yang bernomor 90. Meski itu salah dari sisi norma, lawan konstitusi dan UU sekalipun," lanjutnya.

Selanjutnya, dia juga menyoroti sikap Ketua MK, Suhartoyo yang awalnya garang, namun akhirnya letoy juga. "Dari awal garang, sangar dan seolah memberi harapan, ujung-ujungnya letoy. Menyerah pada politik dinasti, apa beda ketua MK Suhartoyo dengan paman Usman?" tanya dia.

Sikap Hakim Suhartoyo yang juga ketua MK ini aneh. Kata Muslim, publik dibikin terkesima, tapi akhirnya membuat MK menjadi "sampah" pencari keadilan dan kebenaran.

"Apalagi kebenaran diuji dengan voting 5 – 3. Rakyat dikalahkan oleh keputusan Istana," bebernya.

Tak hanya itu saja, juga berhembus kuat Hakim Suhartoyo tersandera kasus saat menjabat sebagai Hakim di MA. "Jika benar demikian, dari naluri publik dan akal sehat rakyat pemilik kedaulatan berpendapat. MK tersandera oleh kekuatan jahat kekuasaan," cetusnya.

Muslim pun mengutip “Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi sempat menduga Suhartoyo menerima gratifikasi dari mantan terpidana kasus korupsi BLBI, Sudjiono Timan. Kasus ini mencuat saat Mahkamah Agung (MA) membebaskan Sudjiono dari seluruh vonis dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), Agustus 2013. Keputusan tersebut dinilai janggal karena sebelumnya mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia tersebut dinyatakan terbukti merugikan negara hingga Rp369 miliar dan divonis 15 tahun penjara".

Kemudian kasus Hakim MK Soehartoyo lainnya, Muslim mengutip “KPK kembali memeriksa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo terkait dengan kasus dugaan suap uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK. Suhartoyo ditanyai tentang kronologi rapat 6 kali".

Selanjutnya, Muslim mengungkapkan, bahwa publik menyaksikan hanya empat yang aktif saat sidang sengketa pilpres. "Bisa jadi empat hakim itu hanya menunggu voting. Dapat diduga empat hakim itu bawa misi Istana. Dari sisi hitung-hitungan. Istana sudah punya 4 Hakim yang nongol sebagai ornament. Tinggal tunggu voting ditambah satu hakim tersandera kasus. Lalu menjadi 5:3. Skor nya Istana di menangkan atas gugatan rakyat".

Lalu, kata dia, Hakim dan MK yang selama ini di biayai negara atas pajak rakyat, justru menjadi pengkhianat atas amanat rakyat. "Jika MK tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan dan kedaulatan bagi rakyat. Rakyat akan mencari keadilan sendiri dengan pengadilan rakyat".

"Rakyat akan mendatangi rumahnya di Senayan untuk segera menggelar sidang rakyat atau mahkamah rakyat," imbuhnya.

Penting diketahui, bahwa MK pada hari Senin kemarin, MK menolak gugatan terhadap pemilihan presiden yang dimenangkan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, setelah saingan utamanya menuduh peraturan diubah secara tidak adil untuk memungkinkan putra pemimpin yang akan keluar itu untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

Prabowo dikukuhkan pada bulan Februari sebagai calon pemimpin berikutnya di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, mengalahkan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan saingannya yang ketiga (Ganjar Pranowo) dengan 58,6% suara.

Kampanye presiden terpilih ini terperosok dalam tuduhan bahwa pemimpin yang akan segera habis masa jabatannya, Jokowi telah ikut campur dalam upaya untuk mendukung kampanye Prabowo.

Ia dituduh merekayasa perubahan aturan yang memungkinkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden.

MK juga menyatakan tuduhan nepotisme atau intervensi negara tak terbukti. Bahkan Ketua MK, Suhartoyo yang menyebut "pengadilan menolak eksepsi untuk seluruhnya. Menolak permohonan kasasi untuk seluruhnya". (wan)

 

Topik:

MK Sengketa Pilpres Ketua MK Suhartoyo