Penyusunan RUU Wantimpres Super Cepat padahal Tak Masuk Prolegnas 2020-2024, Ada Apa Gerangan?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Juli 2024 02:02 WIB
Rapat paripurna mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi usul inisiatif DPR serta pidato penutupan masa sidang.
Rapat paripurna mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi usul inisiatif DPR serta pidato penutupan masa sidang.

Jakarta, MI - Revisi Undang-Undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sesungguhnya tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2020-2024.

Namun, pada Selasa (9/7/2024), Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan membawa rancangan undang-undang (RUU) tersebut ke dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR setelah disepakati sembilan fraksi di rapat pleno.

Menjadi tak biasa, karena penyusunan RUU dilakukan dalam waktu satu hari saja.

"Katakanlah paripurna menyetujui, berarti [RUU] ini akan dikirim ke pemerintah. Pemerintah nanti akan menerbitkan surpres [surat presiden], kemudian juga beserta daftar inventaris masalahnya, setuju atau tidak," ujar Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, di Kompleks DPR, Jakarta.

Menurut Supratman, ada beberapa perubahan dalam revisi UU Wantimpres. 

Rapat paripurna tersebut mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 19 tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi usul inisiatif DPR serta pidato penutupan masa sidang.

Revisi UU Wantimpres memuat antara lain: Wantimpres diganti menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA); Tidak ada batasan jumlah anggota DPA; dan Anggota DPA akan berstatus pejabat negara.

Supratman mengklaim meskipun nomenklatur hingga syarat menjadi anggota DPA ada perubahan, namun tugasnya tetap memberikan pertimbangan kepada presiden.

Mengenai jumlah yang tak dibatasi, politikus Partai Gerindra ini beralasan agar presiden terpilih nanti bisa mendapatkan orang-orang terbaik dan disesuaikan dengan kebutuhannya.

Kendati demikian, dia menampik dugaan yang berkembang bahwa revisi UU Wantimpres dilakukan untuk kepentingan presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Enggak lah, enggak ada [dorongan dari Prabowo]. Semakin banyak orang berkontribusi untuk pembangunan ini yang memiliki kapasitas semakin baik. Tidak ada yang salah," bebernya.

Apa kata pakar?

Pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang, mengatakan orang-orang yang masuk dalam Wantimpres biasanya adalah mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau mereka yang dianggap 'taat' dengan Presiden.

Itu mengapa ada anggapan Wantimpres mustahil memberikan nasihat atau pertimbangan yang berseberangan dengan Presiden.

Dari segi fungsi, Wantimpres juga dianggap tidak berdaya guna, menurut Dian Puji. Sebab nasihat atau pertimbangan yang mereka sampaikan belum tentu diterima atau diakomodir Presiden.

"Kalau anggota Wantimpres cuma mengakomodir mantan bawahan presiden atau jadi tempat penampungan pensiunan, mau nasihatin bosnya bagaimana? Pasti ada perasaan rikuh, apalagi dengan kultur Indonesia," ungkapnya.

Sekarang jika DPR ingin merevisi UU Wantimpres dengan mengubah hal-hal yang disebutnya tidak signifikan, maka menurutnya percuma dan hanya menambah beban anggaran saja.

Sementara kinerjanya tidak terlihat.

"Kerjanya hanya memberikan nasihat tapi jumlah [anggota] berjibun, buat apa? Jadi beban APBN, padahal anggaran dikeluarkan harus berbasis kinerja."

"Kecuali fungsinya diperkuat seperti di Prancis yang bertugas sebagai banding administratif pemerintah. Kalau warga protes bisa mengadu ke mereka, jadi bermanfaat."

"Misalnya ada perilaku menteri yang tidak benar dilaporkan ke Dewan Pertimbangan Agung dan disampaikan secara terbuka, kan ada fungsinya."

"Tapi kalau cuma penasihat kan bingung, kerjanya apa?"

Karenanya Dian Puji berharap dalam revisi UU Wantimpres, DPR turut memperkuat peran lembaga tersebut, dengan menambahkan tugas baru selain memberikan nasihat atau pertimbangan.

Yakni bertugas sebagai banding administatif bagi warga.

Kemudian menetapkan kriteria spesifik seperti independen, tidak pernah menjadi bawahan presiden, dan berintegritas.

Untuk jumlah anggota, menurut Dian Puji, sebaiknya tidak lebih dari lima orang. Sebab presiden sudah dibantu oleh wakil presiden dan para menteri-menterinya.

"Jumlahnya jangan terlalu banyak karena ini bukan lembaga operasional. Dalam hukum administrasi negara, suatu badan atau lembaga yang tidak teknis seperti kementerian, sebaiknya tidak terlalu banyak anggota."

"Cukup lima atau tujuh orang. Kalau belasan orang, sudah kebanyakan, karena ini lembaga pertimbangan yang justru dilihat pada kualitas bukan jumlah orangnya."

"Sebanyak apa pun tapi tidak berkualitas pertimbangannya, enggak berguna juga."

Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, sependapat.

Ia mengatakan revisi UU Wantimpres "tidak ada urgensinya sama sekali" dan jika DPR hanya mengubah nomenklatur serta menambah jumlah anggota, maka hal itu tak lebih sebagai upaya bagi-bagi jatah "kue" jabatan kepada rekan koalisi presiden terpilih Prabowo Subianto.

"Saya melihat, niatnya ingin membagi-bagi kue kekuasaan saja."

"Karena Wantimpres atau DPA enggak punya wewenang yang bisa dieksekusi, mereka benar-benar cuma kasih nasihat ke presiden."

Merujuk pada lembaga penasihat yang dibentuk Joko Widodo, seperti Kantor Staf Presiden (KSP), Wantimpres, dan tujuh milenial Staf Khusus Presiden, presiden sebetulnya tidak kekurangan nasihat, kata Bivitri.

Justru keberadaan mereka, sebutnya, tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang anggaran negara.

Sebab sebagai lembaga negara, mereka menerima hak keuangan serta fasilitas lainnya sesuai dengan yang diberikan kepada menteri negara.

"Jadi tujuannya cuma kasih fasilitas ke orang-orang senior, balas jasa, karena dilihat dari sejarahnya Wantimpres begitu. Dikasih jabatan padahal nasihatnya bisa didengar atau tidak."

Pun, Bivitri mencurigai pembentukan DPA tak lain ingin mengakomodasi ide presidential club ala Prabowo yang berisi para mantan presiden yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, termasuk Joko Widodo.

Gagasan itu sebelumnya dikritik pengamat politik Silvanus Alvin, yang mengatakan klub kepresidenan hanya ingin meredam perbedaan pendapat saat proses legislasi dan perumusan anggaran di parlemen.

Dalam draf revisi UU nomor 19 tahun 2006 tentang Wantimpres, Pasal 9 menyebutkan anggota Dewan Pertimbangan Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden yang ketetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres).

Kemudian Pasal 7 menyatakan posisi ketua DPA dapat dijabat secara bergantian di antara anggota yang ditetapkan oleh Presiden. Adapun jumlah anggota DPA ditentukan sesuai kehendak Presiden.

Draf revisi undang-undang juga menghapus larangan anggota partai politik dan organisasi masyarakat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.

Terkait hal itu, politikus Partai Gerindra, Maruarar Sirait, mengatakan nantinya anggota Dewan Pertimbangan Agung bertugas memberikan pertimbangan, masukan nasihat, dan saran kepada Prabowo Subianto setelah dilantik menjadi presiden pada Oktober mendatang.

Ia juga meyakini Presiden Joko Widodo bakal menjadi anggota DPA di masa pemerintahan Prabowo.

Sebab Jokowi dan Prabowo klaimnya mempunya hubungan yang luar biasa baik.

"Saya berdoa, saya yakin. Saya berharap Pak Jokowi menjadi anggota dewan pertimbangan agung ke depan. Beliau punya pengalaman sebagai wali kota, gubernur, dan presiden," ujar Maruarar di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (10/7/2024).

Kuatnya dugaan DPA dibentuk untuk menampung Jokowi setelah purnatugas sebagai presiden juga diutarakan anggota Baleg DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah.

Dia menilai DPA dapat diisi oleh mantan presiden.

"Saya kira cara kita menghargai pemimpin bangsa atau pemimpin negara itu kan banyak cara. Nah, saya kira mereka sudah transformasi menjadi negarawan. Jadi ada beliau former president itu Pak SBY, Ibu Megawati, atau Pak Jokowi misalnya," tuturnya.

"Ya mungkin ada juga perwakilan dari keluarga Gus Dur dan lain-lain. Intinya, termasuk juga tokoh-tokoh yang lain karena tidak mesti harus juga presiden yang itu bisa ada di Dewan Pertimbangan Agung," sambungnya.

Terpisah, Presiden Jokowi mengatakan langkah DPR mengubah Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung merupakan 

"Inisiatif DPR [sehingga] tanyakan ke DPR," ucapnya, Kamis (11/7/2024).

Sekadar tahu, bahwa pada masa Orde Baru, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Lembaga tinggi negara ini dibentuk berdasarkan Pasal 16 UUD 1945 yang menyatakan DPA yang berjumlah 11 orang – berkewajiban memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan pemerintahan negara.

Tapi dalam Sidang Umum MPR tahun 2002, DPA dihapuskan dengan Keputusan Presiden nomor 135/M/2003 pada tanggal 31 Juli 2023.

Penghapusan ini dikarenakan beberapa hal, di antaranya lembaga tersebut disebut tidak terlalu banyak mengerjakan pekerjaan pemerintah sehingga sangat tidak efisien.

Selain itu arah tujuan menjadi tidak jelas seiring dengan terbentuknya lembaga lain yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang yang lebih jelas.

Setelah amandemen keempat UUD 1945, keberadaan DPA diganti menjadi dewan yang ditempatkan dalam satu Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara.

Perubahan itu menunjukkan bahwa posisi suatu dewan yang memiliki tugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden tetap diperlukan.

Dan, statusnya berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.

Lahirlah UU nomor 19 tahun 2006 yang menjadi landasan keberadaan dewan pertimbangan yang kini disebut Wantimpres.

Wantimpres pertama kali dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007. Jumlah anggota dewan pertimbangan itu dibatasi sembilan orang.