Pengamat Nilai DPA hanya Alat Politik Jokowi

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 Juli 2024 16:28 WIB
Joko Widodo (Foto: Istimewa)
Joko Widodo (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Pengamat parlemen sekaligus peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa revisi Undang-undang nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (UU Wantimpres) yang akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bukanlah suatu hal yang mendesak.

Pasalnya, Wantimpres atau DPA menurutnya hanya kerap kali jadi tempat tergabungnya tokoh yang dianggap berjasa untuk penguasa. 

Di satu sisi, penetapan mereka sendiri juga dilakukan oleh Presiden sebagai pemilik legitimasi yang tinggi, sehingga saran atau masukan dari pihak terutama DPA tidak akan banyak didengar. 

"Presiden dengan legitimasi yang tinggi dan kekuasaan yang super akan merasa paling mampu memikirkan dan melakukan sesuatu sehingga saran atau pertimbangan dari pihak lain seperti DPA akan tak banyak didengar, dan lagian anggota DPA dengan segala macam cara akan diisi oleh orang-orang Penguasa," jelas Lucius, Sabtu (13/7/2024). 

"Bagaimana DPA mau mengusulkan atau menimbang sesuatu kepada Presiden ketika mereka justru diangkat oleh Presiden? Ya paling masukan yg basa-basi aja," sambungnya. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Lucius pun juga tak menampik bilamana wacana mengembalikan DPA ini terlihat seperti ingin mengembalikan keadaan Indonesia ke masa orde baru, dan bagian dari kepentingan Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah tak lagi menjabat. 

"Bisa dikatakan wacana mengembalikan DPA ini memang terlihat seperti mau mengembalikan apa yang pernah ada di era orba. Bisa jadi ini [juga] memang utak-atik untuk kepentingan mencari posisi bagi Jokowi setelah usai menjadi Presiden," jelasnya. 

Sementara itu, pengamat politik sekaligus akademisi ilmu sosial dan politik Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat menilai bahwa dengan RUU Wantimpres secara tidak langsung merupakan bentuk lain dari cawe-cawe Jokowi untuk memperkuat pengaruh politiknya. 

"Memang benar, bahwa jabatan ketua DPA akan diisi oleh Pak Jokowi, selama jabatan terakhir, sebagai Presiden. Itu bagian upaya agar Presiden Jokowi punya pengaruh politik. Nah, dalam konteks politik Indonesia sebenarnya, itu kan mantan Presiden yang punya peran signifikan dalam berbagai konsultasi, [sehingga] terus dapat mengaruhi keputusan politik. Nah ini bisa jadi dianggap sebagai bentuk baru dari cawe-cawe itu," kata Cecep 

Terlebih, jika melihat dari dinamika kekuasaan yang ada di Indonesia saat ini, menurut Cecep hal ini juga bisa menjadi cara Jokowi untuk menjaga keberlanjutan dan stabilitas langkah politiknya bila nanti ia menjadi Ketua DPA. 

"Terutama jika Presiden terpilih, nanti berasal dari politik yang sama dengan Jokowi sekarang, Koalisi Indonesia Maju. Nah, ini bisa jadi isu juga dianggap sebagai upaya mempertahankan kekuasaan secara informal Jokowi," jelasnya. 

Oleh sebab itu, Cecep menekankan agar dalam pembentukan DPA ini ini haruslah dilihat secara konteks yang lebih luas dimana transparansi, akuntabilitas, serta tujuan yang jelas itu menjadi kunci untuk memastikan apakah lembaga ini bisa berfungsi dengan baik atau tidak, atau justru hanya menjadi alat politik semata. 

Untuk diketahui, dalam rencana revisi, DPR rencananya akan mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi DPA. Rencana ini dikaitkan dengan kepentingan dan kebutuhan Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto.

Badan Legislasi atau Baleg DPR memastikan DPA akan memiliki fungsi yang sama dengan Wantimpres yaitu memberikan nasihat dan pertimbagan kepada presiden. Secara kelembagaan, DPA juga tetap berada di bawah presiden dan bisa diawasi oleh DPR.

Meski demikian revisi UU Wantimpres akan memberikan keleluasaan kepada presiden menjabat. Rencananya, seperti RUU Kementerian Negara, presiden terpilih akan bebas menentukan jumlah anggota DPA. Padahal, saat ini UU Wantimpres membatasi jumlah anggotanya maksimal delapan orang.

DPR mengklaim tak adanya aturan soal jumlah DPA akan mempermudah presiden untuk menyesuaikan kebutuhannya dalam pemerintahan. Akan tetapi, hal ini justru semakin menyoroti potensi gemuknya pemerintahan mendatang dalam kaitan upaya membagi jabatan bagi banyak kelompok.