'Amnesia' RUU Perampasan Aset, Formappi: DPR Operator Politik!


Jakarta, MI - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset untuk pejabat korup itu penting dalam membuktikan kalau ada keberpihakan ke rakyat dan perang lawan korupsi. Tapi kenapa itu masih belum disahkan? Itu pertanyaan besar.
Kendati, pengesahan RUU Perampasan Aset yang sudah berdebu di Senayan itu perlu dilakukan secara terbuka dengan dialog yang mempertimbangkan konsep akademis yang matang. Jika begitu, maka tidak akan terjadi kesalahpahaman pada setiap pembuatan undang-undang, utamanya RUU Perampasan Aset.
Secara sederhana, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara (recovery asset) sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. RUU ini telah melewati perjalanan cukup panjang sejak awal 2010.
Pada periode Prolegnas 2015-2019, RUU ini termasuk dalam program legislasi nasional, tapi tidak pernah dibahas karena tak masuk dalam daftar prioritas RUU.
Kemudian pada periode Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset kembali dimasukkan dan Pemerintah mengusulkan agar RUU ini dimasukkan dalam Prolegnas 2020.
Sayangnya, usulan itu tidak disetujui DPR RI. Pada 2023, Pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2023.
Lantas bagaimana nasibnya di era pemerintahan berikutnya?
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memperkirakan itu tergantung pada kemauan politik presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pasalnya, Prabowo yang juga merupakan Ketua Umum Partai Gerindra ini berinisiatif mengajak semua partai politik di DPR bergabung mendukung pemerintah dalam koalisi gemuk.
''Ini kan urusannya bukan soal apakah anggota DPR-nya mau atau tidak. Ini urusannya kalau DPR sudah dibawa kendali koalisi besar itu dan tidak ada lagi oposisi, maka kita bertanya apakah Prabowo mau atau tidak?" kata peneliti Formappi, Lucius Karus, kepada wartawan, dikutip Jum'at (27/9/2024).
"Kan satu saja nanti pertanyaan lain kali. Prabowo mau atau tidak? Kalau dia mau maka semuanya bisa dilakukan. Kalau dia tidak mau, apa pun mereka (DPR) akan lakukan untuk membatalkannya," tambahnya.
Menurut Lucius, tak cuma RUU Perampasan Aset, nasib RUU yang akan ditolak atau disahkan di parlemen juga tidak akan bergantung pada dinamika politik internal DPR semata, melainkan tergantung kemauan Prabowo sebagai presiden nanti.
DPR operator politik
Lucius menyatakan bahwa indikasi DPR sebagai operator politik atau tukang stempel ini, sudah terlihat sejak keanggotaan 2019-2024.
Pun, Lucius memperkirakan, modus revisi undang-undang secara kilat tanpa partisipasi publik yang bermakna manakala terdapat sejumlah pasal yang dianggap mengganggu suatu kepentingan eksekutif akan tetap berlanjut.
Modusnya adalah dengan menempatkan revisi undang-undang itu sebagai RUU kumulatif terbuka, sebagaimana baru saja ditempuh untuk memuluskan revisi UU Keimigrasian dan UU Kementerian Negara.
Padahal, RUU kumulatif terbuka semestinya diperuntukkan untuk RUU yang tidak terkait langsung dengan fungsi legislasi, semisal RUU APBN yang berkaitan dengan fungsi anggaran atau RUU terkait ratifikasi perjanjian internasional agar berkekuatan mengikat.
"Ada begitu banyak RUU yang mestinya RUU prioritas gitu ya, harus dibahas dengan memperhatikan partisipasi publik, tapi oleh DPR karena mau mencomot atau merubah satu atau dua pasal saja, mereka masukkan itu dalam daftar kumulatif terbuka," tandas Lucius.
Topik:
RUU Perampasan Aset Formappi DPRBerita Sebelumnya
Andi Salim Yakin Bekasi Kedepan Lebih Maju dan Kota Toleran Jika Risol Jadi Wali Kota
Berita Selanjutnya
Bawaslu Minta KPU Tetap Lantik Gufron Siradj dan Irsyad Yusuf
Berita Terkait

Aturan BPJH Produk Tanpa Sertifikasi Halal jadi Ilegal, DPR: Ngawur dan Sembrono!
7 jam yang lalu

DPR Desak KPK Periksa Eks Kepala Bapanas Arief soal Dugaan Korupsi Demurrage Beras
13 jam yang lalu

Dasco Dukung Rencana Pemerintah Audit Bangunan Pondok Pesantren Berusia Tua
9 Oktober 2025 12:55 WIB