Serdik Sespimmen Bertemu Jokowi, DPR Pertanyakan Izin ke Kapolri


Jakarta, MI - Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni mempertanyakan apakah Sespimmen Polri sudah meminta izin kepada komandan tertinggi di lembaga pendidikannya atau ke Kapolri terkait pertemuan dengan Presiden ke-7 Jokowi pada Kamis (17/4/2025) lalu.
Apabila belum, seharusnya mereka tidak menggunakan baju dinas dan cukup memakai baju biasa saja tanpa atribut apapun. "Tapi kalau sudah pakai baju biasa, dia harus izin sama komandannya. Nah, kalau sudah diizinin, berarti komandannya juga tanya lagi, udah izin lagi belum sama Pak kapolri? Nah itu ada tingkat-tingkatnya," kata Sahroni di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Di lain sisi Bendahara Umum (Bendum) Ahmad Sahroni itu menilai pertemuan tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang keren apabila dilakukan secara tertutup alias tidak diketahui publik.
"Kalau ngomong secara pribadi ya, kalau dia tidak upload di ruang publik, gue rasa tidak apa-apa. Tapi kalau di ruang publik, menurut gue kurang pas, karena sekarang Pak Jokowi kan mantan presiden. Kecuali masih presiden, boleh saja. Tapi kan ini institusi yang notabene lagi sekolah. Ya mungkin dapat arahan sewajarnya kalau dia tertutup saja, fine. Tapi kalau di ruang terbuka kan orang anggapannya jadi beda-beda, 'wah ini jangan-jangan Pak Jokowi masih post power syndrome', jadi pengen juga terus tampil," bebernya.
Meski begitu, dirinya menegaskan dengan adanya pertemuan ini bukan berarti hadirnya dualisme kepemimpinan. Ia menilai pertemuan ini terjadi karena pada momen itu, Jokowi kembali bertemu dengan eks ajudannya Kompol Syarif Fitriansyah. "Jadi sisi positif adalah Pak (Jokowi) pengen ngajarin anak-anaknya lah, ngasih tahu yang baik-baik, tapi kalau tertutup, wah itu keren banget. Tapi kalau ruang terbuka, menurut kita ya aduh, nanti orang anggapannya 'wah ini gimana sih'," tandasnya.
Apakah pantas?
Jokowi memberikan arahan kepada peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri perlu dilihat dari beberapa aspek, termasuk konteks, kapasitas, dan implikasinya. Jokowi, yang sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, menerima kunjungan peserta Sespimmen Polri Dikreg ke-65 di kediamannya di Solo, Jawa Tengah.
Pertemuan ini bersifat silaturahmi, di mana Jokowi memberikan arahan terkait kepemimpinan, sinergi Polri-TNI, dan tantangan era digital seperti kecerdasan buatan (AI).
Status sebagai mantan Presiden, Jokowi tidak lagi memiliki kapasitas formal sebagai pejabat negara sejak berakhirnya masa jabatannya pada Oktober 2024.
Dalam sistem kepolisian, arahan resmi biasanya diberikan oleh pimpinan Polri, seperti Kapolri atau Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri, yang berada dalam rantai komando formal.
Namun, Presiden dua periode (2014–2024), Jokowi memiliki pengalaman luas dalam kepemimpinan nasional dan wawasan strategis, termasuk soal sinergi TNI-Polri dan tantangan global.
Adapun arahan yang diberikan, seperti pentingnya integritas, profesionalitas, dan adaptasi teknologi, relevan dengan tujuan Sespimmen untuk mencetak pemimpin Polri yang berkualitas.
Pertemuan ini bukanlah agenda resmi Polri, melainkan inisiatif peserta Sespimmen untuk bersilaturahmi dan meminta masukan. Dalam konteks ini, arahan Jokowi lebih bersifat motivasi dan berbagi pengalaman, bukan perintah formal.
Mengingat, Jokowi memiliki pengalaman memimpin negara di tengah tantangan kompleks, seperti digitalisasi dan stabilitas nasional. Masukannya dapat memperkaya perspektif peserta Sespimmen, yang diharapkan menjadi pemimpin strategis Polri.
Dalam budaya Indonesia, silaturahmi dengan tokoh berpengaruh seperti mantan presiden adalah hal wajar dan dapat memotivasi perwira muda.
Oleh karena itu, arahan Jokowi soal sinergi Polri-TNI, kepercayaan publik, dan adaptasi teknologi selaras dengan kurikulum Sespimmen, yang menekankan kepemimpinan modern dan wawasan kebangsaan.
Akan tetapi sebagai mantan presiden, Jokowi tidak memiliki wewenang untuk memberikan arahan resmi kepada peserta Sespimmen, yang merupakan bagian dari program pendidikan formal Polri.
Karena hal ini dapat memunculkan persepsi bahwa ia masih berupaya memengaruhi institusi negara secara tidak langsung.
Dalam konteks politik pasca-kepresidenannya, tindakan Jokowi dapat dianggap sebagai upaya mempertahankan pengaruh, terutama jika pertemuan ini dianggap melampaui batas silaturahmi biasa.
Perlu diingat bahwa arahan dari pihak eksternal, meskipun mantan presiden, dapat dianggap mengesampingkan rantai komando Polri, yang seharusnya menjadi acuan utama peserta Sespimmen.
Meskipun arahan Jokowi relevan dan konteksnya adalah silaturahmi, penting untuk mempertanyakan apakah pertemuan ini murni inisiatif peserta atau ada motif lain, seperti mempertahankan pengaruh politiknya.
Dalam sistem birokrasi yang sehat, masukan dari tokoh eksternal dapat diterima, tetapi harus tetap berada dalam koridor yang tidak mengganggu independensi institusi seperti Polri.
Selain itu, Polri perlu memastikan bahwa peserta Sespimmen tetap fokus pada arahan resmi dari pimpinan mereka untuk menjaga integritas pendidikan.
Namun, secara moral dan budaya, tidak ada yang salah dengan Jokowi memberikan arahan dalam kapasitas informal, terutama karena pertemuan ini bersifat silaturahmi dan diminta oleh peserta.
Pengalamannya sebagai mantan presiden menjadikan masukannya bernilai. Namun, dari sisi formalitas, arahan semacam ini sebaiknya dihindari atau dikemas dengan jelas sebagai diskusi non-resmi untuk mencegah persepsi pelanggaran hierarki Polri atau motif politik.
Kepantasan tergantung pada bagaimana pertemuan ini diposisikan. Jika sebagai motivasi dari tokoh berpengalaman, maka pantas. Sementara sebagai arahan resmi, maka tidak pantas.
Topik:
DPR Jokowi Sespimmen Kapolri