Pameran Lukisan "Che Unclak-Uncluk": Nuansa Kental Kritik Sosial Sentot Widodo

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 6 Januari 2024 04:00 WIB
Sentot Widodo dengan salah satu karyanya yang berjudul "Super Fine Quality, AFFANDI" (Foto: Istimewa)
Sentot Widodo dengan salah satu karyanya yang berjudul "Super Fine Quality, AFFANDI" (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - "Unclak-Uncluk" adalah kata dari bahasa Jawa yang kira-kira artinya: Wira-wiri suka dolan/mblayang (kesana kemari suka main), adalah sosok pelukis kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1966.

Nama asli adalah Sentot Widodo, karena sukanya main ke sana-kemari, makanya disebut oleh kawan-kawannya, Sentot Widodo "Unclak-Uncluk".

Sentot adalah pelukis yang pernah mengenyam pendidikan formal seni rupa, di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta lulus tahun 1986,  dan meneruskan masuk FSRD ISI Yogyakarta jurusan seni lukis, angkatan 1986.

Puluhan karya lukisan berbagai ukuran dan material, dipamerkan di gedung Balai Budaya, Jl Gereja Theresia 47, Menteng, Jakarta Selatan. Pameran terlaksana berkat kerjasama antara komunitas seni budaya Kampoeng Semar, pimpinan Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana dan Balai Budaya yang dikelola oleh seniman Syah Nagra.

Pameran akan berlangsung dari 6-13 Januari 2024, dan rencana dibuka oleh Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana, Sabtu sore (6/1) jam 17.00.

Pelukis yang  aktif malang melintang beraktivitas ikut pameran di berbagai ivent pameran ini, pameran di Balai Budaya ini merupakan pameran tunggal yang kedua, setelah pameran tunggal perdananya di Rumah Tembi Budaya, Bantul, Yogyakarta, tahun 2004.

Nuansa Kental Kritik Sosial

Melihat karya Sentot memang rasa kental kritik sosialnya sangat dominan, seperti yang ia lontarkan dalam obrolan singkat kepada penulis. Misalnya
Ada pada salah satu karya tahun 2022 yang berjudul: "Warisan Leluhur yang Tergusur", secara visual tampak di tengah lukisan, sebuah foto yang sudah lama dan kelihatan tersobek dan sudah rusak, ada sosok Gusti Ayu Nurul dan suaminya (wanita cantik dari Mangkunegaran, Solo) yang berpakaian adat priyayi keraton Mangkunegaran, yang dilukis secara realis, bisa saja mewakili budaya Jawa. 

Kemudian dikelilingi oleh sosok para Punokawan, Semar dan anak-anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Sementara Gareng membawa setangkai bunga mawar dan Petruk membawa sebuah lentera yang menyala. 

Ini sebuah metafora visual, sebuah semiotika visual yang tidak cukup hanya  dilihat dengan mata telanjang, tetapi dilihat dengan mata hati, dilihat dirasakan dan direnungkan. Tentu hal ini tetap mengundang kebebasan opini setiap orang yang melihat dan menilainya. 

Sosok Gusti Nurul dan suaminya yang berpakaian adat keraton, tentu ini juga sebuah nilai peradaban dan budaya Jawa, juga kesenian wayang kulit, yang di zaman sekarang ini ,orang sangat susah untuk melihat pementasannya secara langsung. 

Padahal kesenian pertunjukan wayang kulit atau pun wayang orang, itu sebuah tontonan, tuntunan dan sekaligus tatanan.  Sesuai dengan konteks judul lukisan, seseorang bisa saja beropini dalam olah rasa dan olah pikir bahwa: Budaya Jawa dan kesenian wayang, yang sekarang ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Jawa sendiri dan  tergusur oleh katakanlah budaya pop atau seni budaya modern seni budaya asing.

Karya ini digarap secara realis magis, telaten dan cukup serius. Pemakaian warna yang klasik, terlihat kekunoan dan magis, membuat karya ini menambah bobot pesan kritik sosial yang disampaikan.

Ada lagi karya hitam putih, dengan komposisi yang berbeda dari karya lainnya, yaitu imajinasi visual tentang Quality cat minyak merek AFFANDI (ada sosok wajah Affandi dalam tube cat). 

Komposisi yang harmoni dari tube-tube cat yang terlihat sudah kempes karena cat habis terpakai, dari sudut pandang mata elang (dilihat dari atas) , maka lukisan ini menjadi daya tarik tersendiri, meski pun digarap secara realis dengan warna hitam putih. Ada tube cat paling besar dominan, dengan tulisan di tube: Super Fine Quality, AFFANDI, ada gambar sosok wajah Affandi salah satu sang maestro pelukis Indonesia. 

Istilah "Unclak-Uncluk" menurut saya bukan hanya punya arti secara wadag/fisik, namun juga secara imajinasi yang bisa leluasa kesana - kemari tak terbatas, sehingga Sentot bebas berimajinasi mendapatkan ide atau gagasan yang kemudian dieksekusi divisualkannya ke dalam karya.

Selamat berpameran Sentot!

(Gatot Eko Cahyono, Pengamat Seni)

Berita Terkait