Lagi, Akal Bulus KPU Menyembunyikan Sumber Data Pemilu dengan Sirekap

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 24 Maret 2024 22:27 WIB
Aplikasi Sirekap KPU (Foto: MI/Aswan)
Aplikasi Sirekap KPU (Foto: MI/Aswan)

SALAH SATU kata dalam judul diatas (SIKAREP) bukan typo atau salah ketik, karena sebagaimana pernah saya cetuskan sebulan lalu, kata SIKAREP ini merupakan "plesetan" dari SIREKAP yang bermakna "sak karep e dhewe" (Jawa) alias seenak maunya sendiri. 

Kalau dulu yang seenak sendiri hanya soal mekanisme teknis di SIREKAP, kini sudah menyangkut sumber data yang digunakan dalam pemilu 2024 yang seharusnya menjadi hak publik atau asyarakat sebagai pembayar pajak yang anggarannya digunakan untuk membiayai miliaran rupiah untuk SIREKAP, bahkan diatas 70 triliun untuk pemilu secara keseluruhan.

Saat tulisan ini dibuat, Sabtu (23/03/2024) sudah ada dua paslon yang mendaftarkan gugatan hasil pemilu 2024 ke Mahkamah Konstitusi atau MK yang berarti insyaaAllah tetap Mahkamah Konstitusi, bukan "Mahkamah Kalkulator" (karena sebelum-sebelumnya hanya bisa mendasarkan kepada perhitungan kuantitatif saja) atau apa lagi bukan "Mahkamah Keluarga" (karena berdasarkan Putusan MKMK sebelumnya, Paman Usman tidak lagi diperbolehkan menyidangkan hasil Pemilu).

Dua paslon tersebut adalah 01 (Anies-Muhaimin) yang sudah mendaftar langsung pada 21 Maret 2024 dan 03 (Ganjar-Mahfud) yang akhirnya mendaftar pada 23 Maret 2024.

Kedua paslon tersebut tentu sudah berusaha sebaik mungkin membekali gugatannya dengan bukti-bukti yang lengkap dan ilmiah, karena pengalaman di tahun-tahun sebelumnya MK belum pernah sekalipun memenangkan gugatan di level pilpres. Meskipun dalam tingkatan pilkada hal tersebut pernah dilakukannya.

Hal ini karena selalu yang dijadikan patokan dalam gugatan pilpres adalah persoalan kuantitatif, bukan kualitatif. Demikian juga sulitnya membuktikan gugatan telah memenuhi syarat TSM (terstruktur, sistematis masif) berdasarkan paradigma yang selama ini dianut oleh MK tersebut.

Terlebih bilamana melihat data pembanding yang akan diuji nantinya di MK adalah berdasarkan angka hasil pemilu yang diterbitkan oleh KPU berdasarkan pengumuman finalnya pada hari Rabu( 20/03/2024) pukul 22.19 WIB sebagaimana yang sudah dibacakan oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dengan terbata-bata.

Bahkan sempat diskors 30 menit lebih yang saya sebut dalam tulisan sebelumnya sebagai hal yg sangat rungkad tersebut, bagaimana bisa sebuah keputusan P=penting masih saja ada koreksi di last minute saat dibacakan dan bahkan diskors lebih dari setengah jam.

Mengapa data pembanding KPU ini perlu dicermati, karena sebenarnya pemohon gugatan di MK tidak bisa hanya berdasarkan kepada hasil yang sudah (di) jadi (kan) oleh KPU tertanggal 20 Maret 2024 jam 22.19 WIB tersebut.

Tetapi harus pula mendapatkan sumber data yang digunakan untuk membuat "hasil jadi" tersebut.

Ini bukan lagi soal apakah angkanya berasal dari SIREKAP yang sudah rungkad semenjak 2 minggu yang lalu atau berasal dari cara manual berjenjang yang tidak bisa dimonitor oleh masyarakat secara terbuka pergerakannya, namun ini masalah sumber data atau file angka asli yang digunakan untuk menjumlahkan dari 820.223 TPS di 38 Provinsi di seluruh Indonesia tersebut.

Jadi mau angkanya berasal dari SIREKAP (yang sudah rungkad, meski sekali lagi saya tetap mengusulkan kepada pihak-pihak terkait untuk menuntut pertanggungjawaban KPU dengan audit forensik dan audit Investigatif akan hal tersebut), atau manual berjenjang.

Semua harus ada "sumber angka" yang bisa dipertanggungjawabkan dan dibuka kepada publik bilamana diperlukan, sesuai UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Artinya sumber angka ini harus dalam format umum yang bisa dibuka dengan program yang lazim digunakan oleh masyarakat, bukan program khusus, apalagi di-enskripsi atau disandikan karena merupakan hak publik untuk mengerti data yang biasa disebut "babon" atau mentah tersebut.

Data "babon" atau induk data ini lazim disimpan dalam format CSV atau singkatan dari "comma separated values" yang kadang bisa disebut "character separated values" atau comma delimited files.

File CSV adalah file teks biasa yang berisi daftar data dan sering digunakan untuk bertukar data antara aplikasi yang berbeda. Pada umumnya file CSV menggunakan karakter koma untuk memisahkan (atau membatasi) antar data, tetapi terkadang menggunakan karakter lain, seperti titik koma.

Artinya dengan menggunakan file CSV kita dapat memindahkan data dari satu system ke system lainnya dengan lebih mudah, dan tanpa melakukan input manual satu-persatu.

Idenya adalah bahwa kita dapat mengekspor data kompleks dari satu aplikasi ke file CSV, dan kemudian data tersebut bisa di impor  atau upload ke aplikasi lain. 

Jadi file CSV lazim digunakan, misalnya di program Microsoft Excel. File CSV menyimpan informasi yang dipisahkan oleh koma, bukan menyimpan informasi dalam kolom. Saat teks dan angka disimpan dalam file CSV, mudah untuk memindahkannya dari satu program ke program lain.

Celakanya, atau boleh kita bilang akal bulusnya, terungkap dalam persidangan di Komisi Informasi Pusat (KIP) berdasarkan permintaan dari Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN) beberapa hari lalu, ternyata KPU sudah berusaha untuk menghindar (baca: menutup akses publik) terhadap file-file CSV data babon TPS-TPS tersebut dengan menerbitkan keputusan (internal) No. 345 Tahun 2024 tertanggal 17 Maret 2024 (alias "baru saja diterbitkan" untuk mengantisipasi sidang di KIP) yang ditandatangani langsung lagi-lagi oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dan ini anehnya menetapkan file-file CSV tersebut adalah hal yang "dikecualikan" alias tidak bisa dibuka ke publik dan dalam kurun waktu 3 tahun lamanya sampai tahun 2027.

Ini benar-benar hal "ajaib bin SIKAREP" alias seenaknya sendiri membuat sebuah keputusan yang menabrak logika akal sehat. Bagaimana bisa data babon hasil pemilu yang seharusnya merupakan 100% hak publik tersebut minta untuk dikecualikan dan dirahasikan dari akses masyarakat?

Belum lagi kurun waktunya selama 3 tahun yang sangat tidak masuk akal, karena masa jabatan KPU sekarang juga berakhir tahun 2027, sehingga bisa jadi modus untuk lari dari tanggungjawab.

Seharusnya KIP tidak mengabulkan atau bahkan menganulir keputusan irasional KPU tentang Pengecualian Data Babon CSV tersebut.

Kesimpulannya, semakin jelas bahwa pemilu 2024 dikhawatirkan bisa dianggap oleh masyarakat sebagai "sangat tidak transparan data-datanya", karena publik bisa berpendapat "bagaimana masyarakat bisa percaya dengan hasil data yang hanya dibacakan langsung hasilnya kemarin, tanpa bisa mendapatkan sumber data atau data babon CSV-nya?

"Wajar sampai2 disebut "1001 alasan atau akal bulus" digunakan untuk menutupi hal tersebut dengan alasan kerahasiaan data yang membuatnya sebagai "informasi yang dikecualikan".

Selain SIREKAP yang sudah rungkad, akal bulus menyembunyikan data babon ini memang benar-benar sudah SIKAREP namanya.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/aaadcf1d-e414-4b85-baa6-e663e62d0fbc.jpg

Dr. KRMT Roy Suryo - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen