Uji Materi PP 99/2012 Dikabulkan, MA Batalkan Pasal-Pasal Pengetatan Remisi Koruptor

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Oktober 2021 19:59 WIB
Monitorindonesia.com - Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Tata Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. PP ini memperketat pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme, atau narkoba. Mereka hanya bisa mendapatkan remisi jika memenuhi sejumlah syarat yang lebih ketat dibandingkan napi lainnya. "Putusan kabul HUM (hak uji materiil)," demikian dilansir laman Mahkamah Agung (MA), Jumat (29/10/2021). Uji materi atau judicial review PP dengan perkara nomor 28 P/HUM/2021 itu diajukan Subowo dan kawan-kawan selaku mantan kepala desa yang kini sedang menjalani hukuman di LP Sukamiskin, Bandung. Jawa Barat. Putusan MA ini diketok oleh ketua majelis Supandi dengan anggota majelis Yodi Martono Wahyunandi dan Is Sudaryono pada 28 Oktober 2021 dan dicatat panitera pengganti Dewi Asimah. Uji materiil yang dikabulkan adalah pasal 34A serta aasal 43 A PP Nomor 99/2012 yang mengatur soal pemberian remisi kepada narapidana kasus kejahatan luar biasa yaitu perkara korupsi, terorisme dan narkoba. Dalam gugatannya, Subowo menggugat pasal 34A ayat (1) huruf (a) dan b, pasal 34A ayat (3), dan pasal 43A ayat (1) huruf (a), pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99/2012. Dia menilai ketentuan pasal-pasal dalam PP tersebut bertentangan dengan UU di atasnya. Terhadap perkara ini, MA menerangkan sejumlah pertimbangan yang mendasari pengabulan uji materiil, yakni: Pertama, fungsi pemidanaan tidak sekedar memenjarakan pelaku agar jera, akan tetapi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice (model hukum yang memperbaiki). Kedua, narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan sehingga yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Ketiga, berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat didalam peraturan pelaksanaan UU Nomor 12/1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice. Keempat, remisi harus diberikan tanpa terkecuali bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pertimbangannya, majelis hakim juga menyatakan, syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana, seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk (reward) berupa pemberian hak remisi tambahan di luar hak hukum yang telah diberikan sebab segala fakta hukum yang terjadi di persidangan termasuk terdakwa yang tidak mau jujur mengakui perbuatannya serta keterlibatan pihak lain dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang memberatkan hukuman pidana. "Sampai titik tersebut persidangan telah berakhir dan selanjutnya menjadi kewenangan lapas," katanya. Dikatakan, kewenangan untuk memberikan remisi merupakan otoritas penuh lembaga pemasyarakatan yang dalam tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan. Dalam menilai setiap warga binaan untuk diberikan remisi harus dimulai pihak lapas sejak warga binaan tersebut menyandang status warga binaan dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya. "Bahwa remisi diberikan kepada warga binaan dengan syarat warga binaan tersebut telah melakukan pengembalian kerugian uang negara terlebih dahulu. Bahwa warga binaan tidak menunjukan perilaku yang bertentangan dengan tujuan pembinaan di lembaga pemasyarakatan," papar hakim. (Tar)

Topik:

Mahkamah agung remisi khusus Remisi Narapidana ma batalkan pp remisi