Kerangkeng Manusia di Langkat, Kontras: Sebenarnya BNN Tahu, Tapi Mendiamkan

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 20 Februari 2022 13:59 WIB
Monitorindonesia.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyampaikan sejumlah temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) yang memprihatinkan dari kerangkeng manusia milik mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Salah satunya adalah ketika Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat yang cenderung membiarkannya, padahal mereka mengetahui hal tersebut. "BNN Kabupaten Langkat itu sudah mengetahui praktik kerangkeng ini, dia sudah tahu bahwa ini tidak memiliki izin, tidak memiliki legalitas bahwa ini adalah satu tempat rehabilitasi. Tapi sayangnya BNN Langkat cenderung mendiamkan," kata peneliti HAM Kontras, Rozy Brilian dalam diskusi daring, dikutip pada Minggu (20/2/2022). Temuan Komnas HAM lainnya adalah kerangkeng manusia tersebut sudah ada sejak 2012. Bahkan masyarakat sekitar sudah mengetahui hal tersebut dan BNN Kabupaten Langkat mengetahuinya sejak 2017. "Ini temuan yang menarik dan sekaligus memprihatinkan bahwa keberadaan kerangkeng bupati ini sudah dilakukan sejak 2012. Artinya itu sudah hampir 10 tahun lalu dan ini herannya praktik perbudakan modern sedemikian rupa baru menjadi persoalan di hari ini," ujarnya. Temuan ketiga, diketahui bahwa orang-orang yang dikurung dalam kerangkeng tersebut adalah pekerja di kebun sawit Terbit. Namun, mereka tak menerima upah yang pantas. "Temuan lainnya ada dugaan satu kekerasan, terbukti dari misalnya beberapa korban yang mengalami luka lebam ditemukan di sekujur tubuh. Kemudian juga ada beberapa korban meninggal yang menjadi temuan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)," lanjutnya. Berdasarkan pengakuan Terbit, diperkirakan sudah ada lebih dari 2.000 orang yang pernah ditahan dalam kerangkengnya. Setiap harinya, sekira 100 orang diterima atau masuk sejak 10 tahun lalu. "Kerangkeng manusia atau yang diklaim sebagai tempat pembinaan bagi pencandu narkoba itu, tempat rehabilitasi yang tidak memiliki izin," ujar Rozy. Tak hanya itu, ia juga menyampaikan sejumlah permasalahan multidimensi yang ditemukan dalam kasus kerangkeng manusia milik mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Pertama adalah adanya praktik kekerasan, penyiksaan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). "Itu dibuktikan dari banyak sekali tanda-tanda jejak dari pelanggaran HAM yang dilakukan pada saat praktik kerangkeng manusia ini," jelasnya. Kedua, adalah praktik perbudakan modern atau modern slavery. Ia tak habis pikir, masih adanya perbudakan oleh seorang yang notabenenya memiliki kuasa untuk mengeruk keuntungan tanpa memberikan hak yang pantas bagi para pekerjanya. "Praktik serupa banyak terjadi di kebun sawit, menandakan minimnya pengawasan serta perlindungan terhadap pekerja atau buruh sawit," ujar Rozy. Permasalahan selanjutnya adalah dari aspek sosiologis atau dukungan masyarakat. Ia melihat ada kepercayaan masyarakat terhadap praktik kerangkeng manusia untuk merehabilitasi pecandu narkoba, ketimbang lembaga formil. "Ini juga menjadi problematis ketika masyarakat hari ini tidak mempercayai lembaga formil yang ada, dan cenderung memercayakan satu lembaga ilegal bersifat tidak manusiawi dalam bentuk kerangkeng," ujar Rozy. Terakhir adalah tata kelola dan kebijakan terhadap pengguna narkoba. Menurutnya, hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah dalam kebijakannya terhadap pengguna narkoba. "Hari ini kita masih cenderung mengedepankan paradigma dalam menghukum satu pengguna narkotika. Pada akhirnya itu berimplikasi pada tatanan masyarakat yang tidak memercayai lembaga formil," pungkasnya. (Aswan)