Kasus Dugaan Suap Suyuti oleh Summarecon Agung, Pengamat: KPK Harus Temukan Personil Directing Mindnya!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Juni 2022 12:55 WIB
Jakarta, MI - Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra mengungkapkan, bahwa dalam kasus dugaan suap mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti, para pelaku pembantu tidak boleh diadili sebelum pelaku utama terbukti bersalah. Dalam hal ini, kata Azmi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menemukan personil directing mindnya atau personel pengendali dengan meluaskan penyidikan, mengambil langkah langkah terukur pada perusahaan PT Summarecon Agung Tbk. (Persero). "Harus ditelusuri siapakah yang memerintahkan dan menyuruh maupun menyetujui untuk menyuap Haryadi Suyuti dalam IMB Apartemen Royal Kedhaton dikawasan Malioboro," kata Azmi Syahputra kepada Monitor Indonesia.com, Kamis (30/6). Sisir, lanjut Azmi, apakah permufakatan jahat berupa penyuapan ini dilakukan oleh beberapa orang yang berkapasitas sebagai personal pengendali yang secara serentak menyepakatinya atau ada beberapa bagian yang terpisah dari perbuatan pelaku pengendali tersebut. "Ini harus dilihat peran apa yang diperbuat dari personal pengendali pada level atas yang semestinya dapat mencegah atau membiarkan kesepakatan menyuap Haryadi Suyuti," tegas Azmi Syahputra. Karena menurut Azmi, sejatinya pelaku yang berdasarkan hubungan kerja ini, adalah kesalahan bagi PT Summarecon Agung jika kegiatan bisnisnya membahayakan jajarannya hingga jadi tersangka termasuk bila kesalahan semata dibebankan pada level anak buah. "Secara bawahan PT SA hanya melakukan perintah atasannya semestinya tindakannya merupakan representatif perbuatan pemimpinnya ,karena tindakan anak buahnya tersebut sudah di ketahui oleh personal pengendali pada level atas," lanjut Azmi. Artinya, kata Azmi, sepanjang ada bukti dan relevansi bahwa personal pengendali korporasi yang bersangkutan bertindak sebagai pemimpin atau pemberi perintah dan memiliki mens rea yang ianya tahu akan suap dimaksud, maka dapat dibebani pertangungjawaban pidana. "Ini kuncinya, karena jelas secara faktual perbuatannya yang bila dihubungkan dengan rumusan delik, peran kontribusinya sebagai pemberi perintah termasuk dengan adanya hubungan kerja terhadap bawahannya dimaksud hanya sebagai kategori pelaku pembantu, maka personal pengendali pada level ataslah yang semestinya sebagai pelaku utama bukan anak buahnya, dan dalam hukum pidana pelaku pembantu tidak boleh diadili sebelum pelaku utama terbukti bersalah," jelas Azmi Syahputra. "Karenanya untuk adanya keadilan hukum mendorong KPK untuk terus mengungkap dan menemukan siapakah pimpinan di level atas yang mengendalikan termasuk menggerakkan penyetujuan penyuapan terhadap mantan Wali Kota Yogyakarta dua Periode itu," imbuhnya. Dalam kasus ini, mantan Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, Nurwidhihartana (NWH); dan Sekretaris Pribadi merangkap ajudan Haryadi, Triyanto Budi Yuwono (TBY). Sedangkan, tersangka pemberi, yakni Vice President Real Estate PT Summarecon Agung Tbk (SA), Oon Nusihono (ON). Haryadi menerima USD27.258 dari Oon melalui Nurwidhihartana dan Triyanto sebagai imbalan menerbitkan IMB Apartemen Royal Kedhaton yang berada di kawasan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta. Fulus itu diamankan dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis, 2 Juni 2022. KPK juga mengungkap Haryadi menerima minimal Rp50 juta dalam rangkaian proses penerbitan IMB apartemen Royal Kedathon. Namun, KPK belum mengungkap total uang yang diterima Haryadi. Haryadi, Nurwidhihartana, dan Triyanto disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan, Oon disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. [Ode]

Topik:

KPK Suap Haryadi Suyuti Summarecon Agung