KPK Kejar Enembe, Sementara Sri Mulyani BPK RI Bebas Berkeliaran

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 10 Oktober 2022 11:45 WIB
Jakarta, MI – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengejar-ngejar Gubernur Papua Lukas Enembe tersangka kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Papua serta dugaan gratifikasi sebesar Rp 1 miliar. Namun, untuk pegawai BPK RI Sri Mulyani yang sedang berkeliaran, saat ini belum disentuh sama sekali oleh lembaga antirasuah tersebut. Diketahui, Penyidik KPK telah mengirimkan beberapa kali surat panggilan Namun, Enembe tidak hadir dengan alasan kesehatan. Bukan dia saja, istri dan anaknya pun juga lebih memilih mangkir dari panggilan KPK itu. Dengan begitu, KPK bakal memanggil ulang istri Gubernur Papua, Lukas Enembe, Yulce Wenda dan anaknya Astract Bona T.M Enembe. Keduanya diancam dijemput paksa jika mangkir terus. Juru Bicara bidang penindakan KPK, Ali Fikri mengungkapkan KPK akan segera melakukan pemanggilan kedua terkait mangkirnya para saksi. "Soal mangkirnya para saksi, pasti kami segera panggil yang kedua kalinya. Jika mangkir kembali maka sesuai ketentuan hukum bisa dilakukan jemput paksa terhadap saksi," kata Ali, beberapa waktu lalu. Pemanggilan para saksi dilakukan tidak hanya untuk tersangka Lukas Enembe saja namun juga untuk tersangka lainnya. KPK menunggu waktu yang pas untuk memanggil ulang Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagai tersangka. Perkara Lukas Enembe Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pada 19 September 2022 lalu memaparkan hasil rapat koordinasi terkait persoalan hukum yang menjerat Enembe. Rapat itu dilakukan karena penyidik KPK kesulitan untuk memeriksa Enembe yang berkeras tidak bersalah. Bahkan para pendukung Enembe sempat berjaga di rumahnya dan menggelar unjuk rasa di Kota Jayapura, Papua. Saat itu Mahfud turut mengundang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, KPK tidak memaksakan penjemputan paksa mengingat kondisi di Papua yang rawan konflik. Sebab, kediaman Enembe sempat dijaga oleh sejumlah pendukungnya. “Kita lihat situasi (jemput paksa), enggak mungkin kan kita paksakan kalau situasinya seperti itu. Kita enggak ingin ada pertumpahan darah atau kerusuhan sebagai akibat dari upaya yang kita lakukan,” ucap Alex saat itu. Mahfud mengatakan, nilai dugaan korupsi yang dilakukan Enembe bukan hanya yang terkait dengan gratifikasi senilai Rp 1 miliar melainkan beberapa perkara lain. "Ada kasus-kasus lain yang sudah didalami terkait dengan kasus ini. Misalnya, ratusan miliar dana operasional pimpinan, dana pengelolaan PON, kemudian juga adanya manajer pencucian uang yang dilakukan atau dimiliki oleh Lukas Enembe," kata Mahfud. “Saat ini saja ada blokir rekening atas rekening Lukas Enembe per hari ini itu sebesar Rp 71 miliar yang sudah diblokir, jadi bukan Rp 1 miliar,” ujar Mahfud. Mahfud juga memaparkan persoalan lain, yakni kesulitan yang dialami Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memeriksa keuangan Provinsi Papua. Maka dari itu, kata Mahfud, BPK hampir selalu memberikan opini tidak menyatakan pendapat atau disclaimer terhadap keuangan pemerintah Provinsi Papua. "BPK lebih banyak disclaimer atas kasus keuangan di Papua tersebut. Oleh sebab itu lalu bukti-bukti hukum mencari jalannya sendiri dan ditemukanlah kasus-kasus tersebut," kata Mahfud. Mahfud juga meminta Enembe mengikuti proses hukum dan memenuhi panggilan pemeriksaan KPK. Bahkan dia menjamin jika KPK tidak mempunyai cukup bukti maka Enembe akan dilepas. “Jika tidak cukup bukti, kami ini semua yang ada di sini menjamin, dilepas, endak ada dihentikan itu,” ucap Mahfud. Sebaliknya, jika KPK bisa menunjukkan bukti kuat atas dugaan korupsi itu, Mahfud meminta Enembe bertanggung jawab atas perbuatannya. “Tetapi, kalau cukup bukti ya harus bertanggung jawab karena kita sudah bersepakat membangun Papua yang bersih dan damai sebagai bagian dari pembangunan NKRI,” ucap Mahfud. KPK Tak Punya Nyali Periksa Sri Mulyani Pegawai BPK RI Sri Mulyani yang dulunya bekerja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengurusan Dana Insentif Daerah (DID) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabanan, Bali, yang sempat disebut-sebut KPK untuk dipanggil pemeriksaan, kini semakin tidak jelas. Lembaga pimpinan Firli Bahuri itu juga dinilai "tak punya nyali" memanggil dam memeriksa Sri Mulyani yang saat ini berstatus sebagai pegawai BPK RI. Padahal dalam persidangan, Bupati Tabanan pernah menyebutkan bahwa dalam kasus itu ada keterlibatan pegawai BPK RI tersebut. Atas hal inilah, publik meragukan keberanian KPK untuk melanjutkan kasus ini dan memanggil Sri Mulyani karena hingga saat ini KPK terbukti belum pernah memanggil pegawai BPK RI itu. KPK Salah Panggil Saksi Sebelumnya, KPK melayangkan surat pemanggilan terhadap saksi Sri Mulyani pada Selasa (17/5) lalu, namun Sri Mulyani tidak memenuhi panggilan tersebut. KPK mengklaim bahwa ternyata ada kekeliruan dalam surat tersebut dan salah memanggil saksi, sehingga KPK akan mencari keterangan dari pihak lain. Dalam surat itu KPK menyatakan panggilan atas nama Sri Mulyani bukan berprofesi ASN di IPDN. “Yang bersangkutan tidak hadir dan informasi yang kami terima, terdapat kekeliruan, yaitu nama saksi yang dibutuhkan penyidikan dimaksud bukan berprofesi ASN pada IPDN,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (18/5). Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar dalam amar putusannya menyatakan, Ni Putu Eka Wiryastuti telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama dan berlanjut. Yakni terlibat bersama terdakwa I Dewa Nyoman Wiratmaja menyuap dua mantan pejabat Kementerian Keuangan dalam pengurusan DID Tabanan, Yaya Purnomo (terpidana) dan Rifa Surya (tersangka) sebesar Rp 600 juta dan 55.300 dolar Amerika. Sebagaimana dakwaan alternatif pertama, Eka Wiryastuti dijerat pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU RI No. 20 tahun 2021 tentang Perubahan atas UU RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Dewa Nyoman Wiratmaja merupakan pemberi suap, sedangkan penerima suap adalah Rifa Surya. Eka Wiryastuti yang menjabat Bupati Tabanan dua periode dalam melaksanakan tugasnya mengangkat tersangka I Dewa Nyoman Wiratmaja sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan Ni Putu Eka awalnya mengangkat I Dewa Nyoman sebagai staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan. Ni Putu Eka berinisiatif mengajukan permohonan DID dari pemerintah pusat senilai Rp65 Miliar sekitar Agustus 2017. "Untuk merealisasikan keinginannya tersebut, tersangka NPEW memerintahkan tersangka IDNW menyiapkan seluruh kelengkapan administrasi permohonan pengajuan dana DID yang dimaksud," kata Lili dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (24/3). Lili menyebut I Dewa Nyoman kemudian berkoordinasi dengan pejabat Kemenkeu ketika itu, Yaya Purnomo dan Rifa. Keduanya diduga memiliki kewenangan dan dapat mengawal usulan DID untuk Kabupaten Tabanan 2018. Yaya Purnomo dan Rifa menyanggupi permohonan tersebut. Namun, mereka diduga mengajukan syarat khusus untuk mengawal usulan DID Kabupaten Tabanan dengan meminta sejumlah fee alias "dana adat istiadat". Menurut Lili, I Dewa Nyoman lantas meneruskan permintaan ini kepada Ni Putu Eka dan mendapat persetujuan. Adapun nilai fee yang ditentukan oleh Yaya Purnomo dan Rifa sebesar 2,5 persen dari alokasi dana DID untuk Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, pada sekitar Agustus-Desember 2017, diduga dilakukan penyerahan uang secara bertahap oleh I Dewa Nyoman kepada Yaya Purnomo dan Rifa di salah satu hotel di Jakarta. "Pemberian uang oleh tersangka NPEW melalui tersangka IDNW ini diduga sejumlah sekitar Rp600 juta dan US$55.300," kata Lili. Lili memastikan pihaknya masih mendalami aliran uang kepada para pihak yang diduga punya andil dalam pengurusan DID Kabupaten Tabanan tahun 2018. Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara Yaya Purnomo. Sementara Yaya telah divonis 6,5 tahun penjara karena terbukti menerima suap bersama anggota DPR fraksi Demokrat, Amin Santono, dari mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa. Tim penyidik KPK juga telah memeriksa sejumlah saksi selama penyidikan kasus dugaan korupsi DID Tabanan 2018 ini. Salah satunya, mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar. Namun untuk saksi Sri Mulyani pegawai BPK, lagi-lagi KPK hingga saat ini rupanya belum juga mempunyai keberanian memeriksanya, hanya "garang" kepada Gubernur Papua Lukas Enembe yang saat ini masih mangkir dari panggilan KPK itu. Keberadaan Sri Mulyani Direktur Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I) Tomu Pasaribu, SH., MH. mengatakan bahwa seharusnya KPK harus jelas memangil saksi dalam sebuah kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor). Bupati Tabanan dalam persidangan, menyebut ada keterlibatan anggota BPK dalam kasus itu. Namun yang dicari KPK sebagai saksi itu adalah Sri Mulyani yang dulunya memang pegawai Institusi Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bandung. Bukan Sri Mulyani Menteri Keuangan, lanjut Tomu, tapi Sri Mulyani yang beberapa tahun lalu dipindahtugaskan ke BPK yang kemungkinan bisa menjadi saksi kunci dalam kasus tersebut. “Tidak menutup kemungkinan saya katakan dia termasuk saksi kunci atas keterlibatan terhadap seseorang yang sedang di sidik oleh KPK sebagai lembaga independen yang sangat kuat, kok bisa salah mengirimkan surat,” kata Tomu dalam Podcast Monitor Indonesia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kata Tomu, adalah apakah KPK serius menangani kasus ini? “Pernyataan KPK itu sendiri akan mencari saksi lain artinya kalau disisi hukum ini kan kalau di Indonesia permainan kata-kata bijak akhirnya ini itu terjebak ternyata nanti yang diperiksa itu bukan Sri Mulyani itu lagi karena sudah ada saksi lain lebih cenderung mengantisipasi di sini,” jelasnya. Tomu melanjutkan, bahwa Sri Mulyani yang dibahas KPK sebenarnya dulu di IPDN dipindahkan oleh seseorang di BPK. Untuk itu, bagi Tomu, KPK akan lebih gampang mencari seseorang di BPK, karena BPK itu tidak banyak anggotanya didalam. ”Teman saya aktivis dulu, mengatakan setiap ada tugas Sri Mulyani ini ikut, setiap tugas diluar negeri, yang ikut dengan anggota BPK lainnya, makanya saya bilang ini kasus lama dan tidak mungkin tidak diketahui oleh KPK,” katanya. Tomu pun mempertanyakan KPK begitu lama menangani kasus yang sangat jelas runtutan dan garis benang merahnya. ”KPK selalu mengatakan kurang orang, sementara OTT kadang dilancarkan begitu cepat, sementara yang ini kenapa lama,” katanya. Atas hal ini, Tomu menilai KPK sudah terjebak dalam politik praktis yang terlalu berani mengatakan akan mencari saksi lain yang sampai saat ini belum juga terungkap. “Artinya kalau dikatakan kalimat mencari saksi lain, karena salah sasaran surat yang mereka kirimkan untuk memakai Sri Mulyani mereka mencari saksi lain, nggak bisa dong harus Sri Mulyani, makanya saya bilang Sri Mulyani sekarang ada di BPK itu,” jelasnya. “KPK ini sebenarnya tidak sulit namun dibikin seolah-olah sulit cuman dibikin seolah-olah sulit, apa sih yang tidak bisa di zaman canggih ini dia menangkap orang aja waktu cepat dengan OTT bisa, masa nggak bisa mengambil hasil rapat Badan anggota BPK nggak bisa, ada notulennya kok,” sambungnya. Sebenarnya, kata Tomu, masalah ini hanya pintu kecil, yang artinya bahwa anggota BPK posisinya hanya sembilan. Namun, jika pola penanganan kasus terus seperti itu pasti akan menjamur. Apalagi kata dia, salah melayangkan surat pemanggilan. Dan sangat mustahil KPK itu tidak mengetahui di mana Sri Mulyani. “Makanya kalau bagi saya ini suatu permainan skenario hukum yang seolah-olah mau teruskan dan pada intinya mau dihentikan,” pungkasnya. (Aan)