Menanti Keberanian KPK Periksa Perusahaan Mayapada Group dan Menhub Budi Karya

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 2 Juni 2023 11:30 WIB
Jakarta, MI - Keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa perusahaan Mayapada Group dan Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya saat ini dinantikan oleh publik. Perusahaan Mayapada Group perlu diperiksa untuk kepentingan penyidikan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret bekas pegawai pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rafael Alun Trisambodo. Sedangkan Menhub Budi Karya terkait dengan kasus dugaan korupsi berjamaah dalam proyek pembangunan jalur kereta api yang menyeret pejabat DJKA. "Kalau ini terkait dengan masalah keuangan atau uang negara, kalau KPK diam-diam, nanti dikhawatirkan uang itu akan akan dilinep yang nanti bisa menduga pada oknum KPK yang tidak transparan. Maka dari itu harus dibuka secara terbuka,” ujar Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakir kepada Monitor Indonesia, Jum'at (2/6). KPK sebelumnya menyebutkan bahwa antara Rafael Alun dan Direktur RS Mayapada, Grace Tahir diduga pernah terlibat transaksi jual-beli aset. Transaksi itu puluhan miliar rupiah. Rafael Alun juga diduga pernah membeli rumah dari Grace Tahir, namun KPK telah menyita rumah itu. Jika memang Grace Tahir diduga terlibat dalam hubungannya dengan masalah transaksi keuangan itu, maka sudah sepantasnya dan seharusnya KPK memeriksanya lagi. KPK juga harus dapat mendalami sejauh mana hubungan antara Rafael Alun dengan perusahaan Mayapada Group itu. Kalau benar bahwa perusahaan Mayapada Group itu sebagai bagian daripada cara Rafael untuk melakukan pencucian uang dengan transaksi-transaksi yang seolah lagi adalah transaksi yang benar tapi padahal transaksi itu tidak benar. Maka, tegas dia, KPK wajib memeriksa Mayapada Group itu. "KPK wajib periksa Perusahaan Mayapada Group itu dalam hal ini adalah Grace Tahir,” tegas Mudzakir. Menurutnya, hal itu penting untuk membuka secara luas tentang bagaimana bentuk transaksi antara Rafael dengan Mayapada Group. "Jangan lupa KPK selalu harus memberitahukan kepada publik agar supaya jelas kasus ini dan tidak menimbulkan spekulasi di masyarakat," tuturnya. Sementara itu, dikasus korupsi DJKA, Mudzakir menyataka bahwa dalam pemeriksaan terhadap saksi harus berdasarkan alat bukti dan juga tergantung dari apa yang menjadi perbuatan dan tanggung jawabnya. Dalam hal ini tidak ada alasan KPK untuk tidak memeriksa Menhub Budi Karya, sebab dia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pennyelenggara pengguna anggaran dalam proyek tersebut. “Proses hukum harus sesuai fakta berdasarkan alat bukti tidak boleh terpengaruh faktor politik. (KPK periksa Menhub Budi Karya) Ya tergantung perbuatan yang dilakukan,” kata Mudzakir kepada Monitor Indonesia, Senin (22/5). Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan 10 tersangka. Enam orang pejabat dari Dirjen Perkeretaapian ditetapkan sebagai penerima suap. Sementara, empat orang swasta ditetapkan menjadi pemberi suap. KPK menduga total uang suap yang sudah mengalir untuk proyek tersebut mencapai Rp 14,5 miliar. Enam tersangka penerima suap adalah Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan. Kemudian, Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya, PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat, PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi; dan PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah. Adapun empat tersangka pemberi suap adalah Direktur PT Istana Putra Agung (IPA), Dion Renato Sugiarto; Direktur PT Dwifarita Fajarkharisma, Muchamad Hikmat; dan Direktur PT KA Manajemen Properti (sampai Februari 2023), Yoseph Ibrahim. (LA)