Kasus Korupsi Ismail Thomas Seperti Cerita Bersambung

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 21 Agustus 2023 06:23 WIB
Jakarta, MI - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Fraksi PDIP, Ismail Tohmas menjadi tersangka terkait dugaan memalsukan dokumen yang dijadikan alat bukti dalam persidangan sengketa lahan antara PT Sendawar Jaya dan sejumlah pihak, termasuk Kejagung. Pemalsuan itu terkait kedudukan tersangka sebagai bupati Kutai Barat periode 2006-2016. Kasus ini seperti cerita bersambung. Kejadiannya pada tahun 2021, yang mana pada saat itu juga Ismail sudah menjadi anggota DPR RI. "Yang bersangkutan melakukan pemalsuan dokumen di tahun 2021, statusnya sebagai anggota DPR RI," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, kemarin. Ismail dijerat dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1999 tentang Tindap Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP. Kasus ini bermula saat PT Sendawar Jaya melakukan gugatan perdata dengan klasifikasi perbuatan melawan hukum di PN Jakarta Selatan. Gugatan didaftarkan pada 21 Juli 2022. PT Sendawar Jaya menggugat karena merasa pemilik izin sah atas lahan/lokasi pertambangan batu bara seluas 5.350 hektare di Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai. Sementara, Kejagung menilai lahan itu milik PT Gunung Barat Utama. Perusahaan ini, merupakan anak perusahaan dari PT Trada Alam Minerba, milik salah satu terdakwa kasus Jiwasraya dan Asabri, Heru Hidayat. Alasan Kejagung menyita aset tersebut karena tengah memaksimalkan pengembalian aset dari korupsi Heru Hidayat yang merugikan negara puluhan triliun rupiah. "Iya benar (terkait Heru Hidayat)," kata Ketut. PT Sendawar Jaya yang merasa memiliki izin atas lahan tersebut tidak terima dan menggugat ke pengadilan. Dalam gugatan tersebut PT Sendawar Jaya menggugat beberapa pihak, yakni PT Gunung Bara Utama, Soebianto Hidayat, Tandrama, Aidil Adha, Abdul Hatta, Edi, PT Batu Kaya Berkat PT Black Diamond Energy. Tak hanya itu, Kejagung menjadi turut tergugat dalam permohonan tersebut. [caption id="attachment_560384" align="alignnone" width="688"] Infografis - Ismail Thomas Palsukan Izin Tambang (Monitorindonesia.com/Wan)[/caption] Dalam petitumnya, PT Sendawar Jaya meminta hakim menyatakan perusahaannya adalah pemilik sah atas lahan/lokasi pertambangan batu bara seluas 5.350 hektare di Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat. Kemudian, PT Sendawar Jaya juga meminta agar surat-surat perizinan para tergugat tidak sah. Kemudian menghukum para tergugat membayar kerugian materiil dan immateriil Rp 3,8 triliun. Persidangan pun bergulir. Pada 14 Juni 2023, kasus tersebut diputus. Hakim PN Jakarta Selatan menyatakan para tergugat dan Kejagung selaku turut tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. "Menyatakan penggugat adalah pemilik yang sah atas lahan/lokasi pertambangan batubara seluas 5.350 hektare di Kecamatan Damai, Kabupaten Kutai Barat," demikian dikutip dari SIPP PN Jakarta Selatan. Sementara untuk petitum ganti rugi Rp 3,8 triliun tidak dikabulkan hakim. Hakim yang mengadili kasus tersebut adalah Samuel Ginting selaku ketua, dengan anggota yakni Raden Ari Muladi dan Hendra Utama Sutardodo. Atas putusan tersebut, pihak tergugat melakukan banding ke PT DKI Jakarta. Banding tersebut diputus pada 7 Agustus 2023. Pada tahap ini, pihak tergugat dan Kejagung dimenangkan oleh hakim. Amar putusannya yakni membatalkan putusan PN Jakarta Selatan nomor 667/Pdt.G/2022/PN Jkt/Sel. "Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima," demikian putusan PT DKI Jakarta. Vonis tersebut dikeluarkan oleh Sirande Palayukan selaku ketua hakim, dengan Chrisno Rampalodji dan Berlin Damanik selaku anggota. Belakangan, Kejagung menduga PT Sendawar Jaya ini menang di pengadilan tingkat pertama, karena ada dokumen izin yang dipalsukan. Pemalsuan ini yang diduga dilakukan oleh Ismail Thomas, sehingga dia dijerat sebagai tersangka oleh Kejagung. "Ini terkait perkara yang lama, kemudian dieksekusi, kemudian dilakukan upaya-upaya keperdataan, kita dikalahkan. Ketika kita cek, ternyata dokumen-dokumennya ternyata palsu," demikian Ketut Sumedana. (Wan)