Korupsi CPO Rp 6,47 Triliun, Kejagung Masih Cari Bukti Keterlibatan Airlangga Hartarto

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 11 Oktober 2023 03:32 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan yang khusus menyebut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022. "Dasar untuk melakukan penyidikan adalah Surat Perintah Penyidikan, demikian juga untuk penghentian penyidikan dan KUHAP tidak mengenal adanya penghentian penyidikan secara material atau diam-diam," tulis tim Kejagung dalam pembelaannya dalam sidang gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) dan Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (10/10) kemarin. Dua lembaga masyarakat itu diketahui telah menggugat Kejagung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tidak menetapkan Airlangga Hartarto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 6,47 triliun itu. Adapun gugatannya dengan nomor perkara 105/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL yang didaftarkan pada Kamis 14 September 2023 lalu. Gugatan yang dilayangkan itu untuk membuktikan apakah penyidikan telah dihentikan atau tidak sehingga ada kepastian hukum bagi Airlangga Hartarto. Gugatan Praperadilan tersebut juga dilakukan setelah MAKI dan LP3HI melihat adanya kebijakan yang dibuat Airlangga Hartarto berdampak buruk pada kesediaan minyak goreng. Dalam sidang itu, Kejagung menyatakan bahwa prosedur penetapan tersangka harus memenuhi dua unsur yakni adanya penyidikan untuk mengumpulkan alat bukti dan minimal sudah ada dua alat bukti yang sah sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP. Jika dua unsur tersebut belum terpenuhi, penetapan tersangka belum dapat dilakukan oleh Kejagung. "Penetapan tersangka, harus dilakukan sangat hati-hati berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup menurut ketentuan perundang-undangan," tulis Kejagung. Oleh karena itu, Kejaksaan Agung meminta majelis hakim menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan menolak permohonan praperadilan dari para pemohon untuk seluruhnya. Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana membantah kasus penyidikan CPO terhadap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dihentikan. "Kan penyidikan sedang berjalan," kata Ketut, Senin (25/9). [caption id="attachment_567049" align="alignnone" width="1600"] Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana (Foto: Doc MI)[/caption] Ia mempersilakan MAKI dan LP3HI untuk melakukan upaya hukum praperadilan tersebut. "Silakan saja. Kami sudah terbiasa di praperadilankan," ujarnya. Terkait desakan MAKI yang ingin Airlangga naik status, Ketut pun menegaskan bahwa kewenangan mempertimbangkan menaikkan status seorang saksi menjadi terdakwa ada di Kejaksaan. "Yang menentukan naik tidaknya kasus itu bukan pernyataan MAKI, tapi alat bukti yang ditemukan dari proses penyelidikan," tegasnya. Ketut berharap MAKI mau bersikap kooperatif dan menyampaikan secara langsung dokumen petunjuk terkait Airlangga kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). "Silakan sampaikan ke Jampidsus. Itu lebih bagus. Jangan-jangan dokumen yang mereka miliki sudah ada di kita," ujarnya. Dirinya juga mengungkapkan, Kejaksaan pernah menaikkan status yang bersangkutan. Namun ia tidak mau berkomentar lebih lanjut karena penyidikan masih berjalan. Dalam perkara ini, Airlangga Hartarto juga telah diperiksa sebagai saksi oleh Kejagung pada Senin (24/7/2023) lalu. Kasus bermula saat masyarakat mengeluhkan kelangkaan minyak goreng yang terjadi sekitar tahun 2021-2022. Kelangkaan tersebut menyebabkan melonjaknya harga minyak goreng. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah mencanangkan sejumlah kebijakan salah satunya pemenuhan domestik (domestic market obligation/DMO) bagi eksportir minyak goreng. Namun, Kejaksaan menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah pengusaha terkait izin ekspor CPO. Kejaksaan menyampaikan, perkara terkait izin ekspor CPO tersebut menimbulkan kerugian negara sebesar Rp6,47 triliun. Sejumlah nama dan perusahaan bisnis sawit telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara itu, diantaranya Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana, Ekonomo Lin Chen Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley Ma, dan General Manager General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang Sementara tersangka korporasi dalam kasus tersebut antara lain Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group. (An)