Menkeu: Pengetatan Kebijakan Moneter Terlalu Cepat Tak Berdampak Siginifikan Penurunan Inflasi

wisnu
wisnu
Diperbarui 8 Juni 2022 17:15 WIB
Jakarta, MI – Mentri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan, pengetatan kebijakan moneter yang terlalu cepat dan ketat tidak berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat inflasi. "Kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat mempengaruhi sisi demand (permintaan), sebetulnya tidak menyelesaikan masalah sisi suplainya," kata Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (8/6). Pasalnya, kata Menkeu, tingkat inflasi yang meninggi di berbagai negara disebabkan oleh produksi atau suplai yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan, sementara percepatan pengetatan moneter hanya akan menyasar sisi permintaan. Suplai komoditas unggulan seperti minyak mentah, gas, batu bara, gandum, dan jagung, tertahan karena perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19. "Jadi inflasi di dunia saat ini dikontribusi dari sisi produksi atau suplai itu lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi permintaan akibat perang maupun pandemi," ujar Menkeu Sri Mulyani. Inflasi, lanjut dia, akan selalu menjadi topik utama yang dibicarakan dalam forum-forum internasional, termasuk dalam G20 hingga tahun depan. Tingkat inflasi ini juga dibahas dalam roundtable governor discussion saat pertemuan Islamic Development Bank (IsDB), yang merembet pada pembahasan seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter yang perlu diambil bank-bank sentral untuk menjinakkan inflasi. "Jadi nanti kita akan lihat dampaknya kepada pembahasan kita adalah tadi, kalau seandainya pengetatan cepat dan tinggi, ketat, maka dampak terhadap pelemahan ekonomi global akan terlihat spill over ke seluruh dunia," jelas Sri Mulyani. Sri Mulyani pun mengaku, sempat berbicara soal inflasi dengan beberapa menteri keuangan lain dalam pertemuan IsDB. Salah satunya Menteri Keuangan Turki Nureddin Nubeti yang bercerita tentang inflasi di negaranya yang sudah tembus 74 persen year on year karena energi seperti BBM dan gas tidak disubsidi oleh negara. Sedangkan Menteri Keuangan Mesir bercerita terkait dampak kenaikan harga gandum dan minyak sehingga memutuskan untuk memberikan subsidi energi kepada warganya, akibatnya defisit anggaran Mesir jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. "Yang terjadi sekarang ini adalah memang pemulihan ekonomi dunia berjalan, namun diiringi dengan kenaikan harga-harga komoditas yang melonjak sangat tinggi, terutama semenjak bulan Februari terjadi serangan terhadap Ukraina oleh Rusia," kata Menkeu Sri Mulyani.