19 Tahun Relokasi Pulau Rempang Berlalu, Pemerintah Kemana Saja?

Rizky Amin
Rizky Amin
Diperbarui 25 September 2023 17:41 WIB
Jakarta, MI - Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau bergejolak sejak 7 September 2023 lalu, akibat bentrokan yang terjadi antara warga setempat dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam. Warga menolak lahannya digunakan untuk pembangunan Rempang Eco City, lokasi pabrik produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd. Pemerintah mengharuskan mereka pindah atau relokasi dari wilayah yang terdampak pembangunan sambil memberikan lahan baru dan rumah. Pemerintah pun mengklaim mayoritas warga tidak memiliki sertifikat atau surat bukti yang menunjukkan penguasaan lahan di Pulau Rempang. Selain itu, bentrokan juga pemerintah anggap melibatkan orang-orang di luar masyarakat Rempang yang tak terdampak relokasi. Namun perlu diketahui bahwa kesepakatan untuk mengembangkan/relokasi Pulau Rempang tersebut sudah ada sejak tahun 2004 lalu atau era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejumlah media nasional pernah menayangkan artikel membahas sejarah masuknya investor ke pulau tersebut sejak 2004. Sampai 2008, tidak ada kelanjutan. Di bawah kepemimpinan Nyat Kadir, Pemerintah Kota Batam telah menandatangani perjanjian terkait perjanjian pengembangan Pulau Rempang dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) terpilih sebagai mitra pengembang dan pengelola kawasan. Bahkan, perjanjian itu pun telah tertuang dalam Akte Nota Kesepahaman (MoU) dan Akte Perjanjian (MoA) pada tanggal 26 Agustus 2004 dan penandatanganannya dilakukan di hadapan Notaris Imranengsih, Pengganti dari Nurhayati Suryasumirat. "Sebenarnya mulai diajak bicara pada 2002. Pada 2003, dipanggil lagi, ditawarin untuk menggarapnya. Lalu kami diminta melakukan public expose. Setelah satu tahun selesai studi, kami presentasikan dan 2004 nota kesepahaman diteken,” kata Tommy Winata, pemilik PT MEG saat itu. Turut menyaksikan sebagai saksi yakni Ismeth Abdullah (Pj Gubernur Kepri) dan Taba Iskandar (Ketua DPRD Kota Batam) pada penandatanganan yang berlangsung di Ruang Rapat Lantai 4 Kantor Wali Kota Batam. Pemerintah Kota Batam awalnya datang ke Jakarta pada tahun 2001 untuk menawarkan prospek pengembangan di Kawasan Rempang berdasarkan Perda Kota Batam Nomor 17 Tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam. Lalu, Pemerintah Kota Batam pun berupaya mengundang beberapa pengusaha nasional termasuk Artha Graha Group (induk PT MEG) serta sejumlah investor dari Malaysia dan Singapura untuk berperan aktif dalam pembangunan proyek Kawasan Rempang. Pada akhirnya, PT MEG terpilih untuk mengelola dan mengembangkan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17 ribu hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (kurang lebih 300 hektare) dan Pulau Galang (kurang lebih 300 hektare). Berdasarkan butir kesepakatan atau perjanjian pada tahun 2004 tersebut, Pemerintah Kota Batam dan BP Batam pun bertugas menyediakan tanah dan menerbitkan semua perizinan yang diperlukan PT MEG. 19 Tahun Berlalu Tommy menjelaskan, setelah nota kesepahaman diteken, pihaknya tidak pernah lagi diminta menindaklanjuti kerja sama tersebut. Sejak penandatanganan, kata Tommy, tidak ada pembicaraan lanjutan hingga Batam dijadikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone. “Saya nggak tahu dan udah kelamaan, terserah deh (Batam) mau jadi apa. Dan saya tidak pernah bolak-balik ke sana, ngoyo benar,” katanya. Pada tahun 2007, rencana investasi tersebut mengalami kendala, karena adanya aduan dari masyarakat yang mengaku telah merugikan negara Rp3,6 triliun dalam kerja sama tersebut. Pada 2008, Tommy Winata pun sempat diperiksa di Mabes Polri terkait hal tersebut. Proyek tersebut juga tak terwujud karena adanya masalah pembebasan lahan. 19 tahun berlalu, kerja sama pengembangan Pulau Rempang kembali lahir. Pada Juli 2023 ini, pemerintah meneken kerja sama dalam bentuk nota kesepahaman dengan Xinyi Group, perusahaan asal China. Perjanjian baru ini ditandatangani Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia di Chengdu, China dan disaksikan Presiden Joko Widodo. Xinyi akan berinvestasi USD11,5 miliar atau setara Rp 172 triliun. Xinyi akan membangun pabrik kaca dan solar panel. Investasi disebut akan melahirkan 30.000 lapangan kerja. Proyeknya dijadwalkan dimulai September 2023. Investasi ini bagian dari pengembangan Pulau Rempang di bawah bendera MEG. Konsepnya kawasan industri hijau dan diberi nama Rempang Eco-City. Pulau Rempang dibangun kawasan industri, jasa dan pariwisata. Proyek ini ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp318 triliun hingga 2080. Namun rencana ini mendapat penolakan. Warga Rempang menolak direlokasi dan menolak 16 kampung tua digusur. Warga memohon kepada pemerintah agar pembangunan dilakukan tanpa menggusur permukiman warga asli dan 16 kampung tua. Di Pulau Rempang terdapat 16 kampung adat atau kampung tua yang menjadi permukiman warga asli. Warga asli diyakini telah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834. Jadi jelas, bahwa proyek strategis pengembangan Pulau Rempang bukan baru-baru ini diwacanakan. Tetapi sudah dari 19 tahun lalu. Untuk Kemakmuran Rakyat? Indonesia Police Watch (IPW) menilai, bahwa pengembangan kawasan Rempang yang telah direncanakan sejak tahun 2004 melalui perjanjian kerja sama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (PT MEG), dimana PT MEG telah menyiapkan pelaksanaan investasi melalui Rempang Eco-City Development Strategy dengan rencana investasi sebesar kurang lebih Rp381 triliun dan ditindaklanjuti dengan menarik pemodal/investor dari Cina dengan Perjanjian Chengdu 28 Juli 2023, tidaklah serta-merta dapat dimaknai untuk kemakmuran rakyat. Meskipun dimasukkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. Sehingga PSN seharusnya bermuara pada kesejahteraan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok swasta tertentu seperti PT MEG yang terafiliasi dengan pengusaha keturunan Cina Tommy Winata. Apalagi pada prosesnya, pada 2007 Polri pernah memeriksa Tommy Winata sebagai pihak yang mewakili PT. MEG terkait proyek Rempang Eco City dalam dugaan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. Penyelidikan kasus ini harus dibuka pada publik proses hukumnya. Bahkan, IPW menilai bahwa, konflik Rempang mengkonfirmasi kegagalan negara dalam menjalankan amanat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, yang mengatur bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat adat dan seharusnya dimanifestasikan dalam sebuah undang-undang. Akan tetapi, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Proglegnas) sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini, tidak kunjung disahkan. Menilik sejarahnya, rakyat Rempang telah mendiami wilayah itu sejak tahun 1834, jauh sebelum Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah negara merdeka, karenanya pengakuan dan penghormatan rakyat Rempang sebagai warga negara adalah sebuah keniscayaan. Maka dari itu, IPW mendesak agar Presiden Joko Widodo meninjau ulang kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau sebagai Proyek Strategis Nasional dengan berpegang pada prinsip hak menguasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau setidaknya turun langsung mendengar keluhan masyarakat Rempang Galang bukan malah memerintahkan kepala BKPM / menteri investasi Bahlil Lahadalia yang malah melontarkan tuduhan pada negara lain atas konflik di Rempang Galang krn represi aparat keamanan. Selain itu, IPW juga meninta KPK, Polri dan Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum mengusut dugaan kasus korupsi pengembangan kawasan Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau bila terdapat cukup bukti. Selanjutnya, Komnas HAM harus membentuk tim pencari fakta independen yang bertugas menemukan akar masalah konflik masyarakat Rempang Galang dengan pemerintah terkait proyek Rempang eco city yg dikonsesikan pada PT MEG dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan dan mengumumkan hasil investigasinya kepada publik. Dan juga DPR harus bekerja membela rakyat dengan membentuk Pansus Rempang-Galang sebagai pertanggungjawaban lembaga tinggi negara tersebut kepada masyarakat dan kasusnya telah menasional. Warga Direlokasi Menurut Kepala BP Batam, M Rudi mengatakan, saat ini tim pendataan BP Batam masih fokus untuk menyosialisasi hak-hak masyarakat yang bakal direlokasi. "Saya tegaskan, 28 September 2023 bukan batas akhir pendaftaran apalagi relokasi. Tenggang waktu 28 September 2023 mendatang bukan batas akhir. Kami berharap, proses pergeseran warga terselesaikan dengan baik dan lebih cepat. Namun, tidak ada paksaan atau intimidasi,” ujar kata M Rudi di Batam Centre, Batam, Kepulaun Riau, Senin (25/9). Rudi memastikan pihaknya bakal mengutamakan pendekatan humanis dan komunikasi persuasif selama proses berlangsung. Dia berjanji, relokasi akan dilakukan jika masyarakat setuju pindah. “Masyarakat tidak perlu khawatir dengan relokasi, sebab tidak ada ada relokasi jika belum ada kesepakatan, makanya ke depan kami akan terus lakukan sosialiasi dan pendekatan persuasif ke masyarakat,“ terang Rudi. Dia pun mengaku siap menerima kunjungan masyarakat jika ada yang ingin disampaikan. “Jadi tidak perlu segan, 24 jam waktu saya siapkan untuk warga Pulau Rempang, saya siap kesana jika diminta dan saya siap menerima kunjungan masyarakat Pulau Rempang yang ingin berkunjung ke kantor saya,” jelas Rudi. Rudi juga mengaku telah turun langsung ke masyarakat memberikan sosialiasi dan melakukan pendekatan persuasif ke masyarakat Pulau Rempang. “Intinya dengan duduk bersama dan bermusyawarah dengan kepala dingin, saya kira akan mendapatkan solusinya dan akan selesai semua miskomunikasi ini,” kata Rudi. (An)