Dampak Pelemahan Rupiah Pada Maskapai Penerbangan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 Oktober 2023 15:44 WIB
Terminal E Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta (Foto: MI/Aswan)
Terminal E Bandar Udara Internasional Soekarno–Hatta (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Mantan Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie menyoroti lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga nyaris tembus Rp16.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini, menurutnya, tentunya berdampak pula pada industri penerbangan. 

Bahkan, kata Alvien yang juga pengamat penerbangan, hal ini akan menjadi sebuah tantangan bagi pembiayaan operasional maskapai penerbangan. Dimana pembiayaan tersebut menggunakan mata uang dolar. 

"Ada tiga unsur utama dalam pembiayaan operasi maskapai, diantaranya pembelian Avture 36% pemeliharaan pesawat, 16% dan sewa pesawat atau penyusutan 14%. Jadi total 66%, termasuk pembelian suku cadang yang menggunakan mata uang euro," kata Alvien saat memberikan sambutan dalam Seminar Penerbangan Nasional di Graha CIMB Sudirman, Jakarta, Jum'at (27/10). 

Kenaikan rupiah terhadap dolar AS, tambah dia, juga menjadi rintangan dalam mengelola perusahaan maskapai penerbangan. Karena selama ini bisnis tersebut hidupnya dari rute domestik dibandingkan rute luar negeri yang pendapatnya tidak seberapa. 

"Rute domestik itu penghasilannya rupiah, tapi jangan salah biaya- biaya operasionalnya banyak memakai dolar. Jadi diatas kertas keliatannya untung, padahal belum tentu, inilah tantangannya," jelasnya.

Begitu pula dengan harga tiket yang tidak pernah berubah tarif batas atas sejak 15 Mei 2019. Artinya, kata Alvien sudah 4,5 tahun tarif tersebut tidak pernah ada perubahan, padahal asumsi-asumsinya telah berubah 

"Perlu adanya solusi karena satu sisi maskapai penerbangan butuh keuangan yang sehat. Begitu pula masyarakat butuh harga tiket yang terjangkau," tandasnya. (Han)