Tak Hanya Rp 50,14 Triliun, Jokowi Juga Pernah Perintahkan Menkeu Sri Mulyani Blokir Rp50,23 Triliun dan Rp39,71 Triliun, Demi...

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 7 Februari 2024 04:15 WIB
Presdien Joko Widodo (Jokowi) (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani (kanan) (Foto: MI/Repro Antara)
Presdien Joko Widodo (Jokowi) (kiri) dan Menkeu Sri Mulyani (kanan) (Foto: MI/Repro Antara)

Jakarta, MI - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menghentikan atau memblokir alias membekukan anggaran Kementerian/Lembaga (KL) hingga mencapai Rp50,14 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2024.

Langkah yang dikenal sebagai Automatic Adjustment ini, melibatkan peninjauan ulang anggaran belanja dan penerimaan negara oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan belanja tertentu. 

Kebijakan ini mewajibkan semua K/L untuk memblokir sebagian dari anggaran yang belum diutamakan pada awal tahun, dengan sejumlah K/L diminta untuk menyisihkan 5 persen dari anggaran mereka agar tidak segera dialokasikan.

Ini bukan kali pertama Jokowi menerapkan kebijakan Automatic Adjustment. 

Pada tahun 2022, Presiden juga meminta Menteri Keuangan untuk sementara memblokir anggaran belanja K/L senilai Rp39,71 triliun. Tindakan tersebut diambil sebagai upaya mengantisipasi dampak pandemi Covid-19.

Kebijakan serupa juga diterapkan pada awal tahun 2023, di mana blokir anggaran K/L untuk tahun anggaran 2023 mencapai Rp50,23 triliun. 

Langkah tersebut diambil sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi global dan gejolak geopolitik.

Dalam konteks kebijakan blokir anggaran tahun ini sebesar Rp50,14 triliun, pemerintah memberikan alasan bahwa tindakan tersebut diambil untuk mengantisipasi kemungkinan krisis yang tak terduga.

“Sesuai arahan Presiden saat penyerahan DIPA tahun 2024, saat ini kondisi geopolitik global yang dinamis berpotensi mempengaruhi perekonomian dunia, sehingga perlu diantisipasi potensi atau kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di 2024,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro dalam keterangan tertulis, Jumat (2/2).

Deni menekankan anggaran yang diblokir akan tetap ada di Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) masing-masing K/L.

Hanya saja tidak bisa dibelanjakan langsung di awal tahun. 

Tujuannya, melatih K/L agar bisa membuat prioritas program dan tidak jor-joran menggunakan anggaran.

“Pada dasarnya, anggaran yang terkena automatic adjustment masih tetap berada di K/L,” katanya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Automatic Adjustment tahun ini salah satunya demi meningkatkan anggaran subsidi pupuk.

“Itu tekniknya ada bermacam-macam cara. Salah satunya automatic adjustment,” katanya di Kemenko Perekonomian, Senin (5/2).

Airlangga mengatakan anggaran subsidi pupuk memang perlu ditambah karena saat ini masuk musim tanam. Dengan anggaran awal yang ditetapkan sebesar Rp26 triliun, katanya, hanya cukup untuk 5,7 juta petani.

Oleh karena itu, pemerintah menambah anggaran sebesar Rp14 triliun untuk menambah jumlah petani yang menerima subsidi.

“Subsidi pupuk tidak boleh lambat sehingga Bapak Presiden sudah menyetujui untuk ditambahkan subsidi Rp14 triliun,” katanya.

Dugaan Demi Bansos

Muncul juga dugaan bahwa Automatic Adjustment juga demi pengadaan bantuan sosial (bansos). 

Maklum, di awal 2024 ini atau menjelang Pemilu, Jokowi getol mengguyur bansos kepada masyarakat.

Tahun ini saja, pemerintah menganggarkan total bansos Rp496 triliun. Angka ini naik Rp20 triliun dari anggaran 2023 yang sebesar Rp476 triliun.

Yang terbaru, Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rp200 ribu per bulan selama tiga bulan selama Januari, Februari dan Maret yang dicairkan sekaligus Rp600 ribu.

Bansos ini dikucurkan dengan anggaran sebesar Rp11,2 triliun, diberikan sekaligus pada Februari 2024 kepada 18 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Kemenkeu memang bakal ‘mengotak atik’ program yang ada APBN untuk memenuhi dana bansos terbaru Jokowi, yang diumumkan akhir Januari lalu.

“Sebagian besar kan (anggaran) sudah ada di APBN, tapi ini kan memang ada beberapa perubahan-perubahan yang mungkin sifatnya merespons kondisi yang ada di masyarakat dan global,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (29/1).

Menurutnya, APBN adalah shock absorber untuk semua kondisi di Tanah Air, sehingga memang fleksibel. Konsepnya, mana anggaran yang paling urgent maka akan didahulukan. 

Kondisi yang sama pernah dilakukan saat pandemi covid-19, di mana, saat itu pemerintah me-realokasi besar-besaran anggaran untuk berbagai insentif dan bansos.

“Kita selalu gunakan istilah shock absorber, jadi kalau misal ada kebutuhan di masyarakat yang disebabkan gejolak yang kita lihat di pasar global APBN nya bisa tetap siap,” kata Febrio.