APBN Kritis, Pemerintah Nekat Mau Kenakan Iuran Pariwisata Secara Ilegal dan Melanggar Konstitusi

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 1 Mei 2024 18:29 WIB
Realisasi APBN 2024 hingga 31 Maret 2024 (Foto: Ist)
Realisasi APBN 2024 hingga 31 Maret 2024 (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pemerintahan Jokowi semakin membabibuta. Semakin nekat. Semakin kehilangan akal. Konsititusipun ditabrak.

Demikian disampaikan ekonom Anthony Budiawan dalam keterangannya kepada Monitorindonesia.com, Rabu (1/5/2024).

Rencananya, pemerintahan Jokowi mau mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menarik iuran pariwisata dari masyarakat melalui tiket penerbangan.

"Perpres pungutan dana masyarakat, seperti iuran pariwisata, adalah ilegal. Karena semua pungutan dari masyarakat harus diatur dengan undang-undang, sesuai bunyi Pasal 23A UUD: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang," katanya.

Artinya, iuran pariwisata yang bersifat memaksa tidak bisa diatur dengan Perpres. Karena negara ini bukan milik Presiden. Paham?

"Pertanyaannya, kenapa pemerintahan Jokowi nekat menarik dana dari masyarakat dengan cara melanggar konstitusi?".

Kenekatan pemerintah menarik iuran pariwisata secara ilegal dan melanggar konstitusi ini merefleksikan keuangan negara (APBN) sedang dalam kondisi kritis.

"Hal ini juga tercermin dari realisasi APBN 2024 periode triwulan I (Q1)," ungkapnya.

Di dalam APBN 2024, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan (pajak dan bea & cukai) naik dari Rp2.118,3 triliun pada 2023 menjadi Rp2.309,9 triliun pada 2024, atau naik sekitar 9,4 persen.

Tetapi, realisasi penerimaan perpajakan selama triwulan pertama 2024 malah turun sangat signifikan dibandingkan periode sama 2023.

Yaitu dari Rp504,2 triliun (Q1/2023) menjadi hanya Rp462,9 triliun (Q2/2024). Atau turun 8,24 persen.

"Yang lebih memprihatinkan, pencapaian penerimaan perpajakan pada triwulan pertama 2024 ini (Rp462,9 triliun) hanya 20 persen dari target Rp2.309,9 triliun," ungkapnya.

Kalau tren penerimaan perpajakan terus berlanjut seperti ini, maka penerimaan perpajakan diperkirakan hanya mencapai 80%, atau kurang (shortfall) 20 persen dari target, setara Rp462 triliun.

Di lain sisi, belanja pemerintah diperkirakan membengkak dibandingkan target ABPN. Salah satu pemicunya adalah kurs rupiah.

Di dalam APBN 2024, kurs rupiah ditetapkan Rp15.000 per dolar AS. Sangat rendah. Sedangkan faktanya, kurs rupiah sudah anjlok cukup dalam, mencapai Rp16.250 per dolar AS (1/5/24). Sehingga, kurs rupiah rata-rata selama Q1/2024 diperkirakan mencapai Rp15.750 per dolar AS, dengan tren terus meningkat.

Dampaknya terhadap APBN (Keuangan Negara) cukup buruk. Pengeluaran atau kewajiban pemerintah terkait mata uang asing akan membengkak.

Antara lain, bunga pinjaman dalam mata uang asing, subsidi energi (BBM, elpiji, listrik), subsidi pupuk, akan melonjak.

Kenaikan beban bunga pinjaman naik, dan penurunan penerimaan perpajakan, membuat rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan perpajakan per Maret 2024 meningkat drastis, mencapai lebih dari 24 persen.

"Semua ini menunjukkan APBN dalam kondisi Kritis," katanya.

"Apakah karena itu, pemerintah nekat mau menarik uang dari masyarakat, secara melawan hukum dan melanggar konstitusi, melalui Perpres iuran pariwisata?" imbuhnya.