Pemerintah Mau Alokasikan 20 GW Gas, Peneliti: Hanya Akan Rugikan Negara

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 15 Juni 2024 12:20 WIB
Ilustrasi - Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta Utara (Foto: Ist)
Ilustrasi - Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang, Jakarta Utara (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Shalati, mengatakan bahwa rencana pemerintah mengalokasikan 20 Gigawatt (GW) gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024 berisiko menambah emisi karbondioksida (CO2) mencapai 10,1 juta sampai 32,6 juta ton CO2 per tahun.

PT PLN berencana mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara (PLTU) ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG/GU/MG) sebesar 880 Megawatt (MW) di sejumlah wilayah, diantaranya PLTGU Sulbagsel (450 MW), PLTGU Halmahera Timur (200 MW), PLTMG Sumbawa-2 (100 MW), PLTMG Lombok-2 (100 MW), serta PLTMG Bau-Bau(30 MW) (RUPTL 2021-2030).

Dalam risetnya, Sartika menjelaskan apabila penambahan 20 GW pembangkit listrik gas dalam RUPTL baru tetap diteruskan, maka diperkirakan butuh bahan bakar gas sekitar 4.640 BBtud (4.640.000 MMBtud).

Sehingga, lanjutnya, pemerintah diproyeksikan perlu menanggung sekitar 4,64 juta dolar Amerika Serikat (AS) per hari (Rp74,24 miliar) atau Rp26,7 triliun per tahun pada setiap selisih harga gas 1 dolar AS dari harga aslinya, untuk menghidupkan penambahan kapasitas tersebut.

"Semakin besar selisih harga gas dengan HGBT, maka semakin besar pula potongan pendapatan negara yang diperoleh dari sektor migas," ujar Sartika kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (15/6/2024). 

Selain itu, Ia menyebut langkah tersebut juga akan menambah beban subsidi maupun kompensasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dimana biaya operasi pembangkit gas lebih mahal dengan faktor kapasitas lebih rendah, dibanding batu bara.

"Hal ini sekaligus mengonfirmasi, gas juga tidak lebih baik dari PLTU, baik dari segi finansial, keandalan, dan juga pengurangan emisi. Tiga indikator utama ini seharusnya menjadi objek penilaian ketika memilih sumber energi," ujar Sartika.

Sartika menyampaikan, ketimbang memprioritaskan gas sebagai alternatif pengganti batu bara yang sama-sama energi fosil, mahal dan tinggi emisi, pemerintah sebaiknya lebih progresif yaitu beralih ke energi baru terbarukan (EBT) seperti surya dan angin yang terbukti lebih ekonomis, rendah emisi, dan andal.

Sebagai informasi, saat ini pemerintah telah memberlakukan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2020.

HGBT merupakan sejenis insentif berupa pembatasan harga gas paling tinggi 6 dolar AS per MMBtu (Metric Million British Thermal Unit) yang ditujukan kepada PT PLN (Persero) dan Badan Usaha Pembangkitan Tenaga Listrik (BUPTL).

Dampaknya, pemerintah akan menanggung selisih beban harga dari perusahaan produsen gas sekitar 2- 4 dolar AS per MMBtu, apabila mengacu rata-rata harga gas domestik di Indonesia berkisar 8- 10 dolar AS per MMBtu.