Ekonom Sebut Pelemahan Rupiah Tanggung Jawab Pemerintah dan Otoritas Monoter

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 23 Juni 2024 23:48 WIB
Rupiah dan Dolar (Foto: Istimewa)
Rupiah dan Dolar (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Nilai tukar rupiah belakangan ini kian anjlok terhadap dolar AS. Hal ini bahkan disebut rupiah melemah yang terparah sejak krisis moneter tahun 1998.

Kusfiardi, analis ekonomi politik FINE Institue menilai otoritas kebijakan cenderung mencari jalan pintas dan mengalihkan tanggung jawab kepada masyarakat.

“Seolah-olah pelemahan rupiah adalah akibat dari perilaku ekonomi masyarakat, padahal stabilitas nilai tukar adalah tanggung jawab utama pemerintah dan otoritas moneter. Kebijakan yang tepat dan konsisten dari pemerintah sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” ujarnya, Minggu (23/6/2024).

Menanggapi enam langkah yang diusulkan oleh OJK untuk membantu menguatkan rupiah, Kusfiardi menilai langkah-langkah yang disarankan tersebut memang baik.

Namun tidak bisa menggantikan tugas yang harus dilakukan oleh otoritas kebijakan dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

“Enam langkah yang diusulkan OJK, seperti membeli produk dalam negeri, tidak menimbun dolar, berwirausaha dengan orientasi ekspor, berwisata dalam negeri, menggunakan transportasi publik, dan berinvestasi di dalam negeri, adalah langkah-langkah positif. Namun, mengandalkan partisipasi masyarakat saja tidak cukup untuk memastikan stabilitas nilai tukar rupiah,” beber Kusfiardi.

Kusfiardi menekankan bahwa upaya menstabilkan nilai tukar rupiah harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang konsisten dan efektif. Ia menggarisbawahi beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan oleh otoritas kebijakan.

Pertama, Bank Indonesia perlu menetapkan kebijakan suku bunga yang tepat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas rupiah. 

Menyeimbangkan suku bunga sangat penting, karena suku bunga yang terlalu rendah dapat mendorong inflasi, sementara suku bunga yang terlalu tinggi dapat menekan pertumbuhan ekonomi. 

BI harus menemukan keseimbangan yang tepat untuk mendukung stabilitas mata uang dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pemerintah harus mengatur kebijakan ekspor-impor secara efektif. Mengurangi ketergantungan pada barang impor dan mendorong ekspor produk lokal akan membantu memperkuat rupiah. 

Ini termasuk memberikan insentif kepada eksportir dan memberlakukan pembatasan impor untuk barang-barang yang dapat diproduksi di dalam negeri.

Selanjutnya, Kusfiardi menyarankan pemerintah untuk mendorong repatriasi devisa hasil ekspor ke dalam negeri. 

Langkah ini bisa dilakukan dengan memberikan insentif bagi eksportir untuk menukarkan devisa mereka menjadi rupiah di pasar domestik, yang pada akhirnya akan meningkatkan pasokan dolar dan memperkuat rupiah.

“Selain itu, fungsi intermediasi perbankan harus berjalan optimal untuk mendukung sektor riil. Bank-bank harus didorong untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor produktif, seperti manufaktur, pertanian, dan infrastruktur, yang dapat meningkatkan output ekonomi dan menciptakan lapangan kerja,” jelas Kusfiadi.

Kusfiardi juga menekankan pentingnya menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi produktif. 

Ini mencakup penyederhanaan regulasi, peningkatan infrastruktur, dan dukungan bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Kegiatan ekonomi yang produktif akan meningkatkan pendapatan nasional dan membantu memperkuat rupiah.

“Dengan mengadopsi kebijakan yang tepat dan melibatkan partisipasi masyarakat, Kusfiardi percaya bahwa pemerintah dan otoritas moneter dapat menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih kuat dan tangguh, memastikan bahwa rupiah tetap stabil dan kuat,” tutupnya.

Adapun nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat ditutup turun salah satunya karena dipengaruhi sentimen pemangkasan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS).

Pada akhir perdagangan Jumat, 21 Juni 2024, rupiah melemah 20 poin atau 0,12 persen menjadi Rp16.450 per dolar AS dari penutupan perdagangan sebelumnya yaitu Rp16.430 per dolar AS.

"Rupiah berada pada titik terlemahnya karena dolar AS terdorong ke level tertinggi baru dalam delapan minggu akibat dari pendekatan Federal Reserve yang sabar dalam menurunkan suku bunga kontras dengan sikap yang lebih dovish di negara lain," kata analis Finex Brahmantya Himawan.

Melihat hal tersebut, Sekretaris Jenderal HIPMI Anggawira mengatakan bahwa fenomena ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional. 

Ia menyebut nilai tukar rupiah Rp16.475 ini terendah sejak April 2020. “Ini adalah momen yang sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional, terutama bagi pelaku usaha,” kata Anggawira.

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada perdagangan Jumat, 14 Juni 2024, ditutup merosot menyentuh angka Rp16.412. 

Nilai ini disebut menjadi terendah sejak krisis moneter atau Krismon 1998 ketika rupiah jatuh ke Rp16.650, sebagaimana dikutip dari laman OJK.