MK Tolak Gugatan Diskriminasi Lowongan Kerja, Apa Saja Pertimbangan dan Dissenting Opinionnya?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 30 Juli 2024 2 jam yang lalu
Sejumlah pencari kerja antre melamar kerja saat pameran bursa kerja di Pandeglang, Banten, Selasa (14/5/2024) (Foto: Kolase MI/Antara)
Sejumlah pencari kerja antre melamar kerja saat pameran bursa kerja di Pandeglang, Banten, Selasa (14/5/2024) (Foto: Kolase MI/Antara)

Jakarta, MI - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan terkait pasal 35 ayat 1 yang diajukan oleh Leonardo Olefins Hamonangan.

Pasal ini menurut pemohon diskriminatif karena pemberi kerja atau perusahaan disebut bisa semena-mena menentukan syarat rekrutmen sehingga menghambat sejumlah orang -terutama berusia di atas 30 tahun mendapatkan pekerjaan.

Namun meski ditolak seluruhnya, terdapat dissenting opinion (perbedaan pendapat) dari hakim Guntur Hamzah yang menyebut "seharusnya Mahkamah dapat mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian".

Sebab pasal 35 ayat 1, menurut dia, sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari kerja khususnya terhadap frasa "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan".

Ini karena frasa tersebut, sambungnya, sangat subjektif dari pemberi kerja seperti mensyaratkan calon pekerja "berpenampilan menarik (good looking).

Pertimbangan MK
Hakim Arief Hidayat mengatakan pekerjaan sangat penting dalam kehidupan manusia karenanya setiap orang membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, katanya, hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri seseorang dan wajib dijunjung tinggi serta dihormati.

Tetapi dalil pemohon yang mempersoalkan isu diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan, menurut hakim Arief, bertentangan dengan bentuk atau jenis diskriminasi yang termuat dalam putusan MK sebelumnya.

Kalau merujuk pada putusan-putusan terkait dengan diskriminasi yang telah diberi batasan oleh Mahkamah, antara lain putusan MK nomor 024/PUU-III/2005, putusan MK nomor 72/PUU-XXI/2023, maka tindakan diskriminatif "apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suka, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik".

"Dengan kata lain batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan," ujar hakim Arief Hidayat membacakan salinan putusan pada Selasa (30/7/2024).

Selain itu hakim Arief menilai perlakuan diskriminasi pekerjaan seperti yang dipersoalkan Leonardo tidak bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945.

Terlebih pasal 5 UU Ketenagakerjaan, sambungnya, telah secara tegas menyatakan setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga menurut hakim, pasal yang diuji oleh pemohon tidak memiliki persoalan konstitusionalitas.

"Amar putusan, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," demikian Ketua MK Suharyoto membacakan putusan.

Dissenting opinion
Dari seluruh hakim yang menolak permohonan Leonardo, satu hakim yakni Guntur Hamzah menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda). Menurutnya,seharusnya Mahkamah dapat mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Hakim Guntur berpendapat jika merujuk pada pasal 5 UU Ketenagakerjaan memang sepertinya tidak memiliki persoalan konstitusionalitas, namun demikian jika dilihat lebih dalam -khususnya dari kacamata keadilan. 

"Saya melihat pasal a quo [yang digugat] potensial disalahgunakan sehingga membutuhkan penegasan karena sangat bias terkait dengan larangan diskriminasi dalam persyaratan pada lowongan pekerjaan," jelasnya.

Dia melanjutkan bahwa pasal 35 ayat 1 sangat jelas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari kerja khususnya terhadap frasa "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan". Sebab, menurutnya, sangat meletakkan pertimbangan subjektif pemberi kerja semisal mensyaratkan calon pekerja "berpenampilan menarik" atau (good looking).

"Jika dibiarkan pertimbangan diletakkan pada pemberi kerja meskipun ada norma yang secara umum melarang adanya tindakan diskriminatif di pasal 5, namun demikian frasa 'dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan' dalam pasal 35 ayat 1 menampakkan secara expressis verbis masuk dalam kategori norma yang tidak jelas/bias sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum..."

Dengan demikian, menurut hakim Guntur, perlu ada penegasan berkaitan dengan diskriminasi apa saja yang tidak ditolerir dalam lowongan pekerjaan.

Hakim Guntur juga merujuk konversi ILO nomor 138 tahun 1973 tentang Minimum Age for Admission to Employment yang tidak mengatur adanya batas maksimum seseorang boleh bekerja.

Sehingga sepanjang seseorang masih mampu dan cakap bekerja, maka negara seharusnya menjamin kesempatan yang sama untuk mereka dalam memperoleh pekerjaan, ujarnya.

Selain itu karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ILO nomor 111 tahun 1958 tentang diskriminasi, semestinya pemerintah tidak punya alasan lagi untuk membiarkan diskriminasi usia dalam dunia kerja. Apalagi mempromosikannya lewat lowongan pekerjaan tanpa ada alasan yang jelas.

"Saya berpandangan adanya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan adanya usia tertentu memang dapat menghambat masyarakat yang sejatinya memiliki kompetensi dan pengalaman lebih, namun terhalang usia," bebernya.

Atas dasar itulah hakim Guntur menilai setiap lowongan pekerjaan seharusnya dilarang mensyaratkan adanya syarat usia tertentu. Pemberi kerja juga tidak boleh membatasi peluang kerja bagi kelompok usia tertentu bagi seseorang yang telah dewasa tanpa melihat kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan secara objektif.

Persyaratan kerja hendaknya diletakkan pada kualifikasi dan kompetensi sehingga berapa pun usianya sepanjang telah memasuki usia kerja, jelasnya.

"Syarat berpenampilan menarik juga dapat membuka peluang pelecehan seksual terhadap pencari kerja, khususnya bagi perempuan. Terlebih syarat ini dapat memberikan dampak psikologis negatif bagi pencari kerja. terutama menurunkan motivasi mereka untuk melamar pekerjaan," tegasnya.

Pada awal Maret 2024 permohonan uji materi Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan resmi diajukannya ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal yang diuji adalah Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan dan berbunyi: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.”

Menurutnya, norma tersebut bermasalah karena memberikan keleluasaan absolut kepada perusahaan untuk merekrut karyawannya sehingga bisa menentukan sendiri syarat lowongan pekerjaan.

Mulai dari usia, gender, penampilan, agama, sampai status perkawinan. Meskipun syarat-syarat itu ada kalanya tak berkaitan dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

"Misalnya syaratnya usia maksimal 25 tahun dan perempuan, padahal posisinya general [umum] seperti staf legal. Kan enggak nyambung relevansinya antara jenis kelamin dan posisi yang dilamar," jelasnya.

Di berkas gugatannya, Leo menyebut Pasal 35 ayat 1 tersebut tak cuma diskriminatif tapi juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 serta  Undang-undang No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Pengamatan Leo, saat ini semakin banyak perusahaan yang mencantumkan syarat batas usia maksimal 23 tahun, 25 tahun, atau 28 tahun dalam mencari pekerja. Baginya, pemberlakuan syarat-syarat itu terutama usia merugikan banyak orang apalagi yang sudah berusia kepala tiga tapi masih produktif.

Selain juga ibu muda yang sempat berhenti bekerja karena hamil dan mengurus keluarga, pekerja kontrak, dan termasuk dirinya kelak.

"Ketika mereka ingin bekerja lagi, terhambat karena masalah usia. Untuk saat ini, saya memang belum terdampak. Tapi kemungkinan ada, kalau semisal saya dikontrak kerja sampai usia 28 tahun dan diberhentikan. Di usia segitu sudah sulit cari pekerjaan, karena ada syarat usia. Makanya di permohonan itu saya mencantumkan kerugian potensial," cetusnya.

Pada berkas permohonannya, Leo menyebut Pasal 35 ayat 1 tersebut tak cuma diskriminatif tapi juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 serta Undang-undang No. 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Selain itu dia juga memasukkan perbandingan aturan ketenagakerjaan di Indonesia dengan sejumlah negara seperti AS, Jerman, dan Belanda untuk memperkuat argumentasinya.

Di Amerika Serikat, katanya, ada ketentuan hukum yang berlaku di mana iklan lowongan pekerjaan tidak boleh diskriminatif terkait dengan usia atau pendidikan. Kemudian di Jerman, kata dia, pemerintah memberikan hak kepada warganya untuk mengajukan gugatan perdata apabila terjadi diskriminasi lowongan pekerjaan.

"Ini yang membuat saya berpikir kenapa pemerintah Indonesia tidak bisa meniru? Pemerintah menganggap lowongan pekerjaan masalah privat, ranah perusahaan sehingga tidak bisa ikut campur," katanya.

Apa kata pakar hukum ketenagakerjaaan?
Akan tetapi pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati, berpandangan akibat dari situasi pasar kerja Indonesia yang timpang ini justru menimbulkan ketidakadilan.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: MI/Dhanis
Mahkamah Konstitusi (MK) (Foto: Dok MI)

Sebab pemberi kerja bisa semena-mena membuat aturan sendiri dalam merekrut karyawan. Padahal, katanya, kalau merujuk pada Pasal 5 UU Ketenagakerjaan hal itu sebetulnya tidak diperbolehkan.

Pasal 5 menyebutkan “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Namun, karena kondisi yang disebutnya tidak wajar itu berlangsung di segala lini sektor usaha pada akhirnya dinormalisasi.

"Pasar kerja kita isinya banyak yang membutuhkan pekerjaan, jadi mau dibatasi seperti apa pun selalu ada yang daftar. Sehingga kita beranggapan itu [batasan usia] hal normal, kalau enggak dibatasi kasihan dong yang baru lulus enggak dapat pekerjaan. Padahal bukan tidak memberikan pekerjaan kepada yang baru lulus, tapi membuka kesempatan bagi siapa saja," katanya.

Nabiyla juga menilai ada alasan utama yang membuat perusahaan lebih mengutamakan calon pekerja dengan batas usia di rentang 23 hingga 25 tahun.

Mereka yang baru lulus kuliah dan belum punya pengalaman kerja, biasanya menerima jika diberi upah murah.

Berbeda ketika pekerja yang sudah 'berumur' dan memiliki pengalaman kerja, bakal menolak kalau ditawari gaji yang sama. "Sepertinya itu alasan utamanya, pekerja yang memiliki standar kualifikasi tidak terlalu tinggi mendapat upah yang tidak terlalu tinggi juga," katanya.

Jika merujuk pada peraturan di UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, secara keseluruhan sebenarnya sudah jelas melarang adanya perlakuan diskriminasi dalam pencarian kerja. Apalagi Indonesia telah mengadopsi Konvensi ILO Nomor 111 tentang kesetaraan upah dan anti-diskriminasi dalam pekerjaan serta jabatan.

Maka segala hal yang berbau diskriminasi seperti agama, ras, gender, dan usia semestinya tidak diperbolehkan. Hanya saja yang jadi masalah, kata Nabiyla, adalah implementasi di lapangan, termasuk pembiaran oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dinas tenaga kerja, dan pengawas ketenagakerjaan.

Alih-alih menegakkan aturannya sendiri, menurut Nabiyla, pemerintah pusat hingga daerah justru melanggar. "Bisa kita lihat lowongan pekerjaan di Kemnaker (Kementerian Tenaga Kerja) sangat banyak yang ada syarat pembatasan usia. Kan lucu, mereka semestinya menegur kalau ada pemberi kerja yang membuat lowongan kerja diskriminatif," ujarnya.

Di tengah perlakuan yang tidak adil oleh pemberi kerja dan ketidakbecusan pemerintah menjalankan aturan pada akhirnya berimbas pada tingginya angka pengangguran di Indonesia, menurut Nabiyla.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional tahun 2021-2022 memperlihatkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan kelompok umur rentang 25 sampai 29 tahun mencapai 7-9%. Adapun tingkat pengangguran terbuka pada kelompok usia 20 sampai 24 tahun berjumlah 17%.

Apa kata Kemnaker?
Direktur Bina Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga Kerja, Agatha Widianawati, mengatakan batasan usia dalam lowongan pekerjaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Ini artinya, kata dia, perusahaan diberikan kebebasan untuk mengatur sendiri. Asalkan tidak melanggar ketentuan tentang batas usia minimal orang bekerja yang diatur dalam UU 13 tahun 2003, yakni 18 tahun.

Dikatakannya, bahwa perusahaan dalam mengatur batas usia tersebut tentunya berdasarkan syarat dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk suatu jabatan atau pekerjaan.

"Dengan demikian batasan usia yang ditentukan oleh perusahaan seharusnya tidak dikaitkan dengan persoalan diskriminasi,” sebut Agatha, Jum'at (3/5/2024) lalu.

“Penjelasan Pasal 5 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa apa yang dimaksud dengan diskriminasi yaitu yang mencakup jenis kelamin, agama, suku, ras dan aliran politik".

Sementara Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, mengatakan, karena usia tidak termasuk dalam diskriminasi dalam UU Ketenagakerjaan maka perusahaan tidak melakukan pelanggaran. Kemnaker pun tidak dapat melakukan penindakan apa pun.

Terkait dengan gugatan di MK, Anwar, berkata hal itu adalah hak setiap warga negara. "Kami Kemnaker siap untuk memberikan tanggapan atau penjelasan atas ketentuan dalam Pasal 35 ayat 1 UU Ketenagakerjaan tersebut," jelasnya.

Ia berharap hakim MK mengabulkan gugatannya dan mengubah isi Pasal 35 ayat 1 menjadi: “Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja bisa merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja dan dilarang melakukan diskriminasi usia, agama, etnis, suku, ras, dan gender.”

Meskipun ada sedikit kekhawatiran hakim MK bakal menolak, tapi dengan menggugat pasal itu setidaknya publik dan pemerintah melek atas persoalan akut ini.

"Kalau kasus ini booming pasti di-notice sama pemerintah. Syukur-syukur MK melihat situasi ini genting jadi bisa dikabulkan, dan menyelamatkan banyak orang. Saya berharap ya gugatan diterima," harapnya.