Kenaikan PPN 12%: Pengusaha Khawatir Berimbas pada Gaji Karyawan dan Stabilitas Ekonomi

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 16 November 2024 10:07 WIB
Kenaikan PPN 12% Tahun 2025. Ilustrasi (Foto: Ist)
Kenaikan PPN 12% Tahun 2025. Ilustrasi (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial. Banyak warga yang khawatir bahwa kebijakan ini akan menurunkan daya beli masyarakat dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi gaji karyawan.

Pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (13/11/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa keputusan kenaikan PPN ini sudah dipertimbangkan dengan matang demi kepentingan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan bukan semata-mata tanpa dasar yang jelas.

Namun, sejumlah ekonom mengkhawatirkan efek turunan dari kebijakan ini, terutama di tengah menurunnya daya beli masyarakat yang masih terasa. Mereka khawatir bahwa kebijakan ini akan memperburuk situasi ekonomi yang sudah sulit.

Selain itu, pengamat pajak menilai reaksi negatif publik mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. "Masyarakat tidak percaya kepada pemerintah kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan kembali ke masyaraka" dalam bentuk fasilitas publik atau jaminan sosial yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung.

Bagaimana tanggapan warga?

Augie Reyandha Giuliano, seorang pengusaha event organizer berusia 33 tahun, menjadi salah satu warganet yang aktif berkomentar mengenai kenaikan PPN di jejaring sosial X (sebelumnya Twitter).

Sebagai pemilik Reynur Event Organizer yang berbasis di Bandung, Jawa Barat, Augie menyatakan bahwa kenaikan PPN dapat berdampak negatif terhadap pendapatan perusahaan. Ia menambahkan bahwa dampak tersebut bisa berujung pada penurunan gaji karyawan, yang tentunya akan mempengaruhi stabilitas ekonomi perusahaan dan kesejahteraan pekerja.

“Misalnya, anggaran per acara itu Rp 2 miliar dan sudah termasuk pajak. Lalu acara diselenggarakan per akhir pekan alias empat kali sebulan. PPN jadi 12% itu membuat selisih pendapatan dalam satu bulan mencapai Rp 64 juta,” katar Augie, Jumat (15/11/2024).

Uang sebesar itu, kata Augie, bisa untuk menggaji delapan sampai 12 orang karyawan.

Perhitungan kasar Augie itu padahal belum mempertimbangkan kemungkinan kenaikan biaya produksi per acara.

Meskipun bidang jasa seni dan hiburan termasuk dalam kategori yang dikecualikan dari PPN, Augie menjelaskan bahwa banyak klien yang menggunakan layanan event organizer mereka berasal dari instansi pemerintah. Dengan demikian, kenaikan PPN tetap berpotensi mempengaruhi struktur biaya yang harus ditanggung oleh perusahaannya.

“[Sehingga] kalau transaksi sama mereka, harus PKP [Pengusaha Kena Pajak]. Jadi, kena PPN dan PPh [Pajak penghasilan]. PPh artis juga besar buat acara, dan [kadang dibebankan] event organizer,” ujarnya.

Augie mengakui bahwa perspektif yang ia sampaikan berasal dari sudut pandang seorang pebisnis.Ia menjelaskan bahwa penurunan pendapatan perusahaan akibat kenaikan PPN dapat berimbas pada berbagai aspek, termasuk penurunan fasilitas dan tunjangan atau bonus yang diterima oleh karyawan. 

“Bahkan bisa jadi saya memilih memutuskan hubungan kerja agar karyawan yang bertahan tidak perlu turun pendapatannya,” tambah Augie.

Di Kerobokan, Bali, pemilik penyedia jasa makanan sehat Nimas Utama juga menyatakan kekhawatirannya terkait kenaikan PPN. Meskipun bisnisnya termasuk dalam kategori yang dikecualikan dari PPN, Nimas yakin bahwa usahanya tetap akan terdampak. 

“Pada akhirnya [kenaikan PPN] akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Setelah pandemi Covid pun, kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli sesuatu sudah jauh menurun. Pastinya itu akan merambah ke kemampuan kita untuk menjual barang,” tutur Nimas.

Topik:

ppn kenaikan-ppn kemenkeu sry-mulyani