Upah Enggak Seberapa tapi Pajak Naik: Buruh Ngos-ngosan!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Desember 2024 13:07 WIB
Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square, Jakarta, Jumat (15/11/2024).
Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square, Jakarta, Jumat (15/11/2024).

Jakarta, MI - Presiden Prabowo Subianto menyatakan kenaikan rata-rata upah minimum nasional sebesar 6,5% tahun depan berdasarkan hasil keputusan melalui rapat terbatas bersama serikat buruh dan menteri-menterinya.

Kenaikan itu sedikit lebih tinggi dari usulan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, yang sebelumnya merekomendasikan kenaikan sebesar 6%.

Dia menyebut besaran upah minimum tersebut ditujukan sebagai jaring pengaman sosial bagi pekerja, terutama yang bekerja kurang dari 12 bulan.

Prabowo juga menegaskan bahwa penetapan upah ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli pekerja sambil tetap menjaga daya saing usaha.

Prabowo berkata, upah minimum sektoral akan ditentukan oleh Dewan Pengupahan di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten. Adapun soal ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan upah minimum ini akan diatur melalui peraturan Menteri Ketenagakerjaan.

Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, sebelumnya menyebut akan mengeluarkan regulasi itu pada 4 Desember. Ia meminta pemerintah daerah segera menindaklanjutinya.

Dia berharap pemerintah daerah bisa bekerja sama dengan pemerintah pusat terkait kenaikan upah minimum ini. Kemnaker berencana membuat sosialisasi ke pemda tentang kebijakan ini. "Karena tadi kondisinya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya semoga kami dapat sinergi yang baik," jelasnya.

Buruh ngos-ngosan

Seorang buruh pabrik di Yogyakarta, Windhy, mengaku pasrah ketika mendengar pengumuman dari Presiden Prabowo Subianto soal besaran kenaikan upah minimum rata-rata nasional 6,5%. Sebab kalau diuangkan, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Yoygakarta hanya akan mencapai Rp138.000.

Angka itu tak jauh beda dari kenaikan tahun-tahun sebelumnya yang tak pernah lebih dari Rp150.000. Pada 2024, UMP Yogyakarta adalah Rp2.125.897. Jika dikalkulasi dengan kenaikan 6,5%, jumlahnya menjadi Rp2.264.080.

Dia mengatakan upah sebesar itu "ngepas sekali" untuk memenuhi kebutuhannya beserta suami dan anaknya yang berusia 15 bulan.

"Rasanya sama saja karena biasanya upah naik itu per tahun Rp100.000, Rp120.000, Rp150.000 gitu,” katanya, Minggu (1/12/2024).

Windhy bekerja sebagai penjahit di pabrik konveksi. Setiap hari dia bekerja dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Karena tergolong pegawai baru, Windhy dapat kerja lembur satu hingga dua jam.

Dari lembur itu, dia bisa mendapatkan tambahan Rp150.000 per bulan. Tambahan pemasukan Windhy dari suaminya yang bekerja di bengkel juga tak terlalu besar. Pasalnya, sang suami dibayar per hari—itu pun berdasarkan jumlah jasa service yang dia lakukan.

Semua uang hasil keringatnya dan suami, kata Windhy, dipakai untuk kebutuhan keluarga.

Pengeluaran terbesar mereka adalah cicilan utang ke bank dan keperluan sehari-hari yang jumlahnya bisa sampai Rp2 juta.

"Popok bayi dan susu itu lumayan besar pengeluarannya," kata Windhy.

Itulah mengapa, bagi Windhy, kenaikan upah 6,5% tak bisa menutupi mahalnya harga-harga kebutuhan pokok tahun depan. Belum lagi, sambungnya, ada rencana kenaikan PPN 12%, wacana kenaikan harga BBM, dan iuran BPJS kesehatan.

Kalau semuanya naik, Windhy merasa hidupnya makin berat. "Saya, ya keberatan. Apalagi BBM naik. Sekarang saja ongkos pergi-pulang rumah ke pabrik sudah berat. Ngos-ngosan. Dari rumah ke pabrik 45 menit naik motor, jauh," ucapnya.

Menurut hitungan kasarnya kenaikan upah yang ideal sekitar Rp500.000. Tapi kalaupun pemerintah tak bisa memenuhi kesejahteraan buruh, setidaknya jangan menaikkan pajak dan hal-hal yang memberatkan lainnya.

"Kalau menurut saya, UMP naik tapi pajaknya jangan. Kalau sebagai buruh pabrik, dikasih pajak segitu padahal gajinya enggak sepiro [seberapa], memang UMP naik tapi sama aja harus bayar pajak dan lain-lain."

Simpan banyak tanya

Kenaikan upah minium 6,5% tersebut dinilai belum jelas rinciannya seperti apa. "Kenaikan tersebut diambil dan diumumkan tanpa adanya penjelasan lebih rinci tentang proses perhitungannya sehingga didapat angka 6,5 persen," kata Pengamat Ketenagakerjaan, Timboel Siregar kepada Monitorindonesia.com, Minggu (1/12/2024).

Menurutnya, pengumuman yang disampaikan Presiden Prabowo tersebut tentunya masih menyimpan banyak pertanyaan "apa landasan yuridis yang dipakai Pak Presiden untuk menentukan kenaikan angka 6,5 persen". 

Pasca putusan MK no. 168 tahun 2023, Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan menjanjikan terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai pengganti PP no. 51 Tahun 2023 sebagai landas yuridis penetapan kenaikan upah minimum 2025. Namun hingga hari ini pun belum ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tersebut.

"Lalu apakah angka 6,5 persen tersebut adalah angka rata-rata kenaikan upah minimum, apakah itu angka minimal, atau angka yang berlaku untuk seluruh provinsi sehingga seluruh gubernur akan menetapkan kenaikan Upah minimum sebesar 6,5 persen, tentunya ini pun masih belum jelas," kata Timboel.

Mengacu pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2023, penetapan upah minimum itu kewenangan Gubernur, bukan Presiden, dan penggunaan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam menghitung kenaikan upah minimum adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi provinsi. 

Dengan kepastian adanya perbedaan inflasi dan pertumbuhan ekonomi setiap provinsi maka kenaikan upah minimum setiap provinsi pasti berbeda. 

"Saya menduga kenaikan 6,5 persen bila masih mengacu pada rumus kenaikan upah minimum di PP no. 51 Tahun 2023, dengan asumsi nilai inflasi sekitar 3 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen maka nilai alfa (indeks) yang dipakai adalah 0,7 sehingga perhitungannya menjadi 3 persen + (5 persen x 0,7) = 6,5 persen," beber Timboel.

Apakah nilai alfa 0,7 akan menjadi acuan bagi seluruh Dewan Pengupahan Daerah untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum ke Gubernur? Timboel menyatakan tentunya ini juga yang akan ditunggu penjelasan dari Menteri Ketenagakerjaan.

Pemerintah berjanji merujuk Putusan MK no. 168 dalam penetapan upah minimum, yang salah satu poin putusannya adalah tentang penghasilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar, yang dapat diinterpretasikan pada komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL), yang saat ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 18 Tahun 2020, yaitu sebanyak 64 komponen KHL. 

Oleh karenanya, ungkap Timboel, seharusnya nilai inflasi provinsi yang digunakan adalah nilai inflasi untuk 64 komponen KHL tersebut, yang sebaiknya diukur berdasarkan survei pasar seperti yang dilakukan pada era UU Nomor 13 Tahun 2003 dan sebelum lahirnya PP no. 78 Tahun 2015. 

Masalah kenaikan upah minimum tidak berhenti pada masalah angka persentase kenaikan, tetapi juga apa yang akan dilakukan Pemerintah setelah penetapan kenaikan upah minimum oleh Gubernur.

"Saya berharap pengumuman kenaikan upah minimum 2025 oleh Presiden Prabowo seharusnya dilanjutkan dengan kemauan dan komitmen Presiden untuk membenahi Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengawal pelaksanaan upah minimum pasca ditetapkan Gubernur," harap Timboel.

Bahwa upah minimum yang seharusnya diberikan hanya untuk pekerja dengan masa kerja di bawah setahun, pada faktanya banyak diberikan kepada pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun. Demikian juga, masih banyak pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum yang berlaku.

Untuk meningkatkan kualitas kerja Pengawas Ketenagakerjaan, penting untuk digagas lahirnya Komisi Pengawas Ketenagakerjaan yang merupakan pengawas eksternal yang mengawasi kinerja pengawas ketenagakerjaan. 

Demikian juga diharapkan komitmen Presiden untuk memastikan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) mampu mengendalikan inflasi sehingga kenaikan upah minimum 2025 masih lebih tinggi dari inflasi yang terjadi. 

"Bila kenaikan upah minimum 2025 di bawah tingkat inflasi yang terjadi maka upah riil buruh akan menurun, yang berdampak pada penurunan tingkat kesejahteraan buruh," tuturnya.

Sementara adanya kenaikan PPN menjadi 12 persen (naik sebesar 9 persen), adanya pembatasan BBM khususnya penggunaan Pertalite dan solar, persoalan geopolitik internasional yang belum stabil, kata dia, merupakan kondisi yang berpotensi mendukung peningkatan inflasi lebih tinggi di tahun 2025. 

"Saya berharap kenaikan PPN menjadi 12 persen dan pembatasan BBM ditangguhkan dahulu, sampai kondisi ekonomi mulai membaik dan stabil," katanya.

Sementara kenaikan upah minimum yang ditetapkan Gubernur, kata dia, akan menjadi pro-kontra bagi pekerja dan pengusaha, yang biasanya setiap tahun akan berlanjut pada gugat menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. 

"Saya berharap Pemerintah dapat membenahi sistem pengupahan nasional kita agar isu kenaikan upah minimum tidak menjadi masalah tahunan yang terus terjadi," harapnya.

Bila nanti ada penetapan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang menyebabkan terganggunya cash flow Perusahaan, maka Pemerintah dapat mengintervensi dengan memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada Perusahaan yang memang benar-benar tidak mampu memberikan kenaikan 6,5 persen (melalui proses audit oleh Pemerintah). 

"Misalnya hanya mampu menaikkan 4 persen maka 2,5 persennya ditanggung Pemerintah," tegasnya.

Demikian juga bila inflasi lebih tinggi dari kenaikan upah minimum maka Pemerintah pun dapat memberikan subsidi harga bagi pekerja dengan upah minimum untuk membeli kebutuhan pokoknya.

"Ke depan memang penting untuk membenahi sistem pengupahan kita, dengan pelibatan Pemerintah Pusat dan Daerah. Semoga Dewan Pengupahan Nasional dan LKS Tripartit Nasional bisa merumuskannya dengan baik," tutupnya.

Topik:

Buruh PPN Upah Minimu PHK Gaji Buruh