SRBI Jatuh Tempo Rp114,56 T: Arus Modal Asing Kabur, Rupiah Tertekan

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 13 Januari 2025 15:05 WIB
Bank Indonesia (Dok: MI)
Bank Indonesia (Dok: MI)

Jakarta, MI - Pasar keuangan domestik memulai pekan ini dengan tekanan yang signifikan, menandai awal dari tren yang berpotensi menjadi lebih berat di tengah ketidakpastian pasar global yang terus meningkat.

Data dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp4,38 triliun sepanjang pekan lalu. Asing melepas posisi di tiga instrumen yang dilaporkan oleh BI, yaitu saham senilai Rp1,92 triliun, lalu Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp2,90 triliun serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp440 miliar. Senin (13/1/2025).

Tren capital outflows diperkirakan akan semakin besar di tengah turbulensi pasar global, juga karena pada bulan ini terdapat nilai jatuh tempo SRBI yang tidak kecil.

Pada Januari ini, terdapat SRBI jatuh tempo senilai Rp114,56 triliun. "Kami perkirakan arus keluar dana asing dari SRBI akan meningkat bulan Januari ini karena besarnya nilai jatuh tempo," kata tim analis Mega Capital Sekuritas di antaranya Fixed Income and Macro Strategist Lionel Priyadi dan Junior Economist Muhammad Haikal, dalam catatannya.

SRBI menjadi satu dari tiga instrumen terbaru operasi moneter Bank Indonesia untuk membantu stabilisasi rupiah di pasar. Dua instrumen yaitu SRBI dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dalam sebulan terakhir juga menjadi aset paling ditinggalkan oleh asing di Indonesia.

Pada Desember lalu, investor asing mencatatkan arus keluar dana (capital outflows) senilai Rp19,53 triliun dari SRBI dan Rp16,97 triliun dari SVBI. Kondisi ini turut menekan nilai tukar rupiah, yang melemah sebesar 1,48% dibandingkan bulan sebelumnya.

Salah satu pemicu utama fenomena ini adalah lonjakan imbal hasil Treasury, surat utang Amerika Serikat, yang mencapai level tertinggi sejak akhir 2022. Kenaikan ini berpotensi menarik likuiditas dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke pasar AS.

Investor global akan secara alamiah berupaya keluar dari pasar negara berkembang dan aset-aset yang berisiko seperti saham, juga surat utang emerging market, berbalik memburu surat utang AS yang makin menarik dengan yield menyentuh level tertinggi dua tahun.

Itulah yang terjadi hari ini ketika yield UST, surat utang AS, tenor 20 tahun bahkan sudah di atas 5%. Sementara tenor 10 tahun dan 30 tahun masing-masing di 4,75% dan 4,94%. Buntutnya, harga surat utang RI tertekan arus jual hingga yield-nya pun melejit menembus level tertinggi sejak November 2022 lalu di 7,28% untuk tenor acuan 10 tahun.

Harga saham, terutama yang berasal dari sektor perbankan, mengalami penurunan yang menyebabkan indeks saham IHSG tergerus hingga 0,45% sampai siang ini.

Penurunan harga saham, terutama di sektor perbankan, berlanjut di tengah kekhawatiran akan semakin ketatnya kondisi likuiditas di pasar. Kondisi likuiditas yang mengetat menjadi imbas dari langkah bank sentral menggeber operasi moneter demi menjaga stabilitas rupiah.

Dalam tiga bulan terakhir, rupiah mengalami pelemahan sekitar 4,27%, sementara indeks dolar AS (DXY) tercatat menguat hingga 6,6%. Meskipun rupiah mengalami pelemahan, penurunan ini relatif lebih kecil dibandingkan lonjakan penguatan dolar AS secara global, berkat upaya intensif Bank Indonesia (BI) dalam mengintervensi pasar untuk menahan laju penurunan rupiah.

BI berfokus pada upaya menahan arus keluar dana asing, khususnya dari SBN, dengan menawarkan instrumen jangka pendek seperti SRBI atau SVBI dengan bunga yang tinggi. Meskipun bunga SRBI mengalami penurunan dalam dua lelang terakhir, tingkat bunga yang ditawarkan masih cukup tinggi, yakni 7,23% untuk tenor 12 bulan.

BI juga agresif mengintervensi pasar dengan mengguyur dolar AS dalam nilai besar. Setiap kali BI menjual dolar AS ke pasar, setiap itu pula pasokan rupiah jadi terkuras. Di sisi lain, kendati posisi cadangan devisa RI saat ini berada di level terbesar dalam sejarah, sebesar US$ 155,7 miliar pada Desember, akan tetapi penting dicatat bahwa kenaikan itu kemungkinan lebih karena penerbitan sukuk global dan penyerapan bersih FX swap. 

Pada Desember lalu, Pemerintah RI berhasil menjual sukuk global senilai US$ 2,75 miliar dan melakukan net absorption swap valas sebesar US$ 2,4 miliar. Meskipun demikian, terdapat kekhawatiran mengenai posisi cadangan devisa yang hanya mencakup 6,7 bulan impor, yang masih tergolong rendah dibandingkan rata-rata historis yang berkisar antara 7 hingga 8 bulan.

Langkah Pemerintah RI menerbitkan global bond pekan lalu senilai US$ 2,2 miliar dan EUR 1,40 miliar, akan membantu pasokan cadangan devisa lebih besar.

Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia, Edi Susianto menyampaikan, BI akan terus menjaga stabilitas rupiah melalui triple intervention untuk mempertahankan kepercayaan pasar dan menjaga keseimbangan supply demand valas di pasar.

Pelemahan rupiah pada Senin pagi ini, menurut Bank Indonesia, sejalan dengan tren tekanan yang dialami oleh mata uang Asia lainnya, terutama setelah dirilisnya data pasar kerja AS yang kuat pada Jumat lalu.

Pada perdagangan Senin siang, rupiah menyentuh Rp16.275/US$, merosot 0,55% nilainya dan menjadi valuta dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia setelah baht dan peso.

Sedangkan yield SUN makin meroket di mana tenor 10 tahun siang ini naik 10 bps ke 7,28%, lalu tenor 15 tahun naik 7 bps ke 7,30%. Tenor 2 tahun naik ke 7,07% dan tenor 5 tahun kini di 7,19%.

Topik:

bank-indonesia srbi surat-utang pasar-global svbi rupiah