Cadangan Devisa Anjlok, Suku Bunga BI Terancam Tak Bisa Turun


Jakarta, MI - Cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan terbesar sejak April 2024, tepat saat rupiah menghadapi tekanan terberatnya hingga menyentuh level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Kondisi ini semakin mempersempit ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan dalam pertemuan bulan ini, mengingat nilai tukar rupiah masih rentan terhadap tekanan global dan domestik. Jumat (7/3/2025).
Tak menutup kemungkinan, rupiah bisa kembali tergulung dalam gejolak pasar, bahkan berpotensi mencetak rekor terlemah sepanjang sejarah, terutama jika arus keluar dana asing kembali deras.
Selain itu, jelang dimulainya musim pembagian dividen pada dalam beberapa pekan ke depan sampai April nanti, biasanya lonjakan permintaan dolar AS meningkat sehingga potensial menekan rupiah kembali melemah.
Bank Indonesia melaporkan, posisi cadangan devisa RI pada akhir Februari tergerus turun US$ 1,6 miliar menjadi US$ 154,5 miliar. Penurunan cadev pada Februari menjadi yang terbesar sejak April 2024. Ketika itu cadev anjlok sampai US$ 4,2 miliar dalam sebulan saja.
Bank Indonesia mengungkapkan, penurunan itu disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri Pemerintah RI dan kebutuhan stabilisasi rupiah melalui intervensi di pasar. Meski turun, nilai cadev itu masih di atas kecukupan internasional karena setara dengan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah RI.
Sepanjang Februari, nilai rupiah mengalami penurunan sebesar 1,7%. Puncak gejolak di pasar global yang terjadi sekitar sepekan lalu sempat mendorong rupiah ke level terlemah sejak 1998, menyentuh angka Rp16.592/US$.
Arus modal asing yang keluar dari pasar saham pada bulan lalu tercatat lebih dari Rp7 triliun. Dari instrumen Sekuritas Rupiah (SRBI), asing membukukan penurunan posisi net buy sebesar Rp5,26 triliun dibanding posisi akhir Januari. Sedangkan dari pasar surat utang negara, asing masih mencatat net buy senilai Rp8,86 triliun.
Musim dividen
Memasuki bulan Maret, investor asing mulai kembali berbelanja di pasar domestik, meskipun dengan jumlah yang masih relatif kecil.
Di pasar saham, investor nonresiden mencatatkan net buy sebesar Rp343 miliar dalam sepekan terakhir. Sementara itu, di pasar surat utang negara (SUN), kepemilikan asing bertambah Rp5,49 triliun hingga data terakhir pada Kamis lalu.
Meski aliran modal asing mulai masuk lagi, BI agaknya belum akan berani memangkas bunga acuan dalam waktu dekat bahkan ketika telah terjadi deflasi yang langka pada bulan lalu.
BI kemungkinan masih akan memprioritaskan stabilisasi nilai tukar terutama ketika musim pembagian dividen datang bulan ini hingga bulan depan, yang biasanya mengerek permintaan dolar AS di pasar serta memantik outflows lebih besar.
"Dalam pandangan kami, BI sepertinya tidak akan memakai data ini [IHK pada Februari] untuk menjustifikasi keputusan pemangkasan bunga acuan dalam waktu dekat. Waktu pemangkasan BI rate akan ditentukan oleh pergerakan rupiah ketimbang fundamental inflasi harga seperti dikatakan Gubernur Perry," kata tim analis Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.
Rupiah masih dalam posisi rentan, terutama akibat ketidakpastian kebijakan tarif impor AS yang memicu gejolak di pasar global. Perlu dicatat, saat rupiah melemah 1,7% pada Februari, indeks dolar AS justru turun 0,7%, mencapai level 107,61 pada periode yang sama.
"Deflasi tahunan yang jarang terjadi itu tidak akan membuat BI takut karena penurunan karena diskon sementara tarif listrik, bukan karena penurunan permintaan. BI mungkin sudah memperhitungkan itu dan lebih fokus pada inflasi inti. Kami perkirakan peluang menahan BI Rate lebih besar ketimbang menurunkannya," tutur Ekonom Tamara Mast Henderson.
Meski kemungkinan pemangkasan BI Rate bulan ini masih kecil, ada peluang cadangan devisa meningkat pada akhir Maret. Hal itu sejurus dengan dimulainya penerapan kebijakan mandatori penempatan Devisa Hasil Ekspor 100% selama 12 bulan di dalam negeri.
Topik:
cadangan-devisa bi-rate rupiah bank-indonesia