Coretax Bikin Ribet, Setoran Pajak Jeblok! Kenapa Kemenkeu Takedown APBN KiTa?

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 13 Maret 2025 09:15 WIB
Kementerian Keuangan (Foto: Dok MI)
Kementerian Keuangan (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Aksi takedown laporan APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) edisi Februari 2025 dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Publik pun bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?

Salah satu akun X, @txtdaritax, menuliskan poin-poin penting dari laporan APBN KiTa Januari 2025 yang sempat dipublikasikan sebelum dihapus.

"Kemenkeu sempat rilis #APBNKita tapi ditakedown lagi, tapi berita online udah capture beberapa poin," tulis akun tersebut, dikutip Rabu (12/3/2025).

Poin pertama, tulis @txrdaritax, pendapatan negara Januari 2025 drop (-28,2 persen) secara tahunan (year on year/yoy), setara Rp62 triliun. 

Anjloknya pendapatan negara pada Januari 2025 diduga kuat disebabkan oleh penerimaan pajak yang merosot hingga 41,86 persen. Akun X @txtdaritax bahkan mempertanyakan, "Is CORETAX effect real?"

Penurunan ini kemungkinan berkaitan dengan implementasi Coretax, aplikasi pajak berbasis digital yang mulai diterapkan sejak 1 Januari 2025. Sejak diluncurkan, sistem ini mengalami berbagai kendala, yang membuat wajib pajak merasa frustrasi saat menjalankan kewajibannya.

Akibatnya, setoran pajak pada Januari 2025 diduga hanya mencapai Rp88,89 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan Januari 2024 yang sebesar Rp152,89 triliun.

Kedua, belanja negara. Realisasi belanja negara Januari 2025 mencapai Rp180,8 triliun. Atau turun 1,8 persen (yoy) dibanding Januari 2024 sebesar Rp184,2 triliun. Artinya, lebih besar belanja ketimbang pendapatan negara yang berdampak kepada melebarnya defisit. 

Defisit APBN pada bulan Januari terakhir kali terjadi pada tahun 2021, saat perekonomian tertekan akibat pandemi COVID-19. Namun, di tahun ini, ketika pandemi sudah tidak lagi menjadi faktor penghambat, mengapa APBN masih mengalami defisit?

Ketiga, pembiayaan negara. Tata kelola keuangan negara, saat ini, tak beda dengan orang yang terperangkap pinjaman online (pinjol). Tiap bulan dia harus gali lubang tutup lubang.

Sebuah negara yang postur belanjanya lebih gemuk ketimbang pendapatan, maka harus ditutup dengan pembiayaan. Asal tahu saja, pembiayaan Januari 2025 mencapai Rp154 triliun. Atau naik 43,5 persen ketimbang Januari 2024 sebesar Rp107,3 triliun.

Keempat, keseimbangan primer yang berarti total pendapatan negara dikurangi belanja negara, selain pembayaran bunga utang.

Keseimbangan primer pada Januari 2025 tercatat hanya Rp10,61 triliun, anjlok 83,7 persen dibandingkan Januari 2024 yang mencapai Rp65,25 triliun. Kondisi ini memicu kekhawatiran, karena bahkan untuk membayar bunga utang pun semakin sulit.

Kelima, defisit anggaran. Overall, defisit anggaran Januari 2025 mencapai Rp23,5 triliun, atau setara -0,10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Situasi ini berbanding terbalik dengan Januari 2024, ketika APBN justru mencatat surplus Rp35,1 triliun atau 0,16 persen dari PDB. Kondisi keuangan negara seperti ini, memang tidak sedang baik-baik saja. Bisa jadi biang keroknya itu tadi, Coretax effect.

Topik:

coretax apbn-kita sri-mulyani