Tarif Royalti Minerba Naik Pekan Depan

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 9 April 2025 14:50 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan kebijakan baru terkait tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) akan resmi diberlakukan mulai pekan kedua April 2025.

Aturan ini akan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM yang segera diterbitkan. Mayoritas komoditas minerba disebut bakal mengalami kenaikan tarif royalti, seiring dengan tren harga pasar global.

“Oh sudah [rampung] dan dalam waktu dekat sudah berlaku efektif. Minggu kedua bulan ini sudah berlaku efektif, kan sudah tersosialisasikan,” tutur Bahlil saat ditemui di Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).

Ia menjelaskan bahwa dalam aturan tersebut nantinya terdapat rentang persentase yang akan diberlakukan. Ketika harga komoditas minerba yang bersangkutan naik, tarif royaltinya pun akan naik karena bersifat progresif. 

“Itu ada range-nya. Kalau harganya nikel atau emas naik, ada range [besaran royalti] tertentu. Namun, kalau tidak naik, itu [tarif royalti] tidak juga naik. Ya kalau harga naik, otomatis kan perusahaan dapat untung dong. Masak kemudian kalau dapat untung, negara tidak mendapat bagian,” ungkap Bahlil. 

Menjaga Keadilan bagi Semua Pihak

Bahlil menegaskan bahwa penyesuaian tarif royalti minerba dilakukan untuk menciptakan keadilan bagi negara maupun pelaku usaha. 

Menurutnya, ketika harga komoditas minerba meningkat, negara berhak memperoleh porsi pendapatan yang lebih besar. Sebaliknya, saat harga turun, pemerintah berkomitmen untuk tidak membebani pelaku usaha secara berlebihan.

“Kita mau win-win. Kita ingin pengusahanya baik, negaranya juga baik,” jelasnya.

Bahlil juga menyampaikan apresiasi terhadap berbagai kritik dan masukan terkait dengan kenaikan royalti diusulkan naik dua kali lipat dari tarif sebelumnya.

Bahkan, banyak kalangan yang berpandangan wacana kenaikan royalti minerba sebaiknya ditunda, di tengah risiko pelemahan permintaan komoditas tambang RI akibat perang tarif yang digaungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

“Kita menghargai semua masukan. Akan tetapi, kan kita melihat pada suatu kepentingan lebih besar daripada bangsa kita,” terangnya.

Di sisi lain, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyarankan agar rencana kenaikan tarif royalti minerba ditinjau ulang dan sebaiknya ditunda pelaksanaannya, terutama di tengah situasi perang tarif global yang dipicu kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy Hartono, menilai bahwa industri tambang nasional saat ini tengah menghadapi tekanan ganda, tidak hanya dari rencana penyesuaian tarif royalti, tetapi juga dari sejumlah kebijakan fiskal dan nonfiskal baru yang mulai diberlakukan pemerintah tahun ini.

Kebijakan fiskal yang dinilai memberatkan penambang a.l. rencana kenaikan tarif royalti minerba, wajib retensi 100% devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) selama setahun, hingga kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%.

Adapun, regulasi nonfiskal yang dianggap menyulitkan a.l. pencabutan subsidi FAME untuk biodiesel B40 selain bagi segmen pelayanan publik atau public service obligation (PSO), serta mandatori penggunaan harga batu bara acuan (HBA) dalam kegiatan ekspor komoditas tersebut.

“Pemerintah harus membantu industri dengan menunda dahulu semua kebijakan fiskal, seperti rencana kenaikan royalti, dan nonfiskal; sehingga tidak membebani biaya pertambangan di tengah penurunan harga komoditas,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (9/4/2025).

Selain mengusulkan agar pemerintah memberikan kelonggaran kebijakan, Sudirman juga mendorong perusahaan tambang untuk mengoptimalkan efisiensi biaya, agar pelaku industri tetap tangguh menghadapi potensi penurunan harga komoditas serta melemahnya permintaan akibat dampak perang tarif global yang tengah berlangsung.

Topik:

royalti-minerba tambang bahlil-lahadalia