RI Gagal Negosiasi Tarif AS, Prabowo Didesak Reshuffle Kabinet


Jakarta, MI - Gagalnya negosiasi Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) untuk menghindari tarif impor sebesar 32% terhadap produk asal Tanah Air menuai kritik tajam dari Center of Economic and Law Studies (Celios).
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyatakan bahwa kegagalan ini menunjukkan lemahnya lemahnya arah kebijakan luar negeri dan ekonomi Indonesia.
Kegagalan ini juga dianggap menjadi bukti absennya koordinasi strategis lintas kementerian yang berdampak langsung terhadap kepercayaan pasar dan posisi tawar negara.
Bhima pun mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk mempertimbangkan langkah tegas, termasuk melakukan perombakan atau reshuffle kabinet, guna memperkuat tim ekonomi dan diplomasi perdagangan.
Sebelumnya, tim negosiasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengajukan berbagai tawaran besar kepada AS.
Tawaran tersebut mencakup LNG, LPG, minyak mentah, gandum, hingga pesawat Boeing. Namun, pemerintah AS tetap memberlakukan tarif dengan angka yang cukup signifikan.
"Keputusan Washington cenderung dipengaruhi oleh pertimbangan geopolitik daripada hanya sekadar transaksi dagang," ujar Bhima dalam keterangan resminya, Selasa (8/7/2025).
"Afiliasi Indonesia dalam BRICS dan sikap tegas terhadap ekspor mineral menjadi faktor yang secara politis dari kebijakan AS terhadap Indonesia," tambahnya.
Menurut Bhima, strategi negosiasi yang dibangun terlalu bertumpu pada pembukaan keran impor produk migas AS secara berlebihan hingga 15,5 miliar dolar AS, atau setara Rp259,5 triliun. Ia menyebut bahwa tawaran itu menjadi ancaman bagi defisit sektor migas jangka panjang.
Bhima juga mengatakan, kegagalan ini seharusnya menjadi momentum bagi Presiden Prabowo untuk mengevaluasi komposisi kabinetnya.
“Jika Indonesia ingin memperkuat posisi globalnya, perombakan kabinet adalah langkah yang tidak bisa ditunda. Menteri Airlangga Hartarto jelas gagal dalam merancang strategi ekonomi luar negeri yang efektif," tuturnya.
"Menteri Keuangan Sri Mulyani, meskipun memiliki pandangan teknokratik yang tajam, tidak lagi cukup didengar dalam pengambilan keputusan strategis," kata Bhima.
"Sementara Menteri Luar Negeri Sugiono tampak hanya menjalankan fungsi simbolik, bukan diplomatik yang substantif,” sambungnya.
Ia menjelaskan bahwa studi Celios memperkirakan dampak dari penerapan tarif 32 persen berpotensi menyebabkan hilangnya hingga 1,2 juta lapangan kerja, terutama di sektor padat karya, seperti pakaian jadi, alas kaki, serta produk ekspor lain yang signifikan.
Selain itu, nilai ekspor Indonesia diperkirakan akan turun sebesar Rp105,98 triliun, sementara pendapatan masyarakat diproyeksikan terkoreksi hingga Rp143,87 triliun.
Dengan dimulainya penerapan tarif balasan (resiprokal) pada 1 Agustus 2025, ia menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan hanya akan berada di kisaran 4,7–4,8 persen secara tahunan (year on year).
Celios mengatakan, koordinasi ekonomi memerlukan pemimpin yang memahami lanskap perdagangan global. Oleh karena itu, ia mendesak Presiden Prabowo melakukan perombakan kabinet berdasarkan kompetensi dan ketegasan arah kebijakan.
Bhima menilai, diplomasi luar negeri perlu dijalankan oleh profesional yang bisa memperkuat posisi Indonesia di tengah ketegangan geopolitik internasional.
“Ini bukan sekadar reshuffle, tapi penyelarasan ulang arah pemerintahan. Jika kabinet tetap diisi oleh figur-figur yang tidak mampu menjawab tantangan global, Indonesia akan semakin tertinggal dan kehilangan momentum,” jelasnya.
Direktur Studi China-Indonesia Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menilai kekosongan posisi Duta Besar RI untuk AS sejak 2023 merupakan langkah diplomatik yang tidak dipertimbangkan dengan baik.
“Saat tarif diumumkan, Indonesia tidak punya wakil penuh di Washington. Di saat negara seperti Vietnam memperkuat diplomasi dan produksi mereka di AS, kita justru membiarkan celah ini terbuka lebar,” kata Zulfikar.
Sementara itu, peneliti Celios, Yeta Purnama, menyoroti lemahnya koordinasi lintas kementerian dalam merespons situasi ini. Ia menyebut respons pemerintah tidak selaras dengan kepentingan strategis nasional.
“Indonesia butuh menteri-menteri yang berani menyuarakan kepentingan publik, bukan sekadar menjalankan instruksi politik. Pembaruan arah kebijakan hanya bisa terjadi bila orang-orangnya juga diperbarui,” tutur Yeta.
Untuk perbandingan, Celios menyoroti keberhasilan Vietnam dalam menghindari tarif serupa melalui strategi diplomasi yang konsisten serta komitmen investasi yang konkret di AS.
Sementara itu, Indonesia dinilai cenderung mengadopsi pendekatan yang reaktif dan simbolis, tanpa fondasi diplomatik dan kebijakan yang kuat.
Topik:
tarif-impor amerika-serikat negosiasi-tarif celiosBerita Sebelumnya
Harga CPO Tembus Level Tertinggi Sejak April, Naik 3 Hari Beruntun
Berita Selanjutnya
Indra Utoyo Mundur dari Jabatan Dirut Allo Bank
Berita Terkait

Pajak Penghasilan Anggota DPR dan Pejabat Ternyata Ditanggung Negara
26 Agustus 2025 09:55 WIB

Dijuluki Hakim Paling Baik di Dunia, Frank Caprio Tutup Usia 88 Tahun
22 Agustus 2025 08:14 WIB