Ebrahim Raisi Enggan Bertemu Joe Biden Bahas Nuklir

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 22 Juni 2021 16:01 WIB
Tehran, Monitorindonesia.com - Presiden terpilih Iran, Ebrahim Raisi menolak untuk bertemu Presiden AS Joe Biden untuk membicarakan kesepakatan nuklir maupun membahas program rudal balistik Teheran dan dukungan milisi regional. Pernyataan Ebrahim Raisi itu menunjukkan sikap garis kerasnya dengan menyatakan akan meninjau kembali soal kesepakatan nuklir dengan negara maju untuk empat tahun ke depan. Padahal, saat ini negosiasi untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 telah berjalan setelah sebelumnya Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan itu secara sepihak di bawah Presiden Donald Trump. Kemenangan Raisi pada pemilihan presiden menimbulkan kesulitan ketika pembicaraan kesepakatan nuklir Iran dilanjutkan Raisi berjanji untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran dengan negara Barat untuk mengamankan bantuan dari sanksi AS yang menghancurkan, tetapi mengesampingkan batasan apa pun pada kemampuan rudal Iran dan dukungan untuk milisi regional. “Itu tidak bisa dinegosiasikan,” kata Raisi tentang program rudal balistik Iran dan menambahkan bahwa AS “wajib mencabut semua sanksi yang menindas terhadap Iran” seperti dikutip TheGuardian.com, Selasa (22/6). Ketika ditanya tentang kemungkinan pertemuan dengan Biden, Raisi dengan singkat menjawab: “Tidak.” Dia mengerutkan kening dan menatap ke depan tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sedangkan pesaing moderatnya dalam pemilihan presiden, Abdolnasser Hemmati, mengatakan selama kampanye kalau dirinya bersedia bertemu Biden. Akan tetapi, Gedung Putih tidak segera menanggapi Raisi yang akan menjadi presiden Iran pertama yang menjabat dan diberi sanksi oleh pemerintah AS. Posisi itu akan memperumit kunjungan kenegaraan dan pidato di forum internasional seperti di PBB. Terpilihnya Raisi menempatkan kelompok garis keras di posisi teratas di seluruh pemerintahan saat negosiasi berlangsung di Wina untuk mencoba menyelamatkan kesepakatan nuklir Teheran. Sanksi terhadap Iran akan dicabut dengan imbalan pembatasan program nuklirnya. Pada tahun 2018, Donald Trump, yang saat itu menjadi presiden, secara sepihak menarik AS dari perjanjian tersebut sehingga memicu ketegangan selama berbulan-bulan di Timur Tengah. Sejak keputusan Trump itu, Iran mulai mengabaikan setiap batasan pengayaan. Tehran memperkaya uranium hingga 60%, atau level tertinggi yang pernah ada, meskipun masih kurang dari 90% untuk pembuatan senjata.[Yohana RJ]

Topik:

AS Iran