Bagaimana Permusuhan antara Israel dan Iran Bermula?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 16 April 2024 21:30 WIB
Sistem anti-rudal Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza, terlihat dari Ashkelon, Israel Selatan, Minggu (8/10/2023)
Sistem anti-rudal Iron Dome Israel mencegat roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza, terlihat dari Ashkelon, Israel Selatan, Minggu (8/10/2023)

Jakarta, MI - Selama beberapa dekade, Israel dan Iran telah melancarkan perang bayangan di Timur Tengah, saling bertukar serangan melalui darat, laut, udara, dan dunia maya. 

Rentetan drone dan rudal yang diluncurkan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4/2024) malam lalu merupakan serangan kali pertama Iran ke Israel secara langsung dari wilayahnya sendiri dan menjadi peristiwa bersejarah.

Kini hubungan Iran dan Israel makin memburuk, terutama sejak Iran melakukan serangan pada 13 April terhadap Israel sebagai respons terhadap jet perang Israel yang menargetkan konsulat Iran di Suriah awal April lalu yang menyebabkan kematian komandan militer seniornya.

Lantas bagaimana permusuhan antara Israel dan Iran bermula?
Hubungan antara Israel dan Iran sejatinya cukup baik sampai ketika Revolusi Islam yang dikomandoi Ayatollah merebut kekuasaan di Teheran pada 1979.

Meski menentang rencana pembagian wilayah Palestina yang berujung pada berdirinya negara Israel pada 1948, Iran adalah negara Islam kedua yang mengakui pendirian Israel setelah Mesir.

Saat itu, Iran adalah negara monarki yang diperintah oleh Shah dari dinasti Pahlavi dan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah.
Karena alasan ini, pendiri Israel dan kepala pemerintahan Israel pertama, David Ben-Gurion, berusaha menjalin persahabatan dengan Iran sebagai cara untuk melawan penolakan negara Israel oleh negara-negara tetangganya.

Namun pada 1979, Revolusi Ruhollah Khomeini menggulingkan Shah dan mendirikan Republik Islam Iran. Salah satu ciri identitas utama Khomeini adalah menolak “imperialisme” Amerika Serikat dan sekutunya Israel.

Rezim Ayatollah Khomeini memutuskan hubungan dengan Israel, tidak lagi mengakui keabsahan paspor warga negara Israel, serta menyita bangunan Kedutaan Israel di Teheran untuk diserahkan kepada Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang saat itu memimpin perlawanan Palestina terhadap pemerintah Israel.


Alí Vaez, direktur Program Iran di lembaga kajian International Crisis Group, mengatakan bahwa “permusuhan terhadap Israel adalah pilar rezim baru Iran karena banyak pemimpinnya telah mengikuti pelatihan dan berpartisipasi dalam perang gerilya bersama milisi Palestina di tempat-tempat seperti Lebanon. Mereka mempunyai simpati yang besar pada Palestina.”

Selain itu, Vaez yakin, "Iran yang baru ingin memproyeksikan dirinya sebagai kekuatan pan-Islam dan mengangkat perjuangan Palestina melawan Israel yang telah ditinggalkan oleh negara-negara Muslim Arab."

Dengan demikian, Khomeini mulai mengeklaim perjuangan Palestina sebagai perjuangannya sendiri. Sejak itu, demonstrasi besar-besaran pro-Palestina dengan dukungan resmi pemerintah Iran menjadi hal biasa di Teheran.

Vaez menjelaskan bahwa “di Israel, permusuhan terhadap Iran baru dimulai pada akhir 1990-an, karena sebelumnya Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein dianggap sebagai ancaman regional yang lebih besar.”

Buktinya, pemerintah Israel pernah menjadi salah satu negara yang memungkinkan terjadinya Iran-Contra, yaitu program rahasia Amerika Serikat untuk mengalihkan senjata ke Iran sehingga dapat digunakan dalam perang Iran melawan Irak antara tahun 1980 dan 1988.

Namun seiring berjalannya waktu, Israel mulai melihat Iran sebagai salah satu ancaman utama bagi keberadaannya. Permusuhan antara keduanya lantas berkembang dari perkataan hingga menjadi perbuatan.

Alí Vaez, direktur Program Iran di lembaga kajian International Crisis Group, memaparkan bahwa ketika Iran berhadapan dengan Arab Saudi, kekuatan regional besar lainnya, Iran menyadari bahwa dirinya adalah negara Persia dan Syiah di kawasan yang mayoritas berpenduduk Arab dan Sunni.

“Rezim Iran menyadari keterasingannya dan mulai mengembangkan strategi yang bertujuan untuk mencegah musuh-musuhnya suatu hari menyerang di wilayahnya sendiri.”

Iran, menurut Vaez, kemudian menciptakan jaringan organisasi yang bersekutu dengan Teheran guna melakukan aksi bersenjata yang menguntungkan kepentingannya.

Hizbullah di Lebanon, yang diklasifikasikan sebagai kelompok teroris oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa, adalah yang paling menonjol. Saat ini kelompok-kelompok yang disebut “poros perlawanan” Iran berada di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.

Israel tidak tinggal diam. Tel Aviv telah melancarkan serangan serta tindakan bermusuhan lainnya dengan Iran dan sekutunya, seringkali di negara ketiga yang mendanai dan mendukung kelompok bersenjata pro-Iran.

Pertarungan antara Iran dan Israel digambarkan sebagai “perang bayangan” karena dalam banyak kasus kedua negara saling menyerang tanpa mengakui keterlibatan masing-masing.

Pada 1992, kelompok Jihad Islam yang terkait dengan Iran meledakkan Kedutaan Israel di Buenos Aires, menyebabkan 29 orang tewas. Peristiwa ini terjadi sesaat setelah pemimpin Hizbullah, Abbas al-Musawi, dibunuh - sebuah serangan yang secara luas dikaitkan dengan badan intelijen Israel.

Israel selalu terobsesi menghentikan program nuklir Iran dan mencegah hari ketika ayatollah memiliki senjata atom.

Israel tidak mempercayai klaim Iran bahwa program nulirnya hanya untuk tujuan sipil. Bahkan, Israel secara luas diyakini bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk mengembangkan virus komputer Stuxnet, yang menyebabkan kerusakan serius pada fasilitas nuklir Iran, awal tahun 2000-an.

Teheran juga menuduh intelijen Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan terhadap beberapa ilmuwan dalam program nuklirnya.

Yang paling menonjol adalah pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh pada 2020, yang dianggap sebagai sosok utama dalam program mulir Iran. Pemerintah Israel tidak pernah mengakui keterlibatannya dalam kematian ilmuwan-ilmuwan Iran.

Israel, bersama negara-negara Barat, menuduh Iran berada di balik gempuran pesawat tak berawak dan roket di wilayahnya serta beberapa serangan siber.

Perang saudara yang terjadi di Suriah sejak 2011 juga menjadi latar konfrontasi Israel dan Iran.

Intelijen Barat mengindikasikan Iran telah mengirim uang, senjata dan instruktur untuk mendukung pasukan Presiden Bashar al Assad melawan pemberontak yang berusaha menggulingkannya.

Israel meyakini Suriah adalah salah satu rute utama Iran dalam mengirim senjata dan peralatan untuk Hizbullah di Lebanon.

Menurut portal intelijen AS, Stratfor, Israel dan Iran melakukan tindakan di Suriah yang bertujuan saling menghalangi dalam melancarkan serangan skala besar. “Perang bayangan” Israel dan Iran mencapai lautan pada 2021.

Tahun itu, Israel menyalahkan Iran atas serangan terhadap kapal-kapal Israel di Teluk Oman. Iran balik menuduh Israel menyerang kapal-kapalnya di Laut Merah.

Serangan Hamas ke Israel
Setelah serangan milisi Palestina Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang dibalas oleh Israel dengan serangan militer besar-besaran ke Gaza, para analis dan berbagai negara risau bahwa pertikaian tersebut dapat memicu reaksi berantai di wilayah tersebut serta konfrontasi terbuka antara Iran dan Israel.

Terbukti bentrokan antara pasukan Israel dan milisi yang diduga terkait dengan Hizbullah di perbatasan Lebanon telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Ada pula bentrokan dengan pengunjuk rasa Palestina di wilayah pendudukan Tepi Barat.

Namun, yang paling signifikan adalah gempuran terhadap Konsulat Iran di Damaskus yang menewaskan sejumlah perwira militer Iran, termasuk komandan Pasukan Quds, Mohammad Reza Zahedi.

Sebelum Minggu (14/4/2024), baik Iran maupun Israel berhasil menghindari peningkatan permusuhan dan pertempuran skala besar. Hal itu berubah dengan peluncuran drone dan rudal oleh Teheran. Kini, semua mata tertuju pada Israel.

Seperti diberitakan sebelumnya, Iran merespons serangan Israel ke gedung konsulat mereka di Damaskus, Suriah, pada 1 April lalu, yang menewaskan tujuh pejabat Korps Garda Revolusi Islam.

Serangan Iran ke Israel kemarin adalah serangan langsung pertama mereka ke Israel. Iran meluncurkan lebih dari 300 drone dan rudal ke Israel. Dua negara ini sudah terlibat perang bayangan selama bertahun-tahun.

Militer Israel membuat klaim telah menembak jauh 99% misil dan drone yang dilepas Iran. Akan tetapi, bagaimana Israel akan "menjawab" serangan Iran?

Negara-negara di wilayah Timur Tengah dan berbagai tempat lain termasuk yang membenci rezim Iran sudah mendesak Israel agar menahan diri. Muncul kekhawatiran akan terjadi eskalasi tensi yang besar di Timur Tengah.

Posisi Iran kira-kira begini: "Masalah kami anggap selesai. Jangan serang balik kami. Kalau Anda menyerang, kami akan melancarkan serangan yang jauh lebih besar dan Anda tidak akan bisa menangkisnya."

Namun, Israel sudah bersumpah akan memberikan "respons signifikan". Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyatakan "bersama kita akan menang".

Pernyataan terbaru Netanyahu itu menyusul peringatan otoritas Israel pekan lalu bahwa apabila Iran menyerang mereka, maka serangan balasan akan ditujukan langsung ke Iran.

Pemerintahan Israel seringkali disebut yang paling garis keras dalam sejarah Israel sendiri. Israel membalas serbuan Hamas pada 7 Oktober 2023 ke wilayah selatan mereka dalam hitungan jam dan terus menghajar Gaza dalam periode enam bulan berikutnya.

Kecil kemungkinan kabinet perang Israel untuk tinggal diam atas serangan langsung Iran ini kendati dampaknya di lapangan sudah terukur dan terbatas.

Pertama, Israel dapat mendengarkan para negara tetangganya dan melakukan apa yang disebut "kesabaran strategis". Alih-alih membalas Iran dengan setimpal , Israel dapat melanjutkan serangan ke sekutu bayangan Iran di wilayah seperti Hizbullah di Lebanon atau gudang-gudang perlengkapan militer di Suriah seperti yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun.

Kedua, Israel bisa membalas dengan melancarkan sejumlah serangan yang dipertimbangkan matang-matang berupa rudal jarak jauh dan hanya menyasar basis peluncuran rudal Iran.

Serangan langsung ke Iran oleh Israel seperti ini (alih-alih menyasar kelompok bersenjata yang didukung Iran) bakal dipandang sebagai eskalasi oleh Iran.

Ketiga, Israel bisa meningkatkan eskalasi dengan memperluas target respons mereka dengan mencakup pangkalan-pangkalan militer, banyak kamp pelatihan, dan berbagai pusat komando Korps Garda Revolusi Islam (IRGC).

Dua pilihan terakhir berisiko memicu balasan lebih sengit lagi dari Iran.  The New York Times dengan mengutip sumber-sumber intelijen Israel mengabarkan target-target utama Iran kemarin tampaknya adalah markas militer di Dataran Tinggi Golan.

Suara sirine dilaporkan menggema di berbagai penjuru Yerusalem pada Minggu (14/4/2024), saat serangan terjadi. Ledakan demi ledakan pun terdengar kala sistem pertahanan udara Israel menjatuhkan misil dan drone Iran dari atas langit.

Otoritas Israel menyebut sekitar 360 amunisi ditembakkan oleh Iran, yang terdiri dari 170 drone peledak, 30 peluru kendali jelajah, dan 120 rudal balistik. Namun Israel membuat klaim kerusakan yang terjadi akibat serangan Iran amatlah minim.

Juru bicara IDF (Pasukan Pertahanan Israel), Laksamana Muda Daniel Hagari, mengatakan beberapa misil Iran menghajar wilayah Israel dan menimbulkan kerusakan kecil di satu pangkalan militer tetapi tidak memakan korban.

Hagari berkata, anak perempuan Bedouin berumur 10 tahun mengalami luka serius karena terkena serpihan dari reruntuhan yang jatuh di Arad selatan.

Peringatan Iran
Sebagian dari mereka memboyong foto Jenderal Qassem Soleimani yang tewas di Damaskus pada serangan Israel ke kedutaan Iran di sana pada 1 April.

Dilansir AFP, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengemukakan bahwa "apabila rezim Zionis [Israel] atau pendukungnya berperilaku sembrono, maka mereka akan mendapat balasan yang tegas dan jauh lebih kuat".

IRGC cabang terkuat dari angkatan bersenjata Iran menyatakan drone peledak dan rudal itu adalah "pembalasan terhadap kejahatan berulang rezim Zionis [Israel], termasuk serangan ke kedutaan Iran di Damaskus".

Usai ratusan drone peledak dan rudal itu dilepas, utusan Iran ke PBB menyatakan, "persoalan dianggap beres".

Adapun, Kepala Staf Angkatan Darat Iran Mayjen Mohammad Bagheri, kepada stasiun TV milik negara Iran, menyebut mereka telah memperingatkan AS via Swiss. Isi peringatan itu: jika Amerika mendukung pembalasan maka basis-basis AS di Timur Tengah akan menjadi target Iran berikutnya.

Di sisi lain, Menlu Iran Hossein Amir-Abdollahian, seperti dilansir Reuters, mengaku telah mengatakan kepada AS bahwa serangan terhadap Israel akan "terbatas" dan sekadar untuk membela diri.

Pertanyaan yang menjadi kunci di sini adalah apakah AS akan terseret dan mengakibatkan perang terbuka antara Iran dan pasukan AS di wilayah.

AS mempunyai fasilitas militer di seluruh enam negara Teluk Arab, termasuk di Suriah, Irak, dan Yordania. Semua titik ini bisa menjadi sasaran Iran, yang meski dihadang sanksi internasional selama bertahun-tahun mampu membangun persediaan besar rudal balistik dan rudal lainnya.

Iran pun bisa melakukan ancaman yang telah lama diumbar apabila diserang: berupaya menutup Selat Hormuz yang vital nan strategis menggunakan ranjau, drone, dan kapal serang cepat. Dengan begini, Iran dapat menghambat hampir seperempat pasokan minyak dunia.

Ini adalah skenario mimpi buruk karena akan menyeret AS dan negara-negara Teluk ke dalam perang satu kawasan. Banyak negara kini berupaya sekuat mati untuk menghindarinya.

Topik:

iran israel hamas