Soal Hukuman Mati Koruptor, Jaksa Agung Dianggap Campuri Domain Pengadilan

mbahdot
mbahdot
Diperbarui 1 November 2021 12:22 WIB
Monitorindonesia.com- Jaksa Agung ST Burhanuddin dianggap mencampuri domain pengadilan dengan mewacanakan hukuman mati koruptor. Malahan Burhanuddin dianggap tidak memahami substansi pemulihan aset negara dari perkara korupsi dan terkesan menutupnya dengan wacana hukuman mati. Pakar hukum Yenti Garnasih menyebut, Jaksa Agung sebaiknya fokus memberi arahan kepada jajarannya untuk memastikan pemulihan aset negara dari perkara korupsi bukan pada hukuman maksimal pidana mati. Sebab jaksa harus mampu membuktikan perkara di pengadilan sementara hakim yang memutuskan. “Pidana mati itu bukan urusan Jaksa Agung tetapi hakim. Jaksa hanya menuntut tetapi apakah bisa dilaksanakan atau tidak itu tergantung hakim. Saya kira ini sudah clear,” kata Yenti, Senin (1/11/2021). Yenti mengingatkan pentingnya pengusutan perkara korupsi yaitu memulihkan kerugian negara. Sejauh ini dia melihat jaksa belum optimal dalam merampas aset hasil korupsi untuk negara. “Misalnya saat perampasan jaksa juga harus transparan, bukan hanya menyampaikan telah menyita aset tetapi memastikan berapa jumlahnya dan aset ini hasil dari korupsi,” kata dia. Selain itu, penyidik juga harus melakukan pelacakan aset secara menyeluruh. Termasuk memastikan ada atau tidaknya aset hasil kejahatan korupsi yang dilarikan keluar negeri. Terkait dengan itu, Yenti mengaku tidak sepakat dengan pelaksanaan pidana mati perkara korupsi. Sebab terbuka kemungkinan aset yang dimiliki tersangka korupsi di luar negeri tidak bisa kembali karena Indonesia menerapkan pidana mati. “Jadi bagi negara-negara yang tidak menerapkan hukuman mati agak sulit diajak kolaborasi untuk mengembalikan aset-aset itu. Menurut saya, lebih baik kita fokus pada hal ini, bagaimana memastikan aset-aset hasil korupsi bisa kembali untuk negara,” tuturnya. Yenti meyakini Indonesia masih memiliki persoalan dalam memulihkan aset hasil kejahatan. Hal itu terbukti dari tidak kunjung diundangkan RUU Perampasan Aset oleh pemerintah bersama DPR. Selain itu, penyelesaian aset BLBI turut menunjukkan betapa negara tidak mampu memetakan aset-aset hasil kejahatan korupsi. Malah terkesan telah dipermainkan koruptor dan membodohi publik. “Satgas BLBI dengan bangga mengatakan aset tanah ini milik negara maka diambil oleh negara. Namun status tanahnya belakangan diketahui tanah garapan. Ini jelas dagelan karena pemerintah menyita tanah milik pemerintah sendiri. Artinya kita tidak mengedukasi masyarakat,” katanya. Menurutnya, lebih baik Jaksa Agung memberi edukasi kepada masyarakat mengenai poin penting kejahatan korupsi yaitu, kerugian negara. Tanggung jawab seperti ini penting untuk memastikan Kejaksaan bekerja sesuai dengan ketentuan dan memastikan kejahatan korupsi ditangani secara proporsional. “Masyarakat harus diedukasi, jangan dibohongi. Artinya penting juga memastikan penanganan perkara dilakukan secara transparan,” beber Yenti.