Penahanan Surya Darmadi Ditangguhkan Sementara oleh Kejagung

Rekha Anstarida
Rekha Anstarida
Diperbarui 19 Agustus 2022 09:30 WIB
Jakarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) membantarkan pemilik PT Duta Palma, Surya Darmadi, tersangka kasus dugaan korupsi penyerobotan lahan sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ke Rumah Sakit Adhyaksa, Ceger, Jakarta Timur. "(SD) masih di ICU, setelah diperiksa sebentar langsung drop, sementara kami bantarkan," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Supardi saat dikonfirmasi di Gedung Bundar, Kejagung, Kamis (18/8). Supardi mengatakan, pembantaran Surya Darmadi ke rumah sakit mulai hari ini. Upaya pemeriksaan baru akan dilakukan setelah dokter menyatakan kondisinya telah stabil. Selama dibantarkan itu, kata Supardi, status penahanannya ditangguhkan, sehingga masa penahanan terhadapnya tidak dihitung. "Tidak ditahan. Jadi ditangguhkan. Dibantarkan berarti masa tahanan tidak dihitung tapi tetap dalam posisi pengawasan kita, sampai kondisinya sudah bisa balik," kata Supardi. Adapun keputusan pembantaran tersebut berdasarkan hasil diagnosa tim dokter Kejagung, bukan pihak medis pribadi bos Duta Palma Group tersebut. Kondisi jantung Surya Darmadi ternyata sudah pernah di bypass. "Sakit jantung kan. Bawaan dari sana sudah. Sudah bypass," ujarnya. Sebelumnya, pemilik PT Duta Palma Group itu dilarikan ke rumah sakit saat menjalani pemeriksaan sebagai tersangka oleh penyidik. Surya yang saat itu mulai diperiksa sekitar pukul 10.00 WIB. Namun pengambilan keterangan terhadapnya baru berjalan sekitar 3 jam dan dihentikan sementara. Sebagai informasi, Surya Darmadi tiba di Tanah Air pada Senin (15/8). Surya dijemput penyidik Kejagung di Bandara Soekarno-Hatta dan dibawa ke kantor Kejaksaan Agung dan langsung ditahan setelah diperiksa. Kejagung sendiri telah menetapkan pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait penyerobotan lahan oleh PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Kasus korupsi ini disebut terbesar di Indonesia karena disinyalir merugikan keuangan negara hingga Rp78 triliun.