LPBH-FAS Meminta Pemerintah dan DPR Cabut UU Cipta Kerja

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 28 Desember 2022 17:56 WIB
Jakarta, MI - Lembaga Penyadaran dan Bantuan Hukum Forum Adil Sejahtera (LPBH-FAS) yang terdiri dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yakni Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri (FGSBM), Aliansi Persatuan Rakyat (Perak), Migran Care, Gerakan Buruh Jakarta, Geganas dan Yayasan Forum Adil Sejahtera meminta Pemerintah dan DPR untuk mencabut Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 tahun 2021 yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 telah cacat formil dan inkonstitusional bersyarat karena metode Omnibus Law tidak dikenal dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Udangan (UU Nomor 12 Tahun 2011) yang berlaku dan memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja dengan durasi waktu 2 tahun sejak putusan MK tersebut. Direktur Pelaksana LPBH-FAS Pelikson Silitonga menegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah memiliki tugas untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, akan tetapi tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan Yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011. Menurutnya, sikap DPR dan pemerintah yang telah melakukan perubahan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan yang memasukkan metode Omnibus sebagai metode pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah melaksanakan putusan MK. "DPR dan Pernerintah harus segera melakukan revisi atau perbaikan terhadap substansi UU Cipta Kerja yang diajukan dalam gugatan JR (Judicial Review) dan juga substansi yang tidak melindungi tenaga kerja atau buruh," kata Pelikson dalam acara Catatan Akhir Tahun "Nasib UU Nomor 11 Tahun 202 Tentang Cipta Kerja dengan Berlakunya UU nomor 13 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di Hotel Balairum Jakarta Timur, Rabu (28/12). Pelikson menambahkan bahwa Perubahan terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tanpa disertai dengan revisi terhadap substansi Undang-Undang Cipta Kerja maka sebenarnya tidak ada upaya perbaikan perlindungan terhadap nasib buruh dalam kebijakan pemerintah. "Dalam kondisi Yang tidak ada kepastian proses revisi terhadap substansi UU Cipta Kerja Oleh DPR dan Pemerintah. Untuk itu kami mendorong DPR dan Pernerintah segera mengagendakan pembahasan Revisi terhadap substansi Undang-undang Cipta Kerja. Ada dukungan dari berbagai organisasi buruh dan masyarakat sipil untuk mendesak DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja," pungkasnya. Berikut Catatan Akhir Tahun Serikat Pekerja/Serikat Buruh Soal UU Cipta Kerja Federasi Gabungan Serikat Buruh Mandiri (FGSBM) Buruh berkewajiban untuk merespon UU Cipta Kerja yang berdampat buruk bagi buruh, dimana pengesahan Undang-Undang tersebut disahkan bersamaan Indonesia dilanda Pandemi Covid 19. Upaya yang dilakukan oleh pekerja atau buruh adalah melakukan aksi diberbagai tempat dengan tuntutan menolak UU Nomor 11 tahun 2020 adalah mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum dari UU Cipta Kerja dan turunannya dapat mempermudah pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, maraknya hubungan kerja dengan system kemitraan, mengebiri peran serikat pekerja atau serikat buruh dan penentuan upah minimum tidak lagi didasarkan pada kebutuhan hidup layak atau KHL sehingga tidak ada lagi survei pasar namun ditentukan oleh BPS atau Badan Pusat Statistik UU Cipta Kerja memperluas lapangan kerja namun dalam prakteknya tidak adanya jaminan untuk tetap bekerja karena pengusaha dipermudah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja Aliansi Persatuan Rakyat (Perak) Aliansi Persatuan Rakyat (Perak) menilai UU Cipta Kerja dimana latar belakangnya adalah untuk menciptakan lapangan kerja namun melakukan degradasi untuk pekerja atau buruh yang berdampak pada maraknya sistem outsourcing, kontrak dan magang, masalah pengupahan dan maraknya angka pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) oleh pengusaha dimana perundingan PKB terganjal serta serikat buruh yang lemah untuk memberlakukan UU Cipta Kerja itu. Gerakan Buruh Jakarta (GBJ) Gerakan Buruh Jakarta (GBJ) memandang Undang-Undang Cipta Kerja digadang-gadang pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja namun dalam prakteknya menjadi ancaman bagi buruh dan rakayat Indonesia karena, melanggengkan kontrak, outsoursing, hilangnya pesangon, upah murah dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran. GBJ juga telah melakukan aksi unjuk rasa menyampaikan penolakan atas UU Cipta Kerja karena UU tersebut. Namun, kekuatan perlawanan buruh belum sampai pada puncaknya. Untuk itu bukan revisi namun perjuangan adalah mencabut UU Cipta Kerja. GBJ menyuarakan untuk menyatukan kekuatan bersama untuk mencabut UU Cipta Kerja. Migran Care Undang-Undang Cipta Kerja mencabut beberapa pasal tentang UU PMI antara lain tentang tata cara mempergunakan tenaga kerja asing, persyaratan diperberat untuk mendirikan perusahaan. UU Cipta Kerja malah mengembalikan syarat-syarat mendirikan perusahaan dipermudah, akhirnya melakukan JR dan dikabulkan. Migran Care merupakan salah satu masyarakat sipil yang mengajukan JR karena UU Nomor 11 tahun 2020 bertentangan dengan UU 18 tahun 2017 tentang PMI atau Perlindungan Pekerja Migran. Geganas Undang-Undang Cipta Kerja telah melakukan serangan kepada sendi-sendi kehidupan buruh, dimana pertarungannya adalah antara Pengusaha dengan serikat pekerja ata serikat buruh. Dampaknya adalah merontokkan hubungan kerja yang permanen, adanya sikap mendua sikap serikat pekerja atau serikat buruh yang mendua dengan terbitnya Permenaker Nomor 18 tahun 2022, serikat buruh atau pekerja terseok-seok dalam perjuangan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pekerja atau buruh. Untuk itu, Geganas mendorong gerakan buruh untuk membuat jaringan yang berkomitmen untuk pengawalan dalam pembentukan peraturan perundang undangan. Yayasan Forum Adil Sejahtera Sistem Hukum yang berlaku dimana Putusan MK tanggal 25 Nopember 2021 yang menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. DPR dan Pemerintah akan melakukan perubahan selama 2 tahun. Diantaranya, menyusun kembali UU Cipta Kerja dengan berpedoman pada UU Nomor 12 tahun 2011 dimana tidak ada metode Omnibus Law dan membuka seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpatisipasi dalam pembahasan perubahan atau revisi UU Cipta Kerja. Jika tidak dilakukan perubahan selama 2 tahun, maka UU Cipta Kerja berlaku inskonstitusional permanen sehingga Kembali kepada UU yang lama yang sebelumnya telah dirubah, dicabut ataupun pengaturan baru dalam UU Cipta Kerja. Tentang turunan RPP atas UU Cipta kerja. Pemerintah tidak taat atas Putusan MK yang menyatakan menagguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. Putusan MK seharusnya menyatkaan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. UU Cipta Kerja tidak diperbaiki berdasarkan Prolegnas atau tidak diagendakan dalam Prolegnas. Pemerintah dan DPR tidak akan melakukan revisi kepada UU Cipta Kerja dengan asumsi karena berlakunya UU Nomor 13 tahun 2022. Berdasarkan cacatan tersebut Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan tegas bersikap agar pemerintah dan DPR mencabut Undang-Undang Cipta Kerja Beserta Turunannya [video width="848" height="480" mp4="https://monitorindonesia.com/2022/12/VID-20221228-WA0029.mp4"][/video]