Tabungan Kok Wajib!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 1 Juni 2024 17:12 WIB
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Foto: MI/Aswan)
Kantor BP Tapera di Jl. Falatehan, Melawai Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Dalam Pasal 7 Udang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dijelaskan bahwa “setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta”. Sementara Peraturan Pemerintah (PP) Tapera memerinci bahwa yang dimaksud pekerja termasuk karyawan swasta.

Artinya, siapa pun yang berpenghasilan sebesar atau lebih dari upah minimum wajib mendaftar Tapera. Mau tidak mau, suka tidak suka. Dan menurut PP 25/2020, semua pekerja harus didaftarkan paling lambat tujuh tahun sejak peraturan berlaku. 

Berarti, terhitung pada 2027 nanti, semua pekerja akan kena potongan gaji 3 persen. Tak pandang bulu.

Undang-Undang Tapera sejatinya sudah berlaku sejak 2016. Lalu, besaran iuran peserta ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020. 

Namun, isu Tapera baru kembali hangat setelah Presiden Joko Widodo meneken PP Nomor 21 Tahun 2024 yang sedikit merevisi aturan sebelumnya.

Adapun besaran Tapera sejumlah 3 persen dari gaji. Pemberi kerja menanggung 0,5 persen dan sisanya ditanggung pekerja. Sementara kepesertaan Tapera berlaku hingga pensiun atau berusia 58 tahun bagi pekerja mandiri.

Kebijakan dinilai tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau selama pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru.

Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 itu mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tapera. Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji.

Itulah sebabnya, menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan sebab niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.

Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027.

Sementara Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengklaim Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Mantan Menkopolhukam Mahfud MD juga ikut berkomentar soal ini. Menurut Mahfud, pemerintah perlu betul-betul mempertimbangkan suara publik terkait Tapera.

"Kalau tidak ada jaminan akan mendapat rumah dari pemerintah bagi penabung, maka hitungan matematisnya memang tidak masuk akal," kata Mahfud MD.

Dipaksakan
Kesan Tapera dipaksan pun diutarakan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Bukan saja sewenang-wenang, kata dia, PP Tapera ini, dan dasar hukum yang digunakan, yaitu UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat "secara transparan melanggar konstitusi, sehingga bukan saja wajib ditolak, tetapi wajib batal demi hukum.

"Dasar hukum UU Tapera mau meniru UU tentang Jaminan Sosial (Ketenagakerjaan) yang bersifat memaksa," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (1/6/2024).

Dalam UU Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, setiap pekerja wajib mengikuti program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dengan iuran (premi) sebagian ditanggung perusahaan (Pemberi Kerja) dan sebagian ditanggung Pekerja.

Tetapi, program Tabungan Perumahan Rakyat tidak bisa disamakan dengan program Jaminan Sosial. Pemerintah tidak bisa memaksa Pekerja untuk menabung, dengan alasan apapun, termasuk untuk perumahan rakyat, karena melanggar konstitusi. 

Sedangkan program Jaminan Sosial merupakan perintah konstitusi, Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) tentang Kesejahteraan Sosial berbunyi:

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, dan
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, sesuai perintah konstitusi, terbitlah undang-undang UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang sebagian sudah diubah dengan UU Cipta Kerja yang juga bermasalah Konstitusi.

Sesuai perintah konstitusi Pasal 34 ayat (1), maka iuran Jaminan Sosial bagi masyarakat tidak mampu ditanggung pemerintah.

Sebaliknya, dasar hukum UU Tapera bertentangan dengan Konstitusi. Pertimbangan hukum UU Tapera merujuk Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H, dan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

"Seolah-olah, pembentukan UU Tapera ini sudah memenuhi perintah konstitusi. Tetapi, faktanya, tidak ada pasal-pasal konstitusi tersebut yang memberi wewenang kepada pemerintah dan DPR untuk membentuk UU yang mewajibkan masyarakat untuk menabung".

Pasal 20 dan Pasal 21 UUD hanya menyatakan wewenang DPR dalam membuat undang-undang.

Pasal 28 terkait Hak Asasi Manusia. "Sekali lagi hak. Bukan kewajiban," tegas Anthony.

Pasal 28C ayat (1) menyatakan "setiap orang mempunyai hak mengembangkan diri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, mendapat pendidikan, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan. Sedangkan Pasal 28H menyatakan setiap orang mempunyai hak antara lain untuk hidup sejahtera, mempunyai tempat tinggal, …, memperoleh pelayanan kesehatan, memperoleh kesempatan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan, mendapat Jaminan Sosial, dan perlindungan hak pribadi".

Pasal 28H menyatakan secara tegas bahwa mempunyai tempat tinggal adalah hak, bukan kewajiban, apalagi kewajiban untuk menabung.

Untuk memenuhi hak masyarakat ini, pemerintah berkewajiban menyediakan tempat tinggal bagi rakyatnya. Kalau tidak bisa, berarti pemerintah gagal dan tidak mampu. 

"Maka, pilihan terbaiknya adalah mundur. Bukan malah mewajibkan masyarakat untuk menabung, yang melanggar hak asasi manusia," tekannya.

Sedangkan Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) adalah tentang sistem Jaminan Sosial yang sudah melahirkan dua UU tentang sistem Jaminan Sosial seperti disebut di atas. 

Sekali lagi, perlu dipertegas, Pasal 34 UUD adalah perintah pengembangan sistem Jaminan Sosial, bukan untuk mewajibkan masyarakat untuk menabung.

Jadi, menurut Antony, tidak ada satu pasal di dalam konstitusi yang menyatakan pemerintah bisa mewajibkan masyarakat untuk menabung. Di samping itu, pemaksaan menabung melanggar konstitusi Pasal 28 tentang Hak Asasi Manusia.

"Oleh karena itu, UU Tapera wajib batal karena menyimpang dari UUD, artinya tidak ada dasar hukumnya berdasarkan UUD, bahkan melanggar konstitusi Hak Asasi Manusia, yang pada prinsipnya, masyarakat mempunyai hak bebas memilih untuk menabung atau konsumsi, tidak bisa dipaksa," katanya.

Pemerintah kehabisan sumber pembiayaan utang?
Anthony heran, kenapa pemerintah terus nekat membuat UU bermasalah dan melanggar konstitusi? Apakah demi pengembangan dan pembiayaan proyek perumahan swasta yang baru-baru ini mendapat status Proyek Strategis Nasional (PSN)? 

"Nampaknya, UU yang dibuat pemerintah selalu diwarnai dengan motif rente ekonomi terselubung yang merugikan masyarakat umum," ungkapnya.

Padahal, BPJS ketenagakerjaan sudah dapat membiayai program kepemilikan rumah bagi peserta BPJS ketenagakerjaan. Jadi, untuk apalagi Tapera yang pesertanya sama dengan BPJS Ketenagakerjaan?

Atau, pemerintah sudah kehabisan sumber pembiayaan utang untuk membiayai defisit APBN yang terus membengkak? "Apakah karena sebagian besar uang haji dan uang BPJS Ketenagakerjaan sudah menipis digunakan untuk membeli surat utang negara, dan sekarang perlu Tapera, yang diplesetkan menjadi TAbungan atas PEnderitaan RAkyat?," tanyanya.

Oleh karena itu, Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang Tabungan Perumahan Rakyat wajib batal karena sewenang-wenang dan melanggar konstitusi.

"Kalau saja DPR berdaulat, mungkin Presiden Jokowi sudah berkali-kali kena impeachment, karena (terindikasi kuat) berkali-kali melanggar konstitusi. Seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU IKN".

"Atau upaya-upaya lain seperti Perpres Iuran Pariwisata, atau wacana pemberian subsidi untuk kereta cepat yang sebagian dimiliki asing," imbuhnya.

Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah!
Pengamat perumahan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, menyebut program Tapera sesungguhnya tidak masuk akal untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau.

Pertama, merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% maka mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran. Kalaupun ada, kata Jehansyah, lokasi rumahnya "tidak terjangkau" alias jauh dari kota.

"Secara rasional enggak logis dengan nilai potongan kecil, bisa memiliki rumah. Rumah KPR subsidi yang harga rumahnya Rp180 juta hanya bisa di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter".

"Di Ciseeng [Bogor] saja enggak dapat harga segitu. Jadi saya rasa lokasi rumah Tapera ini bakal makin jauh. Di Tangerang, bisa-bisa ke Serang atau Cilegon nanti, kan itu bukan solusi untuk rumah terjangkau," ungkapnya.

Kedua, karena pemerintah hanya mengumbar skema pembiayaan rumah tanpa melakukan intervensi apapun atas penguasaan tanah, harga, dan pengembangan kawasan baru.

Di banyak negara, ungkapnya, langkah pertama yang dilakukan pemerintah untuk membuat hunian terjangkau bagi warga harus menciptakan produksinya terlebih dahulu. Caranya bisa dengan membeli tanah-tanah terlantar dengan harga murah, kemudian menyusun tata ruang, termasuk huniannya.

Jika sudah punya rancangan, langkah selanjutnya memperkuat pengembang publik seperti Perumnas di tiap-tiap daerah. Baru terakhir memikirkan pembiayaan yang tepat.

"Jangan jadi tukang kutip uang aja pemerintah. Bicara perumahan, pinggirkan dulu kutip mengutip uang, housing dulu baru finance," jelasnya.

Contoh di Soreang [Bandung], ada lahan 300 hektare tapi tidak ada satu pun proyek [hunian] pemerintah. Semua dikerjakan pengembang swasta, padahal jalan tolnya dibangun pemerintah.

"Selain itu harus jelas juga Tapera ini punya pengalaman tidak dari sisi pembangunan rumah dan pengembangan kawasan atau kota baru. Ini kan nol besar semua, tiba-tiba bicara tabungan," ungkapnya.

Ketiga, tambah dia, kalaupun pemerintah berniat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog di Jakarta, jalan keluar yang seharusnya dilakukan adalah membangun hunian terjangkau berupa hunian transit oriented development (TOD) seperti apartemen sewa murah yang dekat dengan transportasi publik.

Namun, kata Jehansyah, hunian TOD di kota besar seperti Jakarta mayoritas dikuasai oleh pengembang swasta, bukan pemerintah. Untuk kota metropolitan, mengatasi backlog dan permukiman kumuh di tengah kurangnya ruang terbuka hijau harus membangun rusunawa rasa apartemen minimal kayak Rusunawa Jatinegara Barat, itu harus diperbanyak.

"Ini kan enggak ada hunian TOD yang sewa murah," katanya.

Kutip uang rakyat atas nama 'gotong royong?
Menurut Jehansyah, pembiayaan Tapera yang mengutip uang dari masyarakat atas nama 'gotong royong' bisa disebut sebagai penipuan. Sebab bagaimanapun, katanya, kewajiban menyediakan rumah bagi warga menjadi tanggung jawab pemerintah bukan rakyat.

Kewajiban itu, sambung Jehansyah, tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 -di mana bumi dapat diartikan tanah yang sedianya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dia mencontohkan Singapura yang berhasil menyediakan perumahan untuk pekerjanya karena 80% proyek hunian di sana dikuasai oleh pemerintah setempat.

"Jadi enggak ada itu istilah gotong royong, karena kita sudah melakukan itu dengan membayar pajak.Kalau mengutip lagi, penipuan namanya. BPJS saja bisa kok membuat program rusunawa pekerja, tidak dikorup dan jauh lebih bagus," tandasnya.

Buruh minta revisi UU Tapera
Presiden Partai Buruh yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan pihaknya akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta.

Dalam aksinya itu, Iqbal menyatakan bahwa pihaknya akan mendesak pemerintah untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 24 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera).

Setidaknya, ada 6 alasan mengapa pihaknya menolak Tapera dan menuntut pemerintah serta DPR RI segera melakukan revisi atas UU Tapera.

1. Ketidakpastian Memiliki Rumah
Dengan potongan iuran sebesar 3% dari upah buruh, dalam sepuluh hingga dua puluh tahun kepesertaannya, buruh tidak akan bisa membeli rumah. Bahkan hanya untuk uang muka saja tidak akan mencukupi.

2. Pemerintah Lepas Tanggung Jawab
Dalam PP Tapera, tidak ada satu klausul pun yang menjelaskan bahwa pemerintah ikut mengiur dalam penyediaan rumah untuk buruh dan peserta Tapera lainnya. Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera.

Dengan demikian, Pemerintah lepas dari tanggungjawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, disamping sandang dan pangan.

3. Membebani biaya hidup buruh
Di tengah daya beli buruh yang turun 30% persen dan upah minimum yang sangat rendah akibat UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar 2,5 % yang harus dibayar buruh akan menambah beban dalam membiayai kebutuhan hidup sehari-hari. 

Potongan yang dikenakan kepada buruh hampir mendekati 12% dari upah yang diterima, antara lain Pajak Penghasilan 5%, iuran Jaminan Kesehatan 1%, iuran Jaminan Pensiun 1%, iuran Jaminan Hari Tua 2%, dan rencana iuran Tapera sebesar 2,5%.

Belum lagi jika buruh memiliki hutang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin semakin membebani biaya hidup buruh.

4. Rawan dikorupsi
Dalam sistem anggaran Tapera, terdapat kerancuan yang berpotensi besar untuk disalahgunakan. Karena di dunia ini hanya ada sistem jaminan sosial (social security) atau bantuan sosial (social assistance). 

Jika jaminan sosial, maka dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah.

Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah. Model Tapera bukanlah keduanya, karena dananya dari iuran masyarakat dan pemerintah tidak mengiur, tetapi penyelenggaranya adalah pemerintah.

5. Tabungan yang memaksa
Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antar peserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan.

Subsidi antar peserta hanya diperbolehkan bila program tersebut adalah jaminan sosial yang bersifat asuransi sosial, bukan tabungan sosial. Misalnya program jaminan kesehatan yang bersifat asuransi sosial, maka diperbolehkan penggunaan dana subsidi silang antar peserta BPJS Kesehatan.

6. Ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana Tapera
Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.

Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.

“Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM),” tegasnya.

Tidak hanya itu saja, Iqbal juga menyebut bahwa aksi pada hari Kamis nanti, Partai Buruh dan KSPI dalam waktu dekat akan mengajukan judicial review UU Tapera ke Mahkamah Konstitusi dan judicial review PP Tapera ke Mahkamah Agung.

Apa kata pemerintah?
Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menjelaskan program iuran Tapera ditujukan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah, klaimnya, sangat terbatas. Oleh karena itu, implementasi Tapera dinilai menjad salah satu jalan yang mampu mengatasi persoalan tersebut.

"Pertumbuhan demand (permintaan) tiap tahun 700.000 sampai 800.000 keluarga baru yang tidak punya rumah. Jadi kalau mengandalkan pemerintah saja tak akan terkejar backlog-nya," kata Budi dalam konferensi pers di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Jumat (31/05).

"Makanya perlu ada grand design yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah, bareng. Konsepnya bukan iuran, [tetapi] menabung," sambungnya.

Dia menambahkan pekerja yang sudah punya rumah maka sebagian tabungannya digunakan untuk mensubsidi KPR yang belum memiliki rumah. Itu dilakukan agar bunga kreditnya tetap lebih rendah dari KPR komersial yang saat ini mencapai 5%. "Jadi kenapa harus ikut menabung? Ya prinsipnya gotong royong di UU-nya itu [UU nomor 4 tahun 2016]."

BP Tapera menyatakan tidak semua pekerja di Indonesia wajib menjadi peserta Tapera. Budi Pudyo Nugroho mengatakan, dalam UU nomor 4 tahun 2016 dijelaskan hanya pekerja dengan gaji di atas upah minimum saja yang masuk menjadi peserta.

Dengan menjadi peserta Tapera, pekerja mandiri akan dikenakan iuran wajib sebesar 3% dari gajinya setiap bulan dan 2,5% bagi pekerja swasta, ASN, TNI/Polri, BUMN. Adapun bagi pekerja yang gajinya di bawah upah minimum, tidak wajib.

Merujuk pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat disebutkan manfaat dana Tapera bisa digunakan untuk pembiayaan:

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan tenor hingga 30 tahun, suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan uang muka 0%.
Kredit Bangun Rumah (KBR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap sampai lunas, dan jangka waktu maksimal 15 tahun.
Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan suku bunga 5%, cicilan tetap, dan jangka waktu 5 tahun.

Akan tetapi, manfaat dari Tapera hanya bisa dirasakan oleh Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR); Belum memiliki rumah; dan/atau Menggunakannya untuk pembiayaan pemilikan rumah pertama, pembangunan rumah pertama, atau perbaikan rumah pertama; Mempunyai masa kepesertaan paling singkat 12 bulan.

Dalam aturan juga tertulis MBR adalah mereka yang bergaji maksimum Rp8 juta per bulan dan Rp10 juta per bulan khusus wilayah Papua dan Papua Barat.

Adapun bagi pekerja non-MBR dan tetap menjadi peserta namun tidak mendapatkan fasilitas KPR, KBR, dan KRR berhak atas pengembalian pokok tabungan beserta hasil pemupukannya. (wan)