Dipaksa Nabung di Tapera, PEPS: Jokowi Masih Mau Tambah Beban Rakyat!

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 7 Juni 2024 18:59 WIB
Ekonom Anthony Budiawan (Foto: Istimewa)
Ekonom Anthony Budiawan (Foto: Istimewa)

Jakarta, MI - Pemotongan gaji untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih jadi polemik panas di masyarakat. Pemotongan gaji untuk Tapera sebesar 2,5 persen dari karyawan dan 0,5 persen dari pemberi kerja ini dirasa berat oleh segelintir orang. Adapun pemotongan gaji untuk Tapera ini diperuntukan pada pegawai. 

Kendati, Ketua Komite BP Tapera, Basuki Hadimuljono mengaku telah melakukan pembicaraan dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati untuk dapat menunda implementasi Tapera. “Apalagi kalau [ada usulan], misalnya DPR, Ketua MPR, itu diundur. Menurut saya, saya sudah kontak dengan Bu Menteri, kita akan ikut,” kata Basuki saat ditemui di Kompleks DPR RI, Kamis (6/6/2024).

Basuki menjelaskan, sejak FLPP diguyurkan pada 2010 total APBN yang telah dikucurkan mencapai Rp105 triliun. “Jadi apa yang sudah kami lakukan dengan FLPP subsidi bunga itu sudah Rp105 triliun,” ujarnya.

Di sisi lain, Basuki juga mengaku menyesali kemarahan yang terjadi atas rencana pelaksanaan program Tapera. “Dengan kemarahan ini [terhadap program Tapera] saya pikir saya menyesal betul,” kata Basuki.

Pernyataan Basuki yang juga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu, menunjukan rezim saat ini mempunyai daya rusak yang sangat mengerikan. Bahkan, tidak segan-segan melanggar hukum dan konstitusi.

Mereka membuat peraturan seenaknya. Mereka hanya memikirkan kepentingannya, meskipun harus melanggar hukum. Mereka tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat banyak, kata Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan.

Pun, Anthony menilai di ujung kekuasaannya Jokowi masih mau menambah beban rakyat, menambah derita rakyat. "Dengan cara memaksa rakyat menabung untuk perumahan rakyat, namanya Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (7/6/2024).

Pemaksaan terhadap rakyat, dengan alasan apapun, menurut ekonom ini, melanggar konstitusi, melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), melanggar hak kebebasan (freedom) manusia yang dijamin konstitusi. 

"Melanggar hak konstitusional rakyat untuk bisa menentukan pilihan atas kebutuhannya sendiri,” tegasnya.

Menabung adalah pilihan. Lanjut Anthony, pilihan untuk konsumsi hari ini atau konsumsi di masa depan alias menabung. “Pilihan tersebut merupakan hak manusia, hak rakyat. Tidak ada pihak lain, termasuk pemerintah, yang boleh merampas hak tersebut, dengan alasan apapun,” bebernya.

Tetapi hak konstitusional rakyat tersebut mau dirampas oleh rezim ini, melalui peraturan Tapera, yang melanggar HAM, melanggar konstitusi.

Maka kata Anthony, tentu saja rakyat melawan. Rakyat protes keras. Pemerintah akhirnya menunda peraturan tentang Tapera yang bermasalah ini.

"Tetapi, menunda saja tidak  cukup. Pemerintah wajib membatalkan peraturan tentang Tapera yang secara nyata melanggar konstitusi," tandasnya.

Masalah Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi sorotan setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Kebijakan ini dianggap memberatkan pekerja karena mereka diwajibkan untuk menjadi peserta.

Iuran kepesertaannya cukup tinggi karena dihitung sebagai persentase dari gaji atau upah. Bagi pekerja dengan pendapatan di atas UMR, setiap bulan gaji mereka akan dipotong sebesar 2,5%. 

Di tengah kondisi ekonomi yang lemah dan daya beli masyarakat yang menurun, potongan ini tentu sangat memberatkan. Tidak heran jika ada penolakan dari dunia usaha hingga asosiasi driver ojek online.

Topik:

PEPS Tapera Jokowi