Prihatin dengan Ancaman Hukuman Terhadap Richard Sebagai Justice Collaborator, Akademisi Indonesia "Turun Gunung”

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 5 Februari 2023 22:10 WIB
Jakarta, MI - Prihatin dengan ancaman hukuman terhadap Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E sebagai Justice Collaborator (JC), akademisi Indonesia yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Indonesia akan mengirimkan amicus curiae (sahabat pengadilan) untuk Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyidangkan perkara atas nama terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) dengan Nomor Register Perkara 798/Pid.B/2022/PN JKT.Sel. "Kami memandang bahwa majelis hakim perlu mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penjatuhan pidana untuk Bharada E yang berstatus sebagai Saksi Pelaku yang Bekerja Sama atau JC," tulis Aliansi Akademisi Indonesia, Minggu (5/2). Aliansi Akademisi Indonesia ini akan menyerahkan amicus curiae di PN Jakarta Selatan akan dilakukan pada, Senin, 6 Februari 2023 besok, sekitar pukul 10.00 WIB, di PN Jakarta Selatan. Sebagaimana diketahui, mengenai tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Richard Eliezer mengundang perdebatan panjang. Ini berangkat dari pernyataan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyebut Richard tak bisa menjadi justice collaborator atau pelaku kejahatan yang bekerjasama dengan penegak hukum. Kejagung beralasan bahwa Richard tak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator karena notabene sebagai pelaku utama pembunuhan berencana. Pernyataan tersebut pun dibantah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Bahkan, LPSK mendesak Kejagung harus membaca kembali Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di sisi lain, Kejagung dinilai memakai kacamata kuda, yang artinya menyampaikan pernyataan tanpa melihat secara seksama terhadap UU Perlindungan Saksi dan Korban. Kejagung menegaskan bahwa Richard tidak bisa menjadi justice collaborator karena statusnya sebagai pelaku utama pembunuhan berencana. "Untuk pelaku, tidak bisa JC (justice collaborator) pelaku utama. Ini saya luruskan ini. Di undang-undang tidak bisa," kata Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejagung Fadil Zumhana dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023). Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana menyebut Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak mengatur justice collaborator terhadap kasus pembunuhan berencana. Ketut menjelaskan, bidang tindak pidana tertentu yang diatur terkait justice collaborator mencakup, tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasi. "Beliau (Bharada E) adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan JC. Itu juga sudah sesuai dengan Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," ucap Ketut.