KPK dan Kejaksaan Didesak Usut Dugaan Korupsi Penjualan Solar ke Perusahaan Filipina

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 4 Desember 2023 17:13 WIB
PT Pertamina (Persero) (Foto: MI/Aswan)
PT Pertamina (Persero) (Foto: MI/Aswan)

Jakarta, MI - Sejak resmi lahir dan beroperasi di Singapura, pada Agustus 2019, Pertamina International Marketing & Distribution Pte Ltd (PIMD) sebagai salah satu anak perusahaan PT Pertamina Patra Niaga, Sub Holding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), diberi mandat dalam menjalankan bisnis kargo dan bunker trading di kawasan Asia Pasifik, serta menjadi ujung tombak perusahaan dalam melakukan ekspansi bisnis hilir ke wilayah regional dan internasional.  

Salah satu perusahaan milik negara Filipina yakni Phoenix Petroleum Philippines Inc diketahui telah menandatangani kemitraan strategis dengan PT Pertamina untuk perdagangan bahan bakar minyak yang akan disalurkan melalui anak perusahaan yang berbasis di Singapura. 

Perusahaan yang terdaftar di Filipina tersebut mengungkapkan kepada Philippine Stock Exchange (PSE) bahwa dewan direksi “menyetujui dan memberi wewenang kepada perusahaan untuk menjalin kemitraan strategis dengan Pertamina International Marketing and Distribution Pte. Ltd.” Kerja sama bisnis mencakup pasokan dan aktivitas perdagangan lainnya di Indonesia dan Filipina.

Namun demikian, kerja sama atau bisnis ini tak lupa disoroti oleh Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean. Ferdinand mengungkapkan, bahwa PIMD itu telah melakukan transaksi dengan jual beli dengan sebuah perusahaan Phoenix Petroleum Philippines Inc yang nilainya tidak tanggung-tanggung 124 juta US dolar atau setara dengan Rp 1.918.416.400.000. Nilai yang sangat besar.

Ferdinand menduga penjualan solar itu tidak ada jaminan yang clear dan jelas terhadap PT Pertamina, tetapi PT Pertamina terus memberikan solar meskipun belum dibayar.

"Diberikan lagi, diberikan lagi, kepada perusahaan tersebut. Sampai sekarang totalnya 133,77.000.000 dolar US atau 2 triliun rupiah lebih. Kalau tidak ditindaklanjuti, tidak tertagih, akan menjadi merugikan keuangan negara," ujar Ferdinand dalam tayangan video YouTube-nya @Ferdinand_Hutahaean seperti dikutip Monitorindonesia.com, Senin (4/12).

Seharusnya, tegas dia, pejabat-pejabat yang mendistribusikan dan menjual bahan bakar ini tanpa ada jaminan liquid dari para pembeli bisa dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi. Yakni memperkaya orang lain. "Apakah mereka memperkaya orang lain itu, menerima fee atau suap gratifikasi kita tidak tahu. Maka harus diusut, supaya supaya terbukti," jelasnya.

Menelusuri transaksi keuangan itu, bagi Ferdinand sebenarnya tidaklah sulit, sebab ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"PPATK bisa saja menindaklanjuti itu dengan melihat transaksi keuangan para pejabat yang duduk dalam membuat kewenangan itu yang membuat kebijakan itu. Siapa-siapa saja kan bisa dilihat bagaimana transaksi keuangan mereka dari mana diterima, dari mana didapat. Ya itu tinggal dilihat," lanjut Ferdinand.

Karena, tambah dia, memang nilai ini menjadi kerugiian yang sangat besar bagi negara sekitar Rp 2 triliun lebih, tidak tertagih. Sementara audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan bahwa potensi kerugian ini akan hilang dan tidak tertagih. "Karena perusahaan pembeli disana itu memang kondisi keuangannya sudah tidak baik dan ini bukan kejadian yang pertama," ungkapnya.

Bukan tanpa alasan menyatakan demikian, sebab sebelumnya juga dengan perusahaan di Indonesia melakukan pola yang sama. "Memberikan solar terus dari PT Pertamina Parta Niaga, dijual, dijual, tidak terbayar. Belum dibayar, diberikan lagi solar dan sayangnya memang waktu itu pelakunya pengusaha bernama Samin Tan akhirnya dinyatakan bebas oleh Pengadilan setelah melalui proses yang panjang," beber Ferdinand.

"Tapi sekarang ya begitu nasibnya, itu nilainya Rp 500 miliar lebih, tetapi yang mau kita lihat disitu adalah kebijakan yang dilakukan itu dengan memberikan solar kepada pengusaha tanpa jaminan, belum dibayar, ada permintaan baru diberikan lagi," kata Ferdinand lebih lanjut.

Hal ini tentunya membuat publik bertanya-tanya "Kok dia mau orang ini ngasih solar ke pengusaha yang tidak membayar dan tidak memberikan jaminan ada apa? "Dugaan kita, kebijakan seperti itu dilakukan mungkin karena ada permainan di belakang layar atau menerima suap, gratifikasi. Tapi apakah itu terjadi, kita tidak tahu baigamana. Maka supaya terbukti, KPK atau Kejaksaan harus melakukan penyelidikan," jelasnya.

Harus diusut, tegas dia, karena ini menyangkut uang negara, apalagi yang terjadi dengan Phoenix Petroleum Philippines Inc ini sekitar Rp2 triliun lebih.

"Ini uang sangat besar, peristiwanya 2019 sampai dengan 2021, ini laporan keuangannya jelas. Nah apakah potensi kerugian ini akan dibiarkan oleh KPK atau Kejaksaan begitu saja?" tanyanya.

Maka itu, harus didesak KPK dan Kejaksaan harus turun tangan karena tidak ada jaminan liquid yang nyata. "Apabila pembeli gagal bayar kita punya sesuatu yang untuk diambil, nah sekarang tidak ada. Artinya ada dugaan kelalaian pejabat dari sisi analisi resiko, nah ini mereka harus dipidana, KPK, Kejaksaan harus turun untuk ini," tutur Ferdniand.

"Jika ini dibiarkan, maka itu potensinya akan hilang. Sementara pihak PT Pertamina happy-happy saja dengan kondisi seperti ini. Ada apa dengan pejabatnya? Mengapa mereka happy? Apakah mereka menerima gratifikasi? KPK dan Kejaksaan lah harus turun untuk membuktikan itu," imbuh Ferdiand. (Wan)