BPOM Diduga Terlibat Kasus GGAPA, Epidemiolog UI Dorong Pertanggungjawaban Hukum

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 28 Desember 2023 15:35 WIB
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono (Foto: MI/Dok Pribadi)
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono (Foto: MI/Dok Pribadi)

Jakarta, MI -  Kasus Gagal Ginjal Akut Progresif Atipikal (GGAPA) pada anak mengalami lonjakan pada Agustus hingga Oktober 2022. Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.

Dalam perkembangannya, setidaknya per 5 Februari 2023, sudah terdapat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. 

Dari kasus tersebut, saat itu dilaporkan total 204 anak meninggal dunia. Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023.

Janji pemerintah memberikan santunan kepada 326 korban GGAPA itu pun terus ditagih. Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mendesak agar pemerintah segera merealisakan santunan semua korban kasus ini.

Menurutnya, hal ini lebih urjen mengingat hal ini menyangkut nyawa anak-anak kita dan kesehatan generasi penerus. Jika atas nama kemanusiaan seharusnya, tegas dia bisa dipercepat, tanpa harus menunggu proses birokrasi yang terlalu lama.

"Yang penting korban kasus gagal ginjal akut ini disantuni, itu yang lebih urgent," ujar Pandu Riono saat dihubungi Monitorindonesia,com, Kamis (28/12).

Di sisi lain, Bareskrim Polri telah meningkatkan kasus GGAPA yang diduga melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu ke tahap penyidikan. Peningkatan status dilakukan usai penyidik menemukan unsur pidana dalam kasus yang membuat ratusan anak meninggal dunia itu.

Pandu Riono menambahkan bahwa semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini harus dapat dimintai pertanggunganjawaban. Termasuk pihak BPOM itu sendiri dan juga produsem farmasi jika memang ada dugaan kesalahan prosedur pada obat sirup itu.

"Ya semua harus diminta dipertanggungjawaban hukum bila ada kesalahan prosedur," tegas Pandu Riono.

Pada beberap waktu lalu, Pandu menilai bahwa kasus gagal ginjal akut yang kembali terdeteksi itu menunjukkan bahwa masih terdapat oknum yang memproduksi obat sirup dengan kandungan EG, dan DEG melebihi ambang batas aman.  

Dia juga menduga bahwa oknum produsen tersebut memiliki modus kepentingan ekonomi, yaitu dengan mengakali bahan baku dengan harga murah.

"Harusnya menggunakan Propilen Glikol (PG). Supaya menekan harga, dia pakai EG/DEG yang lebih murah dan itu toksik, kalau bikin orang mati itu namanya kriminal," tegasnya.

Ratusan Keluarga Korban Belum Terima Santunan

Tim Advokasi untuk Kemanusiaan (TANDUK) mengungkap ratusan keluarga korban dan pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia belum juga menerima santunan yang dijanjikan pemerintah melalui Kementerian Sosial (Kemensos).

Perwakilan TANDUK Awan Puryadi menyebut hingga saat ini para keluarga masih menunggu tanggung jawab pemerintah. Keluarga korban menurutnya juga masih menunggu putusan terhadap gugatan class action yang saat ini sedang diajukan puluhan korban ke PN Jakarta Pusat.

"Hingga saat ini pemberian santunan terhadap korban GGAPA belum juga terealisasi, semua belum. Saat ini masih dalam proses pendataan dan ada sistem yang berjalan yang dirasakan para keluarga korban ini bermasalah," kata Awan di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (20/12).

Awan menyebut sistem baru itu merupakan bentuk pendataan dan verifikasi korban. Pemerintah dalam hal ini sudah menyepakati ada 326 korban yang akan mendapatkan santunan dengan total anggaran senilai Rp17,5 miliar.

Rinciannya, ahli waris 204 pasien meninggal diberi santunan masing-masing Rp50 juta rupiah. Lalu, 122 pasien yang menjalani pengobatan, masing-masing akan menerima Rp60 juta.

Namun menurutnya ada sistem verifikasi yang malah membebankan para keluarga korban. Bahkan menurutnya ada korban yang tidak tercantum dalam daftar penerima santunan pemerintah, sementara ada nama-nama baru yang Awan tidak ketahui.

"Jadi kita pesimis ya untuk santunan ini karena pendataan saja sudah bermasalah. Sebenarnya paling simple, karena pemerintah lagi digugat kan, kenapa tidak konfirmasi ke penggugat atau pengadilan untuk data korban GGAPA itu," ujar Awan.

Di sisi lain, gugatan class action yang berjalan di PN Jakarta Pusat sudah memasuki tahap pembuktian. Menurutnya proses gugatan itu akan rampung dalam 4 hingga 5 bulan ke depan.

Gugatan class action itu dilakukan berdasarkan pada penilaian bahwa seharusnya pemerintah bisa mencegah kondisi keracunan obat ini. Selain itu, Awan mengingatkan peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia.

TANDUK kemudian menuntut ganti rugi untuk para korban senilai sekitar Rp2.050.000.000 per korban meninggal, sedangkan yang dalam masih dalam pengobatan di angka Rp1.030.000.000.

BPOM Diduga Terlibat

Sementara itu, Bareskrim Polri telah meningkatkan kasus GGAPA yang diduga melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ke tahap penyidikan. Peningkatan status dilakukan usai penyidik menemukan unsur pidana dalam kasus yang membuat ratusan anak meninggal dunia itu.

"Sudah naik penyidikan, tapi belum ada penetapan tersangka," ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen Nunung Saifuddin, Rabu (20/12).

Nunung menjelaskan dugaan keterlibatan BPOM itu diketahui penyidik berdasarkan hasil pengembangan kasus GGAPA sebelumnya. Kendati demikian, ia masih enggan menjelaskan lebih jauh ihwal peran BPOM dalam kasus tersebut.

Nunung hanya menyebut kepolisian telah memeriksa sejumlah saksi dari pihak BPOM hingga perusahaan produsen obat sirop penyebab gagal ginjal. Ia juga memastikan penyidik bersikap profesional dan tidak akan diintervensi oleh siapapun. (An)