Apakah Lembaga Survei Dapat Dipidana Jika Hasil Surveinya Ternyata Salah?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Desember 2023 01:59 WIB
Ilustrasi - Survei (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi - Survei (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Lembaga Survei bertebaran hingga muncul berkali-kali jelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Namun ini juga membuat masyarakat bingung.  Masyarakat tak hanya bertanya-tanya tentang mekanisme pengambilan sampling, tetapi juga orang yang berada di balik lembaga survei.

Maka dari itu harus ada keterbukaan lembaga survei tersebut. Patut diduga, kebingungan masyarakat akibat perbedaan mencolok hasil survei. 

Pentingnya lembaga survei memberikan informasi secara jujur dan terbuka kepada publik ini menjadi perhatian praktisi hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria. Jangan ada yang ditutupi, kata dia, publik berhak tahu lembaga mana yang sebenarnya melakukan survei.

"Dengan adanya keterbukaan dari lembaga survei, diharapkan publik dapat mengambil keputusan yang lebih cerdas dan berdasarkan data yang valid dalam konteks perhelatan Pemilu 2024," kata Kurnia saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, Jum'at (29/12) dini hari.

Perlu digarisbawahi, bahwa dalam pelaksanaan Pemilu yang dituntut independen dalam melaksanakan tugas bukan saja penyelenggara Pemilu, tapi juga lembaga survei. Hal itu sudah ditegaskan dalam regulasi yang ada terkait Pemilu.

Dikutip Monitorindonesia.com, Jum'at (29/12), bahwa berdasarkan Pasal 25 Peraturan KPU No.23 Tahun 2013,  lembaga survei yang terbukti melanggar etik dijatuhi sanksi berupa peringatan atau larangan melakukan survei. Jika ditemukan pidana maka bisa berlanjut ke jalur pidana. Untuk memastikan ada tidaknya pelanggaran etika diputuskan lewat Dewan Etik.

Pasal 25 ayat (4) "Pelanggaran etika dalam pelaksanaan survei, jajak pendapat dan hitung cepat hasil Pemilu dapat berbentuk peringatan atau larangan melakukan survei Pemilu."

Selanjutnya, lembaga survei yang melakukan proses hitung cepat atau quick count harus menyampaikan informasi yang sebenarnya ke publik. Jika tidak, maka lembaga survei yang berbohong dapat dikenakan sanksi pidana.

Ini diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. "Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)," bunyi pasal 55.

Tak hanya lembaga survei, stasiun televisi/media yang juga telah berniat untuk menyampaikan informasi yang tidak benar juga dapat dikenakan sanksi pidana. 

Kenapa bisa demikian? Akibat informasi yang disiarkan tersebut dapat berpotensi menimbulkan kerusuhan antar kubu pendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Pentingnya Transparan 

Pentingnya transparansi dalam lembaga survei di Indonesia merujuk pada ketentuan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2022 yang mengatur partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024.

Dalam PKPU tersebut, KPU menegaskan bahwa lembaga survei wajib melaporkan sumber dana mereka. 

Pasal 17 PKPU mengatur syarat pendaftaran lembaga survei, termasuk pengajuan surat pernyataan yang mencantumkan metodologi, sumber dana, jumlah responden, tanggal, dan tempat pelaksanaan survei.

Dengan demikian, KPU seharusnya dapat melakukan audit terhadap lembaga survei, baik yang berskala lokal maupun nasional. (Wan)