Boleh Salah Tak Boleh Bohong! Praktisi: Ada Celah Membawa Lembaga Survei ke Ranah Hukum

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Desember 2023 13:33 WIB
Ilustrasi survei capres-cawapres (Foto: MI/Net/Ist)
Ilustrasi survei capres-cawapres (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Lembaga Survei boleh salah, tapi tak boleh bohong! Pasalnya, saat ini sering ditemukan praktik tidak transparan dari lembaga survei mengenai sumber pendanaan survei. Padahal, hal itu merupakan bagian dari transparansi dan mempengaruhi tingkat keterpercayaan publik. 

Saat ini sejumlah lembaga survei mulai sering merilis temuan survei berkaitan dengan elektabilitas partai politik serta calon presiden dan wakil presiden. Tidak hanya lembaga survei yang telah berpengalaman pada pemilu sebelumnya, juga ada beberapa lembaga survei baru yang muncul. 

Menurut praktisi hukum pidana, Fernando Emas, hal ini disebabkan tidak adanya aturan secara tegas dan jelas yang mengatur mengenai pelaksanaan survei terkait pemilihan presiden dan presiden atau pemilu legislatif. 

Menurutnya, dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum hanya diatur tentang pengumuman hasil survei tidak boleh dilakukan pada masa tenang. 

"Namun terkait dengan hasil yang berbeda dengan hasil pemilu tidak bisa dipidanakan karena hasil survei dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk situasi politik pada saat periode survei dilakukan," kata Fernando Emas kepada Monitorindonesia.com, Jum'at (29/12).

Seharusnya, tambah Fernando Emas, memang UU Pemilihan Umum perlu mengatur untuk lembaga survei yang melakukan kegiatan survei perlu melibatkan pengawas pemilu ataupun dibentuk tim pengawas sendiri untuk melakukan pengawasan. 

Sebaiknya DPR Gunakan Hak Interpelasi

Sehingga survei dilakukan memang betul-betul dilakukan dengan metode dan cara yang benar, bukan dipakai untuk menggiring opini masyarakat untuk memenangkan pihak tertentu.

"Namun masih ada celah untuk membawa lembaga survei ke ranah hukum kalau ternyata ada pelanggaran atas PKPU No.9 Tahun 2022 yang mengatur partisipasi masyarakat," jelas Fernando Emas yang juga Direktur Rumah Politik Indonesia (RPI). 

Masyarakat, tambah Fernando Emas, bisa melaporkan kepada lembaga survei yang melakukan kecurangan dalam melakukan survei atau merilis hasil survei yang diumumkan kepada KPU untuk dilakukan audit. 

Apabila KPU menemukan ada pelanggaran, tegas Fernando Emas, maka dapat melaporkan kepada polisi dengan pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik dan Pasal 28 ayat 1 Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

Tak hanya lembaga survei, kata dia, stasiun televisi atau media yang juga telah berniat untuk menyampaikan informasi yang tidak benar juga dapat dikenakan sanksi pidana. 

"Karena akibat informasi yang disiarkan tersebut dapat berpotensi menimbulkan kerusuhan antar kubu pendukung paslon pilpres," beber Fernando Emas.

Dengan demikian, tambah dia, pemerintah dan DPR perlu mengatur secara jelas dalam UU Pemilu terkait dengan lembaga survei wajib dilakukan pengawasan terkait seluruh proses pelaksanaan survei. (Wan)