Aksi Pungli Pegawai KPK Diduga Tak Cuma Sekali, Pakar: Residivis!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 29 Februari 2024 19:54 WIB
Tahanan KPK di Rutan KPK (Foto: Dok KPK)
Tahanan KPK di Rutan KPK (Foto: Dok KPK)

Jakarta, MI - Dalam skandal rumah tahanan negara (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada sebanyak 78 pegawai dijatuhi sanksi berat, hanya minta maaf secara terbuka. 

Kini Dewan Pengawas KPK telah mengadili para pegawai KPK yang diduga terlibat skandal tersebut. Selain 78 pegawai yang disanksi berat, hukuman terhadap 12 pegawai lain diserahkan ke Sekretariat Jenderal KPK untuk diselesaikan perkara selanjutnya.

Tindakan punli ini mengejutkan publik, pasalnya KPK telah lama dianggap sebagai benteng terakhir dalam memerangi korupsi di negara ini. Perilaku para ASN ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang integritas dan kejujuran para penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam memerangi kejahatan korupsi. 

Kejadian ini juga menyoroti eskalasi permasalahan korupsi yang masih merajalela di Indonesia, bahkan di dalam institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. 

Ketika ASN yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam memberantas kejahatan korupsi justru terlibat dalam praktik yang melanggar hukum, hal ini menunjukkan adanya kegagalan dalam pembinaan dan pengawasan internal di KPK.

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mempertanyakan kira-kira apakah aksi pungli yang mereka lakukan cuma berlangsung satu kali? Menurut Reza, patut diduga kuat, aksi pungli yang mereka lakukan di Rutan KPK lebih dari satu kali.

Apalagi praktik pungli di Rutan KPK ternyata sudah berlangsung sejak lama. Diduga, terjadi sejak tahun 2016 hingga 2023 atau selama 7 tahun.

"Berarti mereka sesungguhnya adalah residivis," kata Reza kepada wartawan, dikutip pada Kamis (29/2).

Reza berpandangan bahwa residivisme mereka bukan dihitung berdasarkan re-entry (berulang masuk lapas) atau re-punishment (berulang dijatuhi hukuman), melainkan berdasarkan perhitungan bahwa para staf KPK telah mengulang-ulang perbuatan pungli mereka. "Betapa pun baru satu kali ini aksi mereka terungkap lalu diproses etik," lanjutnya.

Dengan status sebagai residivis, lanjutnya, apakah cukup para staf itu menebus kesalahan mereka dengan permintaan maaf? Terlebih lagi, dia menilai permintaan maaf mereka bukan berdasarkan inisiatif pribadi per pribadi, melainkan dipaksa lembaga.

Bahwa seremoni permintaan maaf digelar tanpa memperlihatkan muka dan membuka identitas pelaku, juga mengindikasikan bahwa masing-masing orang tergerak meminta maaf lebih karena perasaan malu, bukan perasaan bersalah. "Ini terkesan teatrikal, ketimbang pertobatan substansial. Jadi, berapa kali permintaan maaf yang bisa dianggap setara dengan residivisme mereka?" ujarnya.

Dia menilai pada lembaga yang semestinya menempatkan standar etik dan standar moral pada posisi tertinggi dan mutlak, hukuman meminta maaf kosmetik oleh pegawai KPK tersebut sedemikian rupa jelas terlalu enteng.

Satu lagi, katanya, seandainya kepada para pelaku pungli itu dikenakan tes wawasan kebangsaan (TWK), akan seperti apa hasilnya? Atau mungkin memang tak perlu lagi mereka di-TWK.

"Bahwa mereka sudah menyimpang dari nilai-nilai integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, dan kepemimpinan, itu saja sudah menunjukkan betapa wawasan kebangsaan mereka sedemikian bobrok," ucap Reza

Reza juga mempertanyakan, pascaupacara permintaan maaf tersebut, 78 pegawai pelaku pungutan liar itu akan ditempatkan di mana?

"Ruang kerja yang mana yang masih layak diisi para pegawai itu? KPK bisa memastikan puluhan orang itu tidak akan mengulangi aksi pungli mereka?" demikian Reza Indragiri.

Berlangsung Sejak Lama

Dalam acara Tanya jubir 'Pungli di Rutan KPK?' Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyatakan bahwa praktik pungli di Rutan KPK ternyata sudah berlangsung sejak lama. 

"Dugaannya memang sudah terjadi di 2016, 2017. Tapi, kan, belum terstruktur," kata Ali.

Pungli mulai terstruktur sejak tahun 2018. Kala itu, ada seorang pegawai dari Kemenkumham bernama Hengki yang diperbantukan bekerja di Rutan KPK. 

Diduga, Hengki yang memperkenalkan sistem 'Korting' dan 'Lurah' untuk mempermudah distribusi uang pungli. 'Korting' adalah tahanan yang menjadi koordinator pengepul uang dari tahanan lain.

Sementara 'Lurah' merupakan pegawai Rutan KPK yang menerima uang dari 'Korting'. Uang tersebut kemudian dibagikan 'Lurah' ke pegawai rutan lainnya.

"Kemarin Dewas mengatakan ada inisial H yang kemudian masuk dari Kementerian Hukum dan HAM, dan masuk kemudian menjadi pegawai Rutan Cabang KPK, di tahun 2018 itu terstruktur," ungkap Ali.

Diketahui, bahwa aebanyak 90 pegawai sudah disidang oleh Dewas KPK dan dinyatakan terbukti melanggar etik.

78 pegawai disanksi minta maaf secara langsung dan terbuka. Mereka kemudian diserahkan kepada Sekjen KPK untuk proses selanjutnya.
Sementara 12 pegawai lainnya langsung diserahkan kepada Sekjen KPK. 

Mereka dinilai turut terbukti tetapi tidak bisa dihukum etik Dewas. Sebab, perbuatan pungli mereka terjadi sebelum Dewas terbentuk.

"Nah, 2018, 2019, tentu kan Dewan Pengawas belum terbentuk. makanya kemudian secara hukum Dewan Pengawas KPK tentu tidak punya kewenangan," ujar Ali.

Meski demikian 90 pegawai itu akan diproses secara disiplin oleh KPK. Sekjen KPK sudah membentuk tim untuk memprosesnya.

Selain itu, KPK juga sedang mengusut secara pidana kasus pungli tersebut. Sudah ada 10 tersangka yang dijerat penyidik. Namun, KPK belum menjelaskan identitas tersangka maupun konstruksi perkara.

Total pungutan yang diterima para pegawai tersebut mencapai Rp 6 miliar lebih. Ini terhitung dari tahun 2018 hingga 2023. Salah satu modusnya ialah penyelundupan hp hingga makanan ke dalam Rutan KPK. 

Diduga tarifnya mencapai Rp 10-20 juta. Sementara tarif penggunaan hp per bulannya ialah Rp 5 juta. (wan)