Korupsi Rp 2,5 Triliun di LPEI: Perusahaan Kelapa Sawit, Batu Bara dan Nikel

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 18 Maret 2024 20:40 WIB
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)

Jakarta, MI - Sebanyak empat perusahaan kelapa sawit, batu bara, nikel, dan perkapalan, diduga melakukan kecurangan (fraud) dalam kasus dugaan korupsi terkait pembiayaan ekspor sebesar Rp2,5 triliun di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada hari ini, Senin (18/3/2024).

"Perusahaan-perusahaan yang empat ini adalah korporasi yang bergerak di bidang kelapa sawit, batu bara, nikel, dan perusahaan perkapalan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana.

Adapun Sri Mulyani memberikan laporan dugaan korupsi di empat perusahaan itu kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin. Disebutkan inisial empat perusahaan itu adalah RII (diduga merugikan negara sebesar Rp1,8 triliun), SMS (Rp216 miliar), SPV (Rp144 miliar), serta PRS (Rp305 miliar)

"Jumlah keseluruhannya adalah Rp2.505.119.000.000. Ini tahap pertama, nanti ada tahap keduanya," kata Jaksa Agung ST Burhanuddin, seraya menambahkan bahwa tahap kedua laporan dugaan korupsi ini melibatkan enam perusahaan dengan nilai kredit mencapai Rp3 triliun.

Kata dia, enam perusahaan tersebut masih dalam proses audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangungan (BPKP), Inspektorat Keuangan Kemenkeu, dan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

"Saya ingin ingatkan yang sedang dilakukan pemeriksaan BPKP tolong segera tindaklanjuti ini daripada ada perusahaan ini nanti kami tindaklanjuti secara pidana," ungkap ST Burhanuddin.

Diketahui, bahwa LPEI adalah lembaga yang dibentuk pemerintah guna mendukung pelaksanaan kegiatan pembiayaan ekspor nasional. Lembaga ini berwenang menetapkan skema pembiayaan ekspor nasional, melakukan restrukturisasi pembiayaan ekspor nasional, hingga melakukan penyertaan modal. 

Dan empat perusahaan di bidang kelapa sawit, batu bara, nikel dan perkapalan itu disebut menjadi debitur di LPEI.

Kata Sri Mulyani "Terindikasi adanya fraud yaitu adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh debitur tersebut".

Sri Mulyani mengatakan pihaknya telah membentuk tim terpadu bersama LPEI, BPKP, Jamdatun dan Inspektorat Kemenkeu. Tujuannya untuk meneliti seluruh kredit-kredit bermasalah di LPEI. Pun Sri Mulyani mengaku pihaknya telah menerima laporan hasil penelitian terhadap kredit-kredit bermasalah di LPEI.

"Hasil pemeriksaan tim terpadu tersebut, terutama terhadap kredit bermasalah yang terindikasi adanya fraud yaitu adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh debitur tersebut. Dan hari ini kami sampaikan empat debitur yang terindikasi fraud dengan outstanding pinjaman Rp2,5 Triliun," jelasnya.

Sebenarnya, dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit pada LPEI yang melibatkan empat debitur perusahaan, yang sudah terdeteksi sejak lama, yakni sekitar 2019.

Menurut Ketut Sumedana, mengapa kasus ini baru dilaporkan sekarang, karena awalnya kasus diserahkan kepada Jamdatun Kejaksaan Agung. Akan tetapi, setelah dilakukan penelitian ditemukan dugaan tindak pidana.

"Ternyata ada mengandung unsur fraud ada unsur penyimpangan dalam pemberian fasilitas ataupun pembiayaan kredit dari LPEI kepada para debitur tadi. Sehingga karena sudah macet dan sebagainya, makanya kami serahkan ke Pidsus (Pidana khusus) untuk recovery aset," katanya.

Status kasus ini akan ditentukan usai penyidik melakukan serangkaian pemeriksaan. Setelah serangkaian penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung, pihaknya akan menentukan status hukumnya, tambahnya.

Sebagai informasi, bahwa pada awal Februari silam, dugaan korupsi di LPEI juga dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ke Kejagung.

Berdasar laporan hasil pemeriksaan BPK, ditemukan dugaan penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam pembiayaan ekspor oleh LPEI pada periode 2013-2019 kepada debitur yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp81 miliar.

Saat itu, Wakil ketua BPK Hendra Susanto mengatakan laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara ini dilakukan pihaknya atas permintaan Kejagung.