Cuci Uang Timah dan Polemik Kerugian Negara Rp 271 Triliun

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 April 2024 20:16 WIB
Ilustrasi Timah (Foto: Ist)
Ilustrasi Timah (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis menjadi tersangka kedua tindak pidana pencucian uangn (TPPU) setelah Helena Lim yang merupakan crazy rich PIK Jakarta dalam kasus dugaan korupsi PT Timah Tbk,. Barengan dengan penetapan Harvey sebagai tersangkan TPPU itu, tercatat penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda (JAM) Bidang Pidana Khusus (Pidsus) sudah memeriksa ratusan orang.

Sanksi atas TPPU ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 3,4, dan 5 undang-undang tersebut menuntut sanksi pidana penjara dan denda bagi para pelaku TPPU.  

Pasal 3 menyebut, bagi setiap orang yang melakukan berbagai upaya dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari tindak pidana, mendapat sanksi penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 10 Miliar Rupiah. 

Kemudian, Pasal 4 menyebut bagi setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan harta kekayaan dari tindak pidana, mendapat sanksi penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak 5 Miliar Rupiah. 

Sementara itu, Pasal 5 ayat (1) menyebut setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan dari tindak pidana, mendapat sanksi penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 1 Miliar Rupiah.

Kasus ini berawal dari tiga jajaran direksi PT Timah Tbk yang menyadari bijih timah yang dihasilkan perusahaannya terlalu sedikit jika dibandingkan perusahaan smelter swasta lainnya.  

Melihat kondisi tersebut, tersangka dalam kasus ini mengetahui bahwa adanya penambangan liar yang terjadi di wilayah IUP PT Timah Tbk. Akan tetapi, bukannya melaporkan kejadian tersebut, PT Timah Tbk justru menawarkan kerja sama dengan para smelter untuk menambang secara ilegal. 

Setelahnya, pihak-pihak tersebut mulai membentuk perusahaan boneka dan membuat dokumen pendukung lainnya untuk melanggengkan praktik ilegal tersebut. 

Nama-nama yang terlibat dapat bertambah seiring proses berlanjut. Kasus ini disebut-sebut merugikan negara hingga Rp 271 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengungkapkan, besaran angka tersebut belum pasti. "Kemarin angka Rp 271 triliun itu masih kotor perhitungannya. Hasil konsultasi teman-teman penyidik dengan BPKP, dan ahli ekonomi, ekologi, dan lingkungan. (Angka kerugiannya) bisa lebih tinggi dan lebih rendah," ungkapnya saat ditemui di kantornya, dikutip Minggu (7/4/2024).

Ketut menjelaskan, saat ini tim penyidik Kejagung sedang menghitung dan melakukan koordinasi dengan BPKP dan tim ahli terkait. Artinya, kerugian negara yang diakibatkan oleh hasil korupsi bisa lebih tinggi atau lebih rendah. "Sedang dilakukan perhitungan, konsultasi dan diskusi dan formulasi seperti apa," ucapnya.

Ketut menjabarkan lebih jauh, kerugian sebesar Rp 271 triliun tersebut merupakan perhitungan kerugian ekosistem yang mengacu berbagai aspek. Sebab, para pelaku korupsi melakukan eksplorasi tambang timah secara ilegal. Angka tersebut juga memperhitungkan dampak kerusakan lingkungan yang begitu masif dan luas.

"Kemudian (ada) dampak sosial dan ekologinya seperti apa, (kerugian) masyarakat di sekitarnya juga kita pertimbangkan, karena sudah tidak bisa lagi melakukan upaya-upaya pertanian nelayan, itu diperhitungkan," lanjutnya.

Selain itu, juga mempertimbangkan dampak reboisasi. Sebab, untuk memperbaiki lahan yang sudah rusak memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang banyak.

"Ini juga kita jadi bahan pertimbangan. Enggak bisa melakukan reboisasi lingkungan 1-2 tahun enggak bisa. Ini butuh waktu yang panjang sehingga bisa ditempati kembali seperti habitat sebelumnya," ungkapnya.

Ketut menegaskan, angka yang dikeluarkan oleh tim penyidik bukan hanya kerugian negara yang riil melainkan juga dampak kerugian perekonomian negara. "Artinya bisa lebih dan bisa kurang, masih diformulasikan," pungkasnya.

Terkait dengan pencucian uang dalam kasus ini, pakar hukum TPPU Yenti Garnasih menduga pasti orang kuat yang melindungi 16 tersangka. Hal ini juga dikatakan Yenti merespons dugaan Masyarakarat Antikorupsi Indonesia atau MAKI bahwa Robert Bonosusatyo (RBS/RBT) diduga sebagai aktor utamanya. RBS/RBT sudah diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini.

Adapun 16 tersangka itu adalah SG alias AW selaku pengusaha tambang di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung; MBG selaku pengusaha tambang di Kota Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung; HT alias ASN selaku direktur utama CV VIP (perusahaan milik tersangka TN alias AN); MRPT alias RZ selaku direktur utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021;  EE alias EML selaku direktur keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018; BY selaku mantan komisaris CV VIP; RI selaku direktur utama PT SBS; dan TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN.

Lalu, AA selaku manager operasional tambang CV VIP; 10. TT, tersangka kasus perintangan penyidikan perkara; RL, general manager PT TIN; SP selaku direktur utama PT RBT; RA selaku direktur pengembangan usaha PT RBT;  ALW selaku direktur operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan direktur pengembangan usaha tahun 2019-2020 PT Timah Tbk; Helena Lim alias HLN selaku Manager PT QSE dan Harvey Moeis (HM), pengusaha.

"Tidak mungkin sendiri, sebanyak orang, apakah hanya orang-orang ini saja yang kemudian leluasa bertahun-tahun kemudian membuat perlakuan kejahatan di penambangan timah dan sampai tidak ketahuan ini, siapa yang melindungi, pasti ada orang-orang kuat yang melindungi,” kata Yenti saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, belum lama  ini.

Itu, tegas dia, harus dievaluasi, rasanya tidak mungkin tidak ketahuan. "Jadi ini Kejaksaan Agung sudah sangat profesional dan punya pengalaman banyak terkait dengan kejahatan-kejahatan," tegasnya.

Selain itu, Yenti juga meminta Kejaksaan Agung untuk mencermati perusahaan-perusahaan boneka atau cangkang yang dibuat dalam kejahatan ini.

“Perusahaan cangkang ini, perusahaan boneka ini, kita juga lihat apakah memang ada izinnya, atau kah izinnya diada-adakan atau ada pemalsuan, pemalsuan itu memang ada tapi dipalsukan, punya orang dianggap, atau kan mungkin tidak ada kemudian dipalsukan,” kata Yenti.

“Ini sebetulnya, apapun modusnya harus dibongkar oleh Kejaksaan Agung, kalau ada PT yang cangkang- cangkang ini kan, ini pasti ada pemalsuan ya kan, karena masuk ke PT-PT ini, ternyata PT itu tidak ada sebagai anak perusahaan atau memang PT yang dibuat seolah-olah anak perusahaannya.”

Adapun perusahaan boneka sebagaimana dimaksud Kejagung adalah CV BJA, CV RTP, CV BLA,CV BSP, CV SJP, CV BPR, dan CV SMS. "Di mana untuk mengelabui kegiatannya, dibuat seolah-olah ada surat perintah kerja (SPK) kegiatan pemborongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP) mineral timah," ujar Kuntadi, Dirdik Jampidsus Kejagung.

Lantas dari mana kerugian ekologis akibat korupsi timah Rp 271 triliun?

Profesor Bambang Hero Saharjo, guru besar kehutanan IPB University, yang menjadi ahli valuasi lingkungan mengungkapkan sumber angka kerugian negara tersebut. Asalnya dari total luas galian tambang yang tersebar di tujuh kabupaten di Kepulauan Bangka Belitung dengan luas total 170.363,064 hektare. 

Sekitar 75.345,751 hektare berada di dalam kawasan hutan dengan total kerugian lingkungan Rp 223,37 triliun dan 95.017,313 hektare berada di luar kawasan hutan dengan kerugian lingkungan sebesar Rp 47,7 triliun. Praktik penambangan tanpa izin di wilayah PT Timah Tbk sangat masif sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian negara dan masyarakat.

Kalkulasi kerugian negara dari sebuah kasus korupsi mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Definisi kerugian lingkungan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 peraturan tersebut adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. Terdapat lima komponen untuk menghitung kerugian ekologi, yaitu:

Kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup sebagai akibat tidak dilaksanakannya seluruh atau sebagian kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah B3;

Kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, meliputi biaya: verifikasi lapangan, analisa laboratorium, ahli dan pengawasan pelaksanaan pembayaran kerugian lingkungan hidup;

Kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;
Kerugian ekosistem; dan

Kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Apakah kerugian lingkungan hidup merupakan kerugian negara?

Dalam undang-undang mengenai korupsi, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak ditemukan definisi yang jelas perihal kerugian negara. 

Definisi kerugian negara  ditemukan dalam Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 

Dalam perkara korupsi, lazimnya penghitung kerugian negara adalah ahli yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau auditor/akuntan yang memiliki kompetensi.

"Nilai 271 triliun rupiah ini bukan uang yang dinikmati tapi ini hanya nilai kerusakan ekosistem lingkunan pertambangan dan kehutanan saja. Pihak PPATK dan OJK seharusnya dilibatkan bukan hanya melibatkan BPKP ataupun BPK sebagai audit kerugian negara," jelas kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Kurnia Zakaria kepada Monitorindonesia.com, Sabtu (6/4/2024).

Penghitungan kerugian negara sebenarnya Kejagung bisa menggandeng BPKP sebagaimana dalam kasus dugaan korupsi BTS 4G Bakti Kominfo yang merugikan negara  Rp 8,032 triliun sekian.

Selain itu, BPK juga berhak menghitung dan menetapkan kerugian negara atas permintaan penyidik daam hal ini kejagung, tipikor bareskrim atau KPK. Sedangkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya berwenang melakukan pemeriksaan dan audit sedangkan terkait kerugian negara tetap wewenang konstitusional pada BPK (SEMA 4/2016).

"Yang berhak berhitung, kalau kita bicara rezim korupsi sebenarnya, kan dia ranahnya adalah siapa sih yang berhak menghitung kerugian dalam konteks tindak pidana korupsi? Nah kalau kewenangan sebenarnya yang boleh menghitung dan menetapkan kerugian negara dalam kasus tipikor yaitu BPK, sedangkan lainnya hanya melakukan Audit. Perhitungan itu dengan permintaan dari Penyidik” ujar pakar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Nella Sumika Putri, saat dihubungi, Rabu(13/3/2024). 

Soal perhitungan Bambang Hero Saharjo dan diklaim sebagai kerugian negara, Nella mempertanyakan posisi atau status akademisi asal IPB tersebut. Dia bertanya, apakah Bambang bagian dari BPK atau lembaga audit negara seperti BPKP, atau bagian penyidik semisal KPK.

Nella juga mempertimbangkan bahwa dari perhitungan kerusakan lingkungan sebagai pintu masuk untuk melihat kerugian negara terkait tindak pidana lingkungan. 

“Nah, sekarang posisinya Pak Bambang Hero dalam kontek yang mana? Apakah dia bagian dari BPK, BPKP, atau KPK? Jadi ini rezimnya yang mana nih? Nah, saya juga gak paham apakah dia menggunakan pintu kerusakan lingkungan untuk mencari tipikor atau bagaimana nih, padahal diantara keduanya terdapat “rezim” tindak pidana khusus yang berbeda” jelasnya. 

Menurutnya, perlunya telaah lebih jauh dan menyeluruh dampak dari perilaku korup dalam tambang Timah, terutama soal kerugian lingkungan dan kerugian negara. 

Nella melihat, ada perilaku korup dalam tata kelola yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kerugian keuangan karenanya perlu dibedakan antara tindak pidana lingkungan yang mana karena adanya kerusakan lingkungan yang dimaksud. Atau tindak pidana korupsi yg menimbulkan kerugian negara, tindak pidana mana yang mau dikenakan itu juga harus dipertegas kembali. 

“Oleh ahli lingkungan IPB tersebut, dalam perhitungan kerugian lingkungan tersebut terdapat dua perbuatan, pertama apakah karena Tata kelola, administrasi seperti izin izin pertambangan uang mengakibatkan kerusakan lingkungan atau tindakan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan,” ujarnya. 

“Pertanyaannya, ini kerugian perusakan ini murni kerusakan lingkungan atau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakan korup dalam tata kelola sesuai pidana lingkungan. Ini dua hal yang menurut saya, bisa dua hal yang berbeda,” tambah Nella. 

Seperti terobosan yang pernah dilakukan KPK ketika menggunakan kerugian lingkungan untuk menilai kerugian negara. Adalah pada tahun 2018 untuk menjerat mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam terkait perkara korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP operasi produksi kepada PT AHB.

Saat itu, Jaksa KPK menuntut Nur Alam pidana 18 tahun penjara dan memasukkan kerugian kerusakan lingkungan yang sudah terjadi akibat aktivitas PT. AHB. Ahli yang digunakan KPK adalah Basuki Wasis dari IPB University yang mengalkulasi kerugian lingkungan sebesar Rp 2,7 triliun. Jaksa menilai izin yang diterbitkan Nur Alam telah mengakibatkan menurunnya fungsi ekologis pada lokasi tambang di Pulau Kabaena.

Ada tiga jenis penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan, yaitu kerugian akibat kerusakan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan.

Upaya KPK ini memunculkan preseden baru terkait definisi ulang kerugian negara. Selama ini kerugian negara dalam kasus korupsi hanyalah besaran nilai uang yang melekat pada tindak korupsi tersebut. 

Untuk kasus korupsi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, kerugian negara saat ini ditambah dengan memasukkan kerugian lingkungan, bahkan kewajiban bagi pelaku untuk memulihkan lingkungan. Meskipun begitu, peraturan di Indonesia belum mengakomodasi hal ini.

Jika menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian lingkungan hidup dinyatakan terpisah dari kerugian negara, sehingga perlu ada terobosan hukum dengan menerapkan multi-regime investigation, yaitu penggunaan undang-undang lain di luar undang-undang bidang tindak pidana korupsi, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

Aparat penegak hukum juga perlu menerapkan instrumen hukum lain, yaitu gugatan perdata untuk dapat mengklaim kerugian lingkungan hidup. Terobosan ini diharapkan dapat menjadi model bagi perkara korupsi lain yang bersinggungan dengan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Pengurasan sumber daya alam dan penurunan kualitas lingkungan menjadi topik hangat yang selalu ramai diperbincangkan oleh publik. Eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan bisnis jangka pendek. Tindak pidana di sektor lingkungan hidup-sumber daya alam bersifat kompleks dan berdampak serius.

Tindak pidana lingkungan hidup bisa berjalan mulus, salah satunya karena adanya korupsi yang dilakukan oleh aparat negara. Korupsi ini terjadi dari level operasional di lapangan hingga level tertinggi, yakni level perumusan kebijakan. 

Keterlibatan aparat beragam bentuknya, mulai dari melindungi (backing) pelaku kejahatan, melakukan pembiaran, menerbitkan dokumen dengan menyalahi aturan, membuat kebijakan yang menguntungkan pelaku kejahatan, melakukan pungutan liar, menikmati uang hasil kejahatan dan suap, menadah hasil kejahatan, atau ikut terlibat sebagai pelaku utama. 

Kerugian negara dari kerusakan lingkungan hidup sangat besar. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Laode M. Syarif dalam acara “Diskusi Quo Vadis Korupsi Sumber Daya Alam Indonesia” tanggal 16 Juli 2019 menyatakan bahwa sumber daya alam menjadi sektor yang paling banyak dikorupsi.

KPK mencatat bahwa selama periode 2003 sampai 2014 potensi kerugian negara dari produksi kayu ilegal nilainya berkisar Rp 598-799 triliun. Kerugian negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 35 triliun per tahun (KPK 2015).

Di sektor pertambangan, KPK mencatat adanya kekurangan  bayar pajak tambang di kawasan hutan sebesar Rp 15,9 triliun per tahun (KPK 2018). Di sektor perkebunan, KPK menemukan Rp18,13 triliun potensi pajak yang tidak terpungut.

Terkait kebakaran hutan dan lahan, Bank Dunia (2016) mengestimasi bahwa kebakaran hebat tahun 2015 menghanguskan 2,6 juta hektare hutan dan lahan di Indonesia serta menelan kerugian senilai Rp 221 triliun atau setara 1.9 persen produk domestik bruto Indonesia tahun 2015.

Indonesia juga merugi sekitar Rp 9 triliun rupiah per tahun dari aktivitas perburuan dan perdagangan tumbuhan dan satwa dilindungi secara ilegal (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2017).

Apa kata ICW?

Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat komposisi dari 16 tersangka yang telah ditetapkan oleh kejaksaan, mayoritasnya berlatar belakang direktur di perusahaan smelter. Padahal, kasus korupsi pertambangan kerap melibatkan aktor lain seperti pemerintah maupun aparat penegak hukum.

Dalam praktik pertambangan ilegal, aparat penegak hukum diduga acap kali menerima setoran dari aktivitas tambang untuk membiarkan operasi perusahaan tetap berjalan lancar. Modus tersebut antara lain pernah diungkap oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.

Bukan tidak mungkin modus serupa memperlancar praktik lancung dalam kasus PT Timah. Dalam praktiknya, perusahaan-perusahaan “boneka” mengambil bijih timah secara ilegal untuk kemudian dikirimkan ke perusahaan smelter yang sudah setuju bersekongkol. 

Praktik yang terjadi berulang kali tersebut nyaris mustahil luput dari pengawasan otoritas. Sehingga patut diduga bahwa operasi penambangan ilegal tersebut melibatkan aktor lain di luar aktor swasta.

Lanjut keterangan ICW, bahwa pemerintah dalam kasus ini lalai memastikan tata kelola ekstraktif yang  baik. Setidaknya dua kementerian yaitu Kementerian BUMN dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) gagal menjalankan tugasnya.

Kementerian BUMN tidak memastikan PT Timah, entitas BUMN yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk mengambil langkah yang dapat mencegah terjadinya korupsi. 

PT Timah selaku BUMN diketahui menerbitkan Surat Perintah Kerja Borongan Pengangkutan Sisa Hasil Pengolahan mineral timah yang “memperlancar” praktik kotor perusahaan-perusahaan boneka yang menambang bijih timah secara ilegal.

Kementerian ESDM juga diniali lalai melakukan peran pengawasan sebagaimana telah dimandatkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Menteri ESDM dibekali kewenangan yang luas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mulai dari teknis pertambangan, pemasaran, pengelolaan lingkungan hidup, hingga kesesuaian pelaksanaan kegiatan sesuai dengan IUP.

Selain itu, ICW akan terus mendorong Kejaksaan Agung untuk memasukkan aspek kerusakan lingkungan dalam kalkulasi kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi PT Timah. 

Kerugian yang ditimbulkan dari kasus korupsi tersebut mencapai angka Rp 271 triliun, terbesar sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia.

Aparat penegak hukum sejauh ini terlalu berfokus pada penghitungan kerugian negara semata ketika menangani kasus korupsi dengan dimensi sumber daya alam. 

Padahal korupsi sektor ekstraktif seperti pertambangan selalu membawa dimensi kerusakan ekologis maupun sosial yang masif. Perlu juga dicatat bahwa kasus korupsi yang mempertimbangkan aspek kerugian lingkungan beberapa kali dianulir oleh putusan hakim. 

Sehingga ‘terobosan’ Kejaksaan Agung perlu dikawal hingga proses persidangan. 

Contoh kasus yang dianulir antara lain kasus korupsi usaha perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group yang menjerat konglomerat Surya Darmadi. Jaksa awalnya menuntut Surya untuk membayar Rp 73,9 triliun akibat kerugian yang ditimbulkan, termasuk untuk memulihkan kawasan hutan yang telah dirusak kebun sawit miliknya.

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta lalu menjatuhkan putusan yang mengakui penghitungan kerugian perekonomian negara yang di dalamnya terdapat pertimbangan kerusakan lingkungan. 

Namun, Mahkamah Agung menganulir pengakuan tersebut dan memotong sanksi Darmadi sehingga hanya harus membayar kerugian negara sebesar Rp2 triliun.

Dengan demikian, ICW berharap ketika kasus korupsi PT Timah masuk ke proses persidangan, majelis hakim dapat memutus dengan progresivitas sehingga mengakomodir kalkulasi kerugian lingkungan yang telah dikonstruksikan oleh kejaksaan dengan bantuan ahli.