Bos Sriwijaya Air Hendry Lie Tersangka Korupsi Timah Rp 271 Triliun Bikin Perusahaan Boneka CV BPR dan SMS

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 28 April 2024 21:36 WIB
Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) (Foto: Dok MI)
Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung) (Foto: Dok MI)

Jajarta, MI - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Hendry Lie (HL) pendiri sekaligus Direktur Sriwijaya Air sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah Rp 271 triliun.

Dalam perkara yang telah menyeret puluhan tersangka ini, tersangka Hendry Lie dalam kapasitasnya sebagai Beneficiary Owner PT TIN.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi membeberkan peran Hendry Lie dalam kasus ini.

Bahwa tersangka Hendry Lie dan Fandy Lingga yang merupakan kakak beradik turut serta dalam pengkondisian pembiayaan kerjasama penyewaan peralatan processing peleburan timah sebagai bungkus aktivitas kegiatan pengambilan timah dari IUP PT Timah.

"Di mana keduanya membentuk perusahaan boneka yaitu CV BPR dan CV SMS dalam rangka untuk melaksanakan atau memperlancar aktivitas ilegalnya,” kata Kuntadi dikutip pada Minggu (28/4/2024).

Hingga kini, Hendry Lie belum ditahan oleh Kejagung. 

Pasalnya, Hendry Lie belum hadir dalam pemeriksaan baru-baru ini dengan alasan sakit, sehingga akan dipanggil ulang sebagai tersangka.

Adapun Kejagung terus mengusut kasus tindak pidana korupsi ini.

Selain menetapkan tersangka individu, penyidik juga tengah mengejar tersangka korporasi.

Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah, dalam kasus tindak pidana korupsi eksplorasi timah secara ilegal, tentu dampak yang ditimbulkan diperhitungkan sebagai bagian dari perekonomian negara. 

Namun hal itu bukan semata-mata hanya untuk mengembalikan hak negara dari timah yang diambil secara ilegal sebagai uang pengganti saja alias recovery asset semata.

“Tetapi lebih menitikberatkan pada perbaikan atau rehabilitasi kepada pelaku korupsi yang kita tuntut pada tanggung jawab atas kerusakan yang timbul, termasuk dampak ekologinya kepada masyarakat sekitar,” tutur Febrie kepada wartawan, Kamis (25/4/2025).

“Oleh karenanya, kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada negara semata, maka tujuan recovery asset juga recovery lingkungan yang harus dibebankan kepada pelaku, sehingga ke depan juga akan dibebankan kepada pelaku korporasinya,” sambungnya.

Febrie menegaskan, pihaknya sangat masif dalam menelusuri aset atau asset tracing terkait korupsi komoditas timah, yang sejauh ini sudah melakukan berbagai penyitaan terhadap aset perusahaan berupa 53 unit ekskavator, lima smelter, dan dua unit bulldozer.

“Hal itu dilakukan bukan semata-mata untuk menghentikan proses eksplorasi timah oleh masyarakat yang mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaannya. Namun yang perlu dipahami bahwa proses penegakan hukum untuk menuju tata kelola pertimahan ke depan menjadi lebih baik,” jelas dia.

Dia mengakui, beberapa proses yang dilalui tentu akan mengakibatkan dampak negatif kepada masyarakat dan pekerja.

Hanya saja, hal itu bersifat sementara lantaran penyidik bersama Badan Pemulihan Aset juga mencari solusi, agar penyitaan dalam proses penegakan hukum dapat berjalan dan masyarakat bisa bekerja, serta pendapatan negara juga tidak terganggu.

“Kita kumpulkan stakeholder terkait termasuk pemerintah daerah, PT Timah Tbk, sebagai bukti menunjukkan betapa seriusnya kejahatan yang dilakukan pada perkara yang sedang ditangani ini,” pungkas Febrie.