Anggota DPR Fraksi PDIP Hugua Usul Politik Uang Dilegalkan, KPK Angkat Bicara

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 15 Mei 2024 20:22 WIB
Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri (Foto: Dok MI/Aswan)
Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK angkat bicara soal usulan anggota DPR RI Fraksi PDIP Hugua yang mengusulkan kepada KPU untuk melegalkan money politics atau politik uang. 

"Esensi dari hajar serangan fajar ini kan money politik yang kemudian itulah yang menjadi penyakitnya, menggerogoti demokrasi kita dan itu juga tidak ada aspek pembelajarannya kepada masyarakat," tegas Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (15/5/2024).

"Ketika menjabat nantinya dia harus mengembalikan modal dan mengembalikan modal inilah yang menjadi pemicu untuk dia melakukan tindakan korupsi selama dia memiliki kewenangan dalam jabatannya selaku kepala daerah," tambahnya.

Dalam program kampanye KPK tersebut, mengajarkan bahwa memilih pejabat publik jangan karena uang. Sebab, jika seorang pemimpin publik korupsi, yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri. "Dan kalau kita bicara lebih jauh ya dari korupsi, aspek korban korupsi itu kan pada gilirannya ya kita semua masyarakat," tandasnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Hugua meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) melegalkan praktik money politics alias politik uang dalam pemilihan umum (KPU) dengan batasan tertentu di Peraturan KPU (PKPU).

Pandangan itu disampaikan Hugua dalam rapat kerja antara Komisi II DPR dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Kompleks Parlemen, Rabu (15/5/2024). 

"Bahasa kualitas pemilu ini kan pertama begini, tidak kah kita pikir money politics dilegalkan saja di PKPU [Peraturan KPU] dengan batasan tertentu? Karena money politics ini keniscayaan," kata Hugua. 

Menurut dia, dengan kondisi politik saat ini, tidak akan ada masyarakat yang memilih calon apabila tidak memberikan uang ketika kampanye pemilu. Praktik politik seperti itu sudah menjadi ekosistem di Indonesia.

Meski demikian, Hugua menjelaskan harus ada batasan politik uang yang boleh digunakan oleh peserta pemilu. Dengan demikian, pemilu tidak hanya dimenangkan oleh orang yang memiliki banyak uang saja. 

"Sebab kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan pemenang ke depan adalah para saudagar. Jadi pertarungan para saudagar, bukan lagi pertarungan para politisi dan negarawan," imbuhnya. 

Hugua menjelaskan, jika politik uang dilegalkan dengan batasan tertentu maka Bawaslu akan tahu kapan bergerak dan menindak peserta pemilu yang gunakan politik uang dengan nilai tak wajar. 

"Jadi sebaiknya kita legalkan saja dengan batasan tertentu. kita legalkan misalkan maksimal  Rp20 ribu atau Rp50 ribu atau Rp1 juta atau Rp5 juta," imbuhnya. Dia pun turut melempar usul untuk mengganti istilah money politics itu dengan sebutan lain seperti cost politics di dalam peraturan.

Lebih lanjut, dia meminta pihak yang berkepentingan seperti penyelenggaraan pemilu dan parlemen segera memberikan pembelajaran politik ke masyarakat terkait politik uang. Jika tidak maka dikhawatirkan penyelenggaraan Pilkada 2024 akan penuh dengan politik uang yang tidak wajar.

Merespons pernyataan itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyatakan pihaknya tidak melegalkan politik uang dalam pemilu. “Kita nggak melegalkan, kita anti-moral hazard pemilu anti money politic. Makanya tadi saya katakan itu nanti akan masuk dalam rapat evaluasi yang sekarang siang nanti," katanya.

"Kita akan evaluasi secara menyeluruh tentang masalah kepemiluan kita semua,” imbuh politikus Golkar itu.